Kita lihat banyak organisasi yang menuntut karyawannya untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan menerapkan prosedur dan disiplin yang kaku. Namun, ternyata tetap saja mereka mengeluhkan kinerja dan produktivitas yang tidak sesuai harapan. Di tengah situasi kerja menekan, kita pun sering mendengar karyawan mengeluhkan atasannya: yang tidak ada puasnya lah, yang sering berubah-ubah lah atau memeras tenaga. Bagaimana kita menyikapi suasana kerja yang seakan-akan tidak lagi menyenangkan? Tuntutan ekonomi, sosial dan global begitu mengharuskan kita berpikir keras untuk me-“refresh” gaya kerja kita. Bila kita merasakan organisasi tidak berganti gaya selama puluhan tahun dan suasana bekerja tidak lagi bergairah, bukankah itu juga tanda-tanda kuat kita perlu berganti gaya atau bahkan berganti arah?
Tertutup atau Terbuka?
Mana yang menurut Anda lebih baik, menahan dan menjaga rapat-rapat “rahasia dapur” kita atau membiarkan desain, produk dan distribusi kita bebas diakses dan dimanfaatkan seluas-luasnya? Tahukah Anda bahwa banyak akademisi handal di negara kita ternyata menyimpan rapat hasil penelitian mereka yang canggih dan bisa bermanfaat luas? Ada yang kuatir hasil karyanya dicontek orang, ada yang berstrategi untuk bertahun-tahun mencari mitra dan waktu yang tepat untuk mempublikasikan karyanya, sampai tak jarang karyanya sama sekali tidak sempat terpublikasikan atau bahkan menjadi basi. Masih bisakah kita menerapkan pendekatan menahan, menjaga dan menyimpan di jaman yang terus berubah seperti ini?
Dulu, perusahaan yang jeli menangkap kebutuhan pelanggan, jago memprediksi tren pasar, memiliki sistem dan prosedur yang lengkap, bisa kita pastikan akan merajai pasar. Mereka bisa “menangkap” banyak pelanggan dengan pendekatan yang kita kenal dengan “Push Platform”. Namun, beberapa perusahaan kelas dunia sekarang justru meninggalkan “mindset” ini. Mereka tidak lagi mengejar pelanggan, tak lagi berorientasi memenuhi kebutuhan pelanggan, namun mereka membebaskan diri berinovasi, membuka diri terhadap masukan, belajar dari bidang yang berbeda, menciptakan nilai-nilai baru, menonjolkan keunikan produk dan layanan mereka. Ujung-ujungnya, pelanggan yang malah “mengejar” mereka. Gaya baru, “Pull Platform” inilah yang memampukan organisasi tidak sekedar bisa mengejar ketinggalannya, namun sebaliknya meng-“attract values”.
Perusahaan atau individu yang berorientasi menahan, menjaga, merahasiakan, apalagi memikirkan keuntungan diri sendiri kita lihat jadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang terbuka, fleksibel, berinovasi dan mengandalkan strength values. Bukankah kita melihat perusahaan-perusahaan Cina dan India maju begitu pesat dengan “open production”, “open distribution” dan proses design yang kreatif? Contoh yang paling nyata adalah bertahannya perusahaan seperti Linux yang mengumandangkan “open source”, melawan Microsoft yang tertututup, menahan dan men-’charge’ semua layanannya. Tengok juga apa yang dilakukan Adidas dalam Adidas X David Beckham 2010 Lookbook. Manajemen Adidas mengungkapkan:” Adidas is going from strength to strength” . Kompetisi sudah tidak bisa kita lakukan dengan parameter uang lagi, demikian ungkap mereka, tetapi lebih kepada value creation.
Kolaborasi vs Senioritas
Bila dulu orang takut memangkas semua yang berbau senioritas karena bukti bahwa pengalaman sangat diperlukan dalam menjalankan bisnis, saat sekarang pembuktian terbalik sudah terjadi. Semakin kita menunggu orang agar berpengalaman, semakin lambat juga perkembangan perusahaan. “Satu satunya jalan adalah berkolaborasi. Semakin banyak partisipasi dan interaksi, semakin kinerja terakselerasi.” Inilah gaya kerja dan manajemen perusahaan perusahan India dan Cina, seperti Li & Fung, Dachangjiang Group, Tata Group. Mereka yang dulunya terbelakang, sekarang menjadi buah bibir dan fokus bahasan manajemen gaya baru, karena pendekatan yang memanfaatkan upaya “network-centric”- nya.
Sebagai individu, kita masing-masing pun perlu “terbuka” dan berorientasi untuk berkolaborasi. Hal yang sering terlupakan adalah menelaah dan menghargai diri sendiri dan perusahaan kita sebagai kekuatan yang penting. Kita sendiri sering tidak sadar bahwa ada enerji lebih dan ‘power’ di dalam diri kita. Kita perlu meyakini kekuatan kita untuk bereksperimen, mengambil resiko, bahkan membuat perubahan. Kita perlu berpikir apa kekuatan diri kita yang bisa kita kontribusikan untuk menjadi nilai tambah pada tim dan pada pasar. Selanjutnya, Kita perlu memompa dan menggali apa yang secara lembaga atau individu bisa kita ‘kawinkan’, ‘campur’, kooperasikan dengan pihak lain. Bayangkan bila dalam sebuah perusahaan yang isinya 1000 orang semua orang berniat membuat 1 perubahan saja. Apalagi setiap individu itu kemudian mengkolaborasikan upayanya dengan teman yang lain. Perusahaan seperti ini pasti bisa membuat inovasi tanpa susah-susah berpikir keras lagi. Kita perlu meyakini bahwa kita memang terlahir imajinatif dan “resourceful”.
Menyuburkan “Passion”
Setiap CEO yang ditanya apa yang paling penting dalam organisasinya, akan menjawab satu kata: manusia. Namun, bila pengembangan talenta dalam organisasi mandek, biasanya top manajemen akan langsung menunjuk pada program-program pelatihan, coaching, mentoring dan segala macam upaya pengembangan SDM yang canggih dan mahal. Bila manusia dan talenta benar-benar penting, mengapa jarang kita dengar CEO yang segera menyingsingkan lengan baju untuk menangai sendiri orang-orang “penting” yang butuh pengembangan? Mengapa tidak banyak CEO yang menyatakan komitmen terhadap peningkatan “passion” di perusahaan? Padahal, ‘passion’ jauh melampaui kepuasan, baik pelanggan maupun karyawan. Hanya bermodalkan ‘passion’-lah, kinerja bisa meningkat ekstrim. Hanya passion yang menyebabkan karyawan tidak melakukan hitung2an “What’s in it for me”. Kita lihat, pendekatan pada manusia pun membutuhkan gaya baru. Jika tidak, kita tidak hanya membuat diri kita rawan kehilangan pasar dan pelanggan, namun juga ditinggalkan karyawan kita sendiri.
(Dimuat di Kompas, 28 Agustus 2010)