Begitu penting isu ini, sehingga kita tahu topik ini pun senantiasa dijadikan alat kampanye. Pengentasan kemiskinan seolah-olah bisa selesai, dengan membuat beragam program pemerintah. Kita melihat melalui berbagai pemberitaan betapa pemerintah pun telah mengupayakan berbagai langkah pengentasan kemiskinan, misalnya dengan pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "bottom-up intervention", baik itu dengan padat karya, memberikan pelatihan kewirauasahaan, juga beragam pendidikan ketrampilan. Namun, setelah banyak pemikiran dan usaha dicurahkan, hasil yang diharapkan tidak juga kunjung terlihat. Benarkah kemiskinan merupakan sesuatu yang alergik, sehingga sulit dihindari oleh seluruh umat manusia?
Kemiskinan yang Mana?
Kemiskinan secara dominan memang dianggap sebagai urusan yang bersifat ekonomis. Pembahasan kita biasanya difokuskan pada terbatasnya hak-hak dasar, seperti terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun, pernahkah kita memikirkan kemiskinan dari sudut lain dan berusaha melihatnya secara lebih multidimensional?,
Dari internet saya menemukan lagu suku Telugu, India, yang menggambarkan “Seven Kinds of Poverty Song”:
Lack of food , clothes , shelter is economic poverty.
Lack of education , skills, inability to think , is mental poverty.
Lack of social cohesion, disunity ,disregard for social responsibilities is social poverty.
Poor sanitation,poor hygiene, illness is bodily poverty.
Forgetting God, lack of Devotion, disregard for humanity is spiritual poverty.
Losing tradition ,losing arts and crafts ,is cultural poverty.
Apathy to vote, dirty politics ,lack of development is political poverty “.
Lagu ini menggelitik kita untuk merenungkan kembali apa yang menjadi kriteria kemiskinan dan memikirkan ulang skala kemiskinan yang kita gunakan. Nyata benar bahwa bangsa kita tidak hanya perlu berjuang untuk mengatasi keterpurukan dalam dimensi ekonomi, tapi kita pun perlu bahu membahu untuk mengangkat “kemiskinan” dalam segala dimensi. Bukan hanya tingkat pengangguran, kekerasan, putus sekolah, mahalnya pengobatan yang kita temui, tapi kita juga masih begitu dekat dengan kemiskinan dalam bentuk lain, yaitu kemunafikan dan sikap tidak peduli.
Sadar tidak sadar, kita sering membiarkan tumbuhnya sikap-sikap yang mendorong makin tingginya kesenjangan sosial. Kita pun belum sungguh-sungguh mengupayakan pemberantasan kemiskinan dari sisi mental maupun spiritual. Bukankah kita kerap melihat orang hanya bicara lalu membuang muka menghadapi kecurangan dan kemunafikan dalam menangani korupsi. Betapa kita membiarkan tradisi budaya bangsa ditelantarkan dan diganti dengan “budaya” baru yang sama sekali tidak berakar? Betapa kita seolah membuang muka terhadap ketidakmampuan orang di sekitar kita untuk menyekolahkan anak dengan layak? Betulkah kemiskinan adalah “helplessness”, tidak tertolong lagi?
Kesenjangan yang Dibiarkan
Apa yang kita lakukan bila melihat bocah kecil pengamen di samping mobil kita? Reaksi yang umum terjadi adalah mengingatkan anak kita untuk mawas diri, mengatakan bahwa hidupnya lebih beruntung, mengajarkannya berderma, memberi beberapa lembar rupiahan dan..., selesai. Terkadang kita tidak sadar bahwa partisipasi mengentaskan kemiskinan tidak sesederhana memberi uang pada kaum papa. Tidakkah kita sadari bahwa berbelanja berlebihan, mengkonsumsi makanan, air, listrik berlebihan, menyebabkan kita semakin tumpul mengira-ngira apa kebutuhan kita yang sebenarnya. Sikap apatis terhadap kecurangan, perusakan lingkungan, penggunaan kayu dan energi berlebihan pun sesungguhnya menyebabkan kita tidak bisa berhitung lagi apa yang perlu kita tegakkan untuk menjaga struktur dan menghindari timbulnya kesenjangan yang lebih besar.
Bayangkan apa jadinya bila kita terus memelihara sikap masa bodoh, malas berpikir dan tidak mau meluangkan waktu untuk memahami keindahan dan kekayaan alam, kebijaksanaan yang terkandung dalam tradisi kita? Kita harus kembali belajar untuk menghargai orang bukan dari apa yang ia miliki tetapi dari kekuatan mental dan daya pikirnya. Kita bisa berpartisipasi mengentaskan kemiskinan dengan membangun sikap cermat, kritis, menghargai pendapat, merespek orang lain, sehingga kita memiliki tabungan kekayaan pribadi yang bisa terus kita tularkan. Dengan demikian masyarakat tidak hanya melihat kaya-miskin dengan satu ukuran yaitu ukuran finansial saja.
Sikap Prihatin sebagai Obat Kemiskinan
Memahami bahwa kemiskinan bukan semata dimensi ekonomi saja, kita tentu kini bisa menilai bahwa menggunakan zat pewarna tekstil untuk pewarna makanan untuk dijual dan mengkonsumsinya juga untuk keluarga sendiri adalah bentuk kemiskinan. Bila seorang sopir berusaha memenuhi keinginan anaknya untuk memiliki telpon seluler dengan upaya diluar etik dan norma kejujurannya, ini juga sisi lain dari kemiskinan.
Perilaku prihatin sama sekali bukan tanda kemiskinan. Justru kemiskinan adalah bila harga diri manusia dilekatkan pada benda-benda duniawi dan lupa pada ketulusan hati dan kebersihan jiwa. Dalam hidup prihatin sesungguhnya kita justru bisa lebih mempererat persaudaraan, lebih setia kepada sang pencipta. Menjauhkan pikiran dan tindakan menyombongkan diri, berhati-hati agar tidak merugikan orang lain dan alam pun adalah tindakan konkrit untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Dengan sendirinya, kita bisa terhindar dari sifat mencari keuntungan pribadi. Bersamaan dengan itu kita pun bisa mengajak lingkungan di sekitar kita untuk menghemat pemanfaatan alam. Bangsa Indonesia tidak perlu menebang hutan berjuta hektar, mengeruk batu bara untuk mengentaskan kemiskinan. Memelihara sikap prihatin, bila dilakukan bersama-sama, akan bisa memberi energi dan kekuatan untuk kita bersama bangkit dari berbagai dimensi kemiskinan.
(Dimuat di KOMPAS, 24 Juli 2010)