Ya, dua puluh tahun lalu, kita tidak pernah berpikir akan ada pekerjaan seperti computer programmer, network engineer, wedding organizer atau financial consultant. Nandan M. Nilekani managing director Infosys Technologies bahkan memperkirakan akan terciptanya 20.000 jabatan baru di tahun 2015! Bagaimana kita yang sudah “nyemplung” di dunia kerja mempersiapkan hal ini? Sekolah seperti apa yang perlu kita cari? Training apa yang perlu kita ikuti? Bagaimana sekolah mempersiapkan lulusan “siap pakai”, sementara jenis pekerjaan di masa depan belum jelas bentuk dan variasinya?
Kalau sebelum ini, kita mengkhawatirkan bahwa dengan globalisasi, tenaga asing akan menguasai pekerjaan pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan orang lokal, sekarang kita perlu melihat ancaman dalam pekerjaannya sendiri. Apakah dalam model bisnis di masa depan pekerjaan saya masih perlu dikerjakan secara manual? Inovasi perbankan telah menciptakan ATM sehingga orang tidak perlu lagi repot antri di bank untuk menarik, mentransfer, bahkan menyetor uang. Bagaimana kalau kita bekerja di bidang seperti “investment banking’ yang tiba-tiba punah dalam setahun? Apa yang akan terjadi bila mahasiswa memilih bidang yang populer dan tiba-tiba terjadi surplus pada tenaga kerja, karena pekerjaannya menyusut? Kita juga perlu mempertanyakan, apakah industri tempat kita bekerja masih diperlukan masyarakat? Apakah kehadiran saya di kantor memang memberikan konstribusi yang signifikan?
Siaga dalam Bekerja
Kita memang tidak hidup di generasi orang tua kita di mana pendidikan dan pekerjaan seperti garis linear, bisa diprediksikan dan mantab. Bukankan kita sadar bahwa pendidikan pertanian di negara kita menghasilkan sarjana ahli pertanian dan perikanan yang handal tetapi kemudian bekerja sebagai bankir, analis ‘finance’ atau pekerjaan yang sama sekali bertolak belakang dengan pendidikannya misalnya manajer marketing susu formula? Terlepas dari tanggung jawab berprofesinya dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang menjanjikan, dari sini sebetulnya kita bisa memahami bahwa kemampuan belajar dan beradaptasi adalah kunci keberhasilan di masa depan.
Seorang jagoan IT direkrut sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Bawahan yang trampil dan akuntabel membuat manajer ini bisa sedikit bersantai dan tinggal me-’manage’ anak buah saja. Tanpa disadari, dalam perkembangannya, manajemen merasa bahwa manajer ini sudah tidak mampu membuat terobosan-terobosan baru dalam ‘knowledge management’ dan teknologi informasi, sehingga terpaksa menggantikannya dengan seseorang yang dianggap lebih ahli dan kreatif. Kemampuan teknis yang kita rasakan cukup dalam waktu singkat bisa tidak memadai lagi. Manajer ini lupa bahwa kita tidak bisa puas dengan apa yang sudah kita miliki. Banyak hal baru yang perlu dipelajari. Bukan hanya paham, tapi juga harus mendalam. Bukan hanya terkait keahlian teknis, tapi juga kreativitas, wawasan dan interpersonal. Ini tentu membangkitkan kewaspadaan kita agar selalu bisa cair beradaptasi, fleksibel dan siap menerima perubahan dengan cepat. “Careers will come and go, as do businesses and industries View a job as a temporary gig and learn how to springboard to the next emerging opportunities and needs” demikian ungkap seorang futuris.
Ubah Paradigma terhadap Pekerjaan
Dulu kita sering terpukau dengan titel pekerjaan, seperti dokter, insiyur, banker, manager, bahkan direktur. Namun dalam dunia kerja yang kompleks ini, kita tahu titel pekerjaan menjadi tidak terlalu berarti lagi. Kita perlu melihat pekerjaan sebagai ‘set of skills’ yang diaplikasikan dengan kombinasi yang berbeda-beda terhadap situasi kerja yang berbeda. Seorang dokter perlu memilih apakah ia akan menjadi ahli jamur, parasit ataupun hal yang lebih spesifik lagi. Seorang insinyur juga perlu memilih bidang automotif, mekatronik atau bidang spesifik lainnya. Bila kita bekerja di sebuah perusahaan besar, kita lebih baik mulai melihat tugas kita sebagai proyek-proyek atau kontrak-kontrak yang harus tuntas dan bernilai tambah.
Tidak peduli pada bagian lain, alias ‘cilo’-ing, sebenarnya adalah sikap bunuh diri yang sudah tidak bisa diterapkan lagi. Dengan melakukan networking secara kontinu, di dalam maupun di luar perusahaan, kita justru mendapat kesempatan untuk membuka wawasan dan melihat kesempatan untuk perbaikan. Kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak semata menjalankan tugas sesuai job description karena pedoman kerja itu juga bisa menjebak kita memandang pekerjaannya sebagai tugas dan bukan ajang ‘value creating’ yang fresh, unik dan bisa berkembang sesuai dengan tantangan dan tuntutan pasar. Gejala mengejar jabatan dan merasa lega ketika mencapainya justru sekarang sudah dianggap sebagai paradigma kuno, bahkan merupakan awal dari stagnasi karir. Jabatan perlu disikapi secara entrepreneurial untuk menciptakan kesempatan lebih lanjut.
(Dimuat di KOMPAS, 30 Oktober 2010)