was successfully added to your cart.

Masih ingatkah Anda dengan sebuah berita baru-baru ini, seorang petinju dipukuli oleh penggemarnya karena kalah dalam bertanding? Konon di Brazil, pemain sepak bola sampai tidak  berani keluar rumah seusai pertandingan, bila mereka ternyata pulang tanpa kemenangan. Padahal terlepas dari kekalahan yang memalukan atau sorak-sorai kemenangan, pernahkah kita memikirkan seberapa giat, mati matian dan kerasnya seorang atlit nasional, tidak demi uang,  berlatih dan mendera dirinya untuk menjaga stamina mental dan kekuatan fisiknya untuk ‘menang’?

Seorang perenang Indonesia yang sempat bertarung di Olimpiade bercerita pada saya betapa mereka melewatkan harinya tanpa pernah absen berlatih, dimulai dari jam 4 pagi di kolam renang dan sore hari mengulangnya kembali. Apa  latar belakang spirit dan kerja keras teman-teman kita ini? Apakah ini hanya sekedar deraan orang tua yang ambisius? Buktinya kemudian mereka juga menentukan pilihan mereka sendiri untuk menjadi atlet nasional dewasa. Salah satu atlit yang pernah saya wawancarai tentang dari mana datangnya kekuatan mentalnya untuk  mempertahankan kemenangan dan prestasinya, mengatakan:”Yang ada di otak saya waktu itu hanya dedikasi pada ‘excellence’, kemenangan dan usaha sekeras mungkin untuk melakukan yang terbaik.” Ketika digali lebih lanjut alasannya, yang bersangkutan malah bengong dan mengatakan:”Memangnya ada cara lain, untuk mencapai cita-cita  dan berkembang lebih baik, daripada dedikasi pada ‘excellence’ tadi?” Pertanyaaannya, apakah kekuatan dedikasi ini hanya dirasakan individu di lingkungan olahraga saja untuk menghadapi sebuah pertandingan? Bukankah, setiap kita pun menghadapi ‘kompetisi’, dalam pekerjaan, bisnis dan kehidupan?    

Meraih Mimpi

Ketika saya membaca ceritera seorang dokter yang bersikeras menurunkan kadar kolesterolnya tanpa obat, dengan meriset internet dan mengembangkan dietnya sendiri, saya jadi meyakini bahwa mimpi bukan hanya milik anak-anak seperti yang digambarkan di film ‘Sang Pemimpi’, tetapi mimpi adalah milik setiap orang. Dengan “menghidupkan” mimpi dan berkeinginan keras, dedikasi akan hadir untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan.

Dalam beberapa kertas kerjanya, dokter ini menyatakan bahwa dedikasi pada apa yang kita ingin raih adalah kunci kesuksesan. “Ini bukan filsafat, ini realita tentang bagaimana kita mempraktikkan hidup ini. Hidup terlalu pendek untuk kehilangan ‘greget’ untuk meraih mimpi”, ujarnya. Hal yang juga sangat tidak disangka-sangka adalah bahwa dokter tua ini beranggapan bahwa bila ingin mempelajari dedikasi, belajarlah dari anak muda. “Mereka   sangat sadar bahwa dunia ini penuh dengan problem dan menikmati problem sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan. Itu sebabnya generasi sekarang ini sangat ‘multitasking’, sekaligus sangat berdedikasi. Lihatlah betapa mereka menemukan produk-produk baru, ‘game’ yang canggih dan segala bentuk produk elektronik yang tidak terbayangkan 10 tahun yang lalu. Semua hasil usaha ini tidak didapat melalui upaya semalam jadi. Kita tahu betapa pemusik-pemusik yang membuat atau mengaransemen lagu sering tidak tidur berhari-hari untuk menuntaskan karya-karyanya.

Jatuh-Bangun

Dedikasi nampaknya sudah tidak sekedar berbentuk ketekunan pada suatu tugas dan tetap melakukannya selama bertahun-tahun saja, seperti jaman ayah saya dulu. Saat ini, di mana perubahan sudah menjadi makanan kita sehari-hari, dedikasi juga bisa kita tampilkan justru terhadap kesetiaan kita mengikuti perubahan, ketekunan kita untuk menghadapi tantangan dan keteguhan pilihan untuk mengambil langkah positif. Dedikasi membuat kita lebih kuat mencoba dan bertahan dalam menghadapi situasi sulit. Tentunya yang tidak pernah berubah adalah obsesi pada keyakinan kita terhadap kesukesan yang kita raih.

Pada generasi sekarang, dengan bermodalkan kreativitas, hasil bisa tercapai dengan cara yang lebih praktis dan usaha yang lebih sedikit. Yang jelas, siapa pun orangnya, ia tidak akan mencapai sukses dan mimpinya tanpa kesiapan untuk jatuh bangun. Tanda dari seorang yang ‘weak-willed’ adalah ia tidak kuat menahan kegagalan. Justru setiap kali jatuh, individu membutuhkan kapasitas berdisiplin dan kekuatan untuk berkompetisi kembali. Ini hanya dimungkinkan kalau keyakinan akan kesuksesannya bersumber dari hati dan menggetarkan seluruh nadinya.

Seorang  eksekutif di organisasi juga bisa timbul tenggelam dalam karirnya. Hari ini menanjak dan lain hari “tidak terpakai” oleh manajemen baru. Sekarang sangat “cocok” dengan atasan, besok-besok mendapatkan atasan dengan “chemistry” seperti minyak dan air. Seorang teman yang sangat berdedikasi di perusahaannya pernah mengalami hal itu. Ketika saya tanyakan apakah ia tidak pernah merasa bosan atau muak terhadap praktik-pratik yang terjadi di organisasinya, ia malah mengatakan:”Kita perlu jadi orang pertama yang percaya dan merespek otoritas organisasi, terlepas dari siapa pun orangnya” Artinya, fokus pada otoritas yang ada di manajemen dan bukan pada individu sebagai otoritas akan bisa menguatkan kita untuk berpegang pada prinsip-prinsip dan tradisi yang ada di perusahaan. Campuran antara disiplin yang sempurna dan kemauan inilah yang membentuk kekuatan untuk senantiasa berpegang pada “excellence”. Apapun profesi yang kita pilih, apakah wirausaha, “company man” atau entertainer, apalagi politikus, dengan dedikasi yang tertanam kuat dalam diri, kita akan selalu bisa menjadi profesional yang keren.

(Dimuat di KOMPAS, 6 Maret 2010)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com