was successfully added to your cart.

Tanggung Jawab Siapa?

Akhir-akhir ini kita marak melihat pelaku pelanggaran kode etik diganjar sanksi tegas: pencopotan jabatan. Tidak hanya pelaku yang tertangkap tangan yang dikenai sanksi, namun atasan dan rekan yang terlibat, bahkan karyawan lain yang mengetahui namun tidak ‘mencicipi’-nya pun bisa ikut terseret. Ini tentu saja konsekuensi nyata yang harus ditanggung dari suatu kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Melihat situasi ini, kita tentu juga bertanya-tanya, siapa dan sampai di mana orang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi?

Seorang atasan perusahaan ‘software’ mengeluh, “Kalau saya harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan anak buah saya, saya angkat tangan. Klien marah karena ada salah ketik yang dilakukan oleh anak buah karena terburu-buru mengejar deadline. Hal yang sangat manusiawi ini oleh klien dianggap kesalahan yang fatal.” Dengan tumpukan pekerjaan, mulai dari ‘forecasting’, laporan-laporan birokratis, serta rapat-rapat penting begini, saya juga kah yang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh anak buah? “

Secara manusiawi, nampak ada keinginan yang kuat untuk kita menghindari tanggung jawab, baik untuk kesalahan yang dibuat sendiri, apalagi orang lain, termasuk anak buah. Apalagi bila anak buah itu sudah berjarak jauh oleh  birokrasi. Bila nyonya rumah menyajikan ‘steak’ alot, siapa yang dipersalahkan, nyonya atau pembantu? Kesalahan penjaga pintu kereta yang menyebabkan tabrakan fatal, apakah semata salah penjaga pintu? Korupsi yang dilakukan anak buah, salah siapakah? Bisakah kita membedakan kesalahan sistem, human error, kesalahan delegasi sebelum pointing fingers untuk menuntut pertanggung jawaban atau menyatakan bertanggung jawab?

“Price to Pay”

Kita merasakan sendiri betapa banjir informasi dan begitu bebasnya media membuat kita senantiasa terkaget-kaget dengan mudahnya tertembus rahasia, baik itu kejahatan, perselingkuhan, bahkan rahasia negara. Banyak orang resah dan bertanya-tanya mengenai kebijakan atau kebijaksanaan penegak kebenaran dan keadilan serta arah negara. Belum tuntas sebuah rencana disusun, belum-belum sudah diaudit oleh publik. Dalam situasi ini kita melihat para pejabat dan pimpinan jadi sulit memberi penjelasan karena prosesnya sendiri belum tuntas. Memberi alasan pada suatu kesalahan akan sulit dilakukan dan kelihatannya tidak diperlukan lagi. Ada yang mengatakan bahwa inilah “price to pay” seorang atasan, kalau bawahan bagus dia dipuji tetapi kalau bawahan salah dialah yang bertanggung jawab, bahkan masuk penjara.

Konsep harga diri dalam bertanggung jawab kita lihat kental di Jepang dan lebih dominan pada beberapa negara di belahan dunia timur. Bukan hal aneh bila pimpinan mengumumkan pengunduran diri bila tim atau organisasi yang dipimpinnya dinilai gagal atau karena kesalahan orang di tingkat birokrasi yang paling rendah. Dengan membesarnya organisasi dan kemandirian bawahan, apakah konsep ini sudah bergeser? Seorang teman saya berkontemplasi: “Mungkin kita sering lupa bahwa penanaman tanggung jawab, pengetahuan ataupun kepedulian pada anak buah adalah tugas utama kita sebagai atasan ya?” Seperti yang dikemukakan Peter Drucker “A manager is responsible for the application and performance of knowledge.” Apakah di sini letak kesenjangan semangat para atasan dengan anak buahnya?

Penghayatan Tugas dan Delegasi Penuh

Kenyataan di seputar organisasi, apalagi birokrasi, menunjukkan bahwa tidak semua atasan menghayati penugasannya. Padahal, saya ingat betul ayah saya dulu sering mengatakan “Penghayatan pekerjaan adalah segala-galanya. Dan penghayatan itu harus ditularkan, ditekankan, dan diajarkan!” Bila penghayatan tugas tidak seratus persen terkadang kita lihat delegasi dan penyerahan tugas pada bawahan pun tidak berjalan utuh dan sepenuhnya. Bahkan yang lebih sering terjadi adalah orientasi ke atas, di mana laporan dan semua konsekuensinya perlu disampaikan ke atas, bukan ke bawah juga.

Banyak orang berasumsi bahwa seorang bawahan dengan pendidikan cukup akan bisa menguasai tugas dengan ‘common sense’-nya. Padahal, tanpa briefing yang memadai, pendelegasian tugas tidak hanya bisa menjadikan ‘ownership’ dan tanggung jawab atas tugas menjadi kabur, orang pun bahkan bisa lepas tangan bila terjadi kesalahan. Perlu kita ingat bahwa yang paling utama dalam suatu pendelegasian adalah memperjelas apa yang menjadi tugas, batasan dan wewenang, baik atasan maupun bawahan yang didelegasikan. Selain tanggung jawab kedua belah pihak lebih jelas dan memudahkan proses kontrol, bawahan pun bisa bisa semakin mudah mencapai sasarannya. Semakin ia mudah mencapai sasaran semakin ia bermotivasi melakukan pekerjaannya.

Tanggung jawab dan kepedulian adalah bagian dari konsekuensi kenikmatan pencapaian sasaran. Komunikasi yang asal-asalan ke bawah, mengabaikan‘briefing’ dan tidak merasa pentingnya memberi ‘wanti-wanti’, menyebabkan atasan juga ‘berjarak’ terhadap kegiatan anak buah. Pantas saja kalau terjadi sesuatu pada anak buah, gejala “bukan saya’ langsung mucul di permukaan, tanpa rasa bersalah, tanpa rasa ‘cinta’ pada institusi, pada departemen, pada diri sendiri dan profesi secara tidak langsung.

(Dimuat di KOMPAS, 10 April 2010)
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com