Kalau direnungkan lagi, kita semua pasti setuju bahwa memang sulit untuk bersaing, bila kinerja kita biasa-biasa saja. Kita segera akan dilindas oleh orang yang berkinerja sedikit lebih baik saja. Hanya dengan lari jauh di depan dan berkinerja sangat baik kita bisa menarik pelanggan tanpa harus “berdarah-darah” berkompetisi dengan yang lain. Dengan berprestasi sedang-sedang saja, bagaimana mungkin kita bisa menciptakan bahasa programming yang canggih? Tanpa standar of excellence yang tinggi mana mungkin tercipta teknologi I-Mac atau VW Beetle yang bisa bertahan puluhan tahun? Jika kita tidak memasang standar tinggi dan mendera diri untuk melampaui standar yang ada, bagaimana bisa kita membuat terobosan dalam produk, servis dan prestasi yang bisa mengharumkan nama bangsa?
Anti ‘biasa-biasa saja”
Seorang teman berkomentar, tentu saja semua orang ingin berprestasi prima. Tidak sedikit orang yang berupaya keras untuk mencapai prestasi terbaik. Tantangan kita sebenarnya adalah kinerja yang tidak stabil, alias turun-naik. Disadari ataupun tidak, kita sering kali mentolerir kesalahan, membiarkan kesalahan terjadi berulang kali dan menganggap bahwa kesalahan adalah hal yang “manusiawi”. Padahal, suatu produk atau jasa baru bisa disebut excellent bila ia sempurna 100%. Bagaimana kalau kita mentolerir ada 1% saja kejadian malpraktek dalam operasi bedah di rumah sakit? Jika setiap pekan terjadi 500.000 operasi di seluruh dunia, berarti kita mentolerir 5 ribu kejadian malpraktek. Bukankah hal ini sangat membahayakan? Itu sebabnya kita tidak bisa mentolerir kinerja yang tidak konsisten, tidak stabil atau “on-off”.
Saya merasa ‘surprised’ saat seorang dokter yang saya kunjungi minggu lalu menelpon dan menanyakan apakah obat yang ia berikan mempan atau tidak? Sikap terkejut dengan ‘standard of excellence’ orang lain sebetulnya sama dengan sikap kita yang longgar dan cenderung ‘memaafkan’ diri sendiri terhadap mutu kinerja kita yang tidak sempurna. Bila kita benar-benar ingin menonjol, excellence harus menjadi gaya hidup dan sikap dalam semua aspek hidup kita. Bagaimana kita bisa mencapai ambisi untuk berprestasi prima di bidang olahraga, jika kita tidak merasa bersalah bila menunda waktu latihan? Saat sudah mencapai suatu keberhasilan, bukankah banyak orang yang merasa marah atau kesal bila ia dikritik oleh orang lain? Padahal excellence adalah ‘mindset’ dan sikap proaktif, di mana kita tidak cepat puas dengan keberhasilan kita, senantiasa berusaha melakukan kritik diri sebelum dikritik orang lain dan selalu waspada terhadap berkurangnya mutu kinerja kita. Kita lihat bahwa kesulitan untuk mempertahankan sikap tersebut terutama berada di dalam diri kita sendiri.
Berbeda secara Signifikan
Ratusan, bahkan ribuan orang, mengikuti kontes putri kecantikan atau ajang pencarian bakat yang sedang menjamur. Apa yang membuat seorang kontestan terpilih dan mengalahkan kontestan yang lain? Jawabannya hanya satu: Excellence! Seorang putri kecantikan sudah pasti tidak bisa sedikit gendut, atau sedikit pendek, atau sedikit bodoh ataupun sedikit tidak berkepribadian. Dia harus memiliki semua komponen dengan ciamik dan dramatik. Barulah ia bisa menonjol dan dibedakan dari pesaingnya.
Secara personal maupun professional, bila kita sudah terbukti berbeda dan memiliki tingkat “excellence” yang tidak bisa “digoyang”, kita tentu tidak lagi perlu lelah-lelah memasarkan diri. Itulah sebabnya, setiap individu maupun organisasi perlu berpikir dua kali, bila di dalam misinya tidak tercantum keinginan untuk mencapai tingkat kinerja yang sangat-sangat baik. Kita perlu memerangi sikap toleran terhadap kondisi sedang, biasa-biasa atau mediocre. Tom Peters, seorang ahli manajemen yang sangat berobsesi pada sikap dan keyakinan mengenai excellence, dalam buku terbarunya “The Little BIG things”, mengemukakan: “Excellence is sooo….cool! Let’s punish mediocre success”.
Bagaimana memerangi “mediocre”? Langkah pertama adalah mengidentifikasi kondisi yang “baik”, tapi belum bisa diacungi 2 jempol. Misalnya, dalam sebuah restoran, pengunjung berkomentar:”Yah..., lumayan. Makanannya segar, tapi rasanya tidak bisa dibilang special”. Kondisi inilah yang perlu kita anggap sebagai titik awal upaya perbaikan kita. Kita tidak boleh ragu untuk menggeser standar kualitas ke tingkat terbaik, tanpa kompromi. Standar memang diciptakan untuk digeser-geser. Standar memang digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan tingkat konsistensi kita. Pribadi atau lembaga yang mengejar ‘standard of excellence’ biasanya lebih action oriented, dekat dengan pelanggan, tidak birokratis, ber’jiwa’muda, penuh rasa ingin tahu, dan ceria. Jadi, ”standard ef excellence” menjadi bagian dari keseharian dan tidak menciptakan stres.
(Dimuat di KOMPAS, 4 September 2010)