Isu “manusia”, tentu saja menjadi pe-er seluruh jajaran, baik itu pimpinan puncak, manajerial lini, supervisor tim dan individunya sendiri. Dalam situasi ini, divisi SDM atau Human Capital, tentunya tidak bisa bekerja dengan cara-cara yang “biasa”, namun perlu ekstra memutar otak dan mencari terobosan, untuk memberi dukungan dan menyediakan solusi terbaik bagi seluruh “user” dan stakeholder. Bila dalam dua tahun terakhir tidak ada terobosan baru di dalam program dan strategi human capital, ini tentu sebuah tanda bahaya! Jangan lupa, inovasi bukan sekedar output dari divisi riset dan pengembangan, tapi juga perlu nyata tampak di area human capital. Tanpa terobosan dan transformasi di bidang human capital, tentu kita sulit berharap perusahaan bisa menjadi “juara” dalam menghadapi persaingan lokal, nasional, regional apalagi global.
Individual Skills Vs Collective Skills
Sebetulnya, tidak perlu jauh menengok negara seberang untuk melihat terobosan di area human capital. Di dalam negeri pun banyak perusahaan yang bisa kita benchmark, misalnya saja bank mandiri. Proses merger empat bank, dengan kultur khas yang dibawa dari masing-masing bank, memaksa bank mandiri membuat terobosan dalam pengelolaan manusia di perusahaan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bank bisa bersinergi. Tidak hanya kinerja finansial yang memuaskan, secara melesat mereka mampu memberi servis terbaik, mengalahkan bank-bank yang lebih dulu harum namanya di bidang servis. Apa yang menyebabkan bank ini bisa berkinerja spesial? Ternyata, keyakinan bahwa kultur perusahaan yang positif bisa menurunkan angka NPL (non-performing loan), membuat perusahaan mengedepankan sosialisasi ‘values’ ketimbang talenta teknis lainnya. Hasilnya perusahaan benar-benar bisa mencapai kinerja yang ‘magic’ bahkan terkadang di luar perkiraan karyawannya sendiri. Ini tentu salah satu bukti nyata, bahwa transformasi di area human capital mendorong “values creation”.
Kompetensi tinggi setiap individu memang penting. Namun, kita lihat bahwa hal ini belum menjamin kapabilitas perusahaan akan berlipat ganda. Organisasi yang kuat mampu berinovasi, berubah, berganti arah dan menyesuaikan diri dengan keadaan pasar dan tuntutan pelanggan. Bila kita menyaksikan adanya hambatan senioritas, macetnya transfer ilmu dari senior ke junior, birokrasi ataupun sikap enggan berkomunikasi di sebuah organisasi, bisa dikatakan bahwa kompetensi fungsional individunya belum bergerak secara sosial dan tidak berpengaruh pada organisasi secara keseluruhan. Ini tandanya collective skills perlu dihidupkan agar talenta yang ada bisa berfungsi tidak secara teknis saja tetapi juga sosial. Kembali, peran divisi “human capital” dalam sebuah organisasi dibutuhkan. Profesional HR harus tajam dan peka memikirkan bagaimana individu dan pekerjaannya di-’kawin’kan untuk menghasilkan sesuatu yang “lebih”. Tanpa upaya ini, organisasi hanya terdiri dari tumpukan kompetensi individu tanpa membentuk “personality’ dan kekhasan dari organisasi.
Tantangan Multidimensi
Mana yang lebih krusial digarap: peningkatan kompetensi atau pemantapan komitmen individu pada organisasi? Banyak perusahaan merencanakan pengembangan kapabilitas organisasi dengan merancang pelatihan leadership. Mereka berharap pelatihan bisa “menyulap” individu menjadi kompeten leader yang bisa segera bergerak, mengarahkan organisasi dan mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini bukannya keliru, tetapi belum memadai. Sepanjang kita tidak mendorong terciptanya lingkungan kerja yang kreatif dan memberi tantangan, kompetensi saja tidak akan dapat menghasilkan produktivitas. Kita tentunya sadar bahwa komitmen individu tidak terukur dalam gerak-gerik atau aktivitasnya, tetapi lebih pada kesempurnaan hasil kerjanya. Menyusun kapabilitas hanya bisa kita lakukan bila kita mengolah manusia lengkap dengan harapan, arti, kemampuan belajar, dan hubungan antar manusianya. Guru manajemen, Dave Ulrich pun mengingatkan: “Work is about more than productivity. For all our emphasis on individualistic, market competition, people still want to find meaning in their work and in the institutions that employ them.”
Tantangan multidimensi dari pengelolaan human capital, mulai dari kompetensi, komitmen, kultur, kreativitas dan lingkungan kerja ini, tentu menggelitik kita semua untuk segera bertindak. Sebagai pihak yang biasanya paling disorot dari sukses-gagalnya peningkatan kapabilitas individu dan organisasi, divisi human capital tentu perlu memperkuat benchmark untuk bisa merumuskan langkah-langkah nyata transformasi. Forum tahunan Indonesia HR Summit yang bisa memfasilitasi profesional HR untuk terus bertransformasi, berbenah melakukan benchmark dan menambah kekuatan, tentu perlu kita apresiasi. Kita tentu juga memiliki keyakinan yang sama dengan salah satu speaker di forum tersebut, yaitu ibu Rukmi Hadihartini, HR Direktur PT Pertamina (Persero), akan pentingnya Transformasi HR untuk mendorong organisasi kita siap menjadi pemain global.
(Dimuat di KOMPAS, 6 November 2010)