was successfully added to your cart.

Masih ingatkah Anda, cerita-cerita pengantar tidur yang disampaikan oleh orang tua kita dulu? Di usia sekarang, di mana kesenjangan generasi demikian besar, saya mempertahankan tradisi “ceritera nenek” untuk melakukan ‘bonding’ dengan cucu. Cerita yang diangkat sederhana saja, cerita tentang binatang, pengalaman semasa saya kecil, legenda jawa, cina, wayang atau apa saja yang bisa dikarang-karang untuk sekedar mengantarnya kepada mood yang tenang sebelum tidur. Saya belakangan semakin menyadari betapa saktinya pengaruh ceritera tersebut. Cucu saya seakan merekam dan memegang hikmah cerita-cerita tersebut, kemudian ia analisa dan interpretasi dalam pengalamannya sehari-hari. Saat menghadapi masalah sulit di sekolah, ia mengatakan: “Kakek saja berani memperjuangkan kebenaran, masa aku takut untuk membela diri”. Rasanya memang ceritera lebih mudah diingat dan dikaitkan dengan situasi kita saat ini, dibandingkan dengan sekedar nasiha-nasihat tanpa contoh, tokoh dan alur cerita. Kita melihat bahwa individu yang masih mengalami ceritera-ceritera tentang kehidupan Soekarno, terus memegang kesan mendalam tentang presiden pertama kita itu. Misalnya saja tentang hobinya berjalan-jalan seputar istana, betapa beliau juga terkadang berkunjung ke rumah pegawai istana, sambil menyomot tempe goreng panas, yang menunjukkan kesederhanaan, kepedulian dan kedekatan beliau dengan pegawai dan ‘wong cilik’. Tidak pelak lagi, ceritera memang punya ‘impact’ yang dalam terhadap ‘mindset’ dan perilaku orang. Benar juga apa yang dikatakan penulis ceritera jaman Romawi : “Stories has wings and they fly from mountain top to another mountain top”.

Penguatan Budaya Tanpa Paksaan

Kekuatan cerita teruji sangat ampuh untuk membangun budaya perusahaan dan membangkitkan rasa bangga kepada organisasi, bahkan bangsa. Di Fedex, hampir semua karyawan pernah mendengar cerita tentang seorang karyawan yang tanpa pikir panjang menyewa helikopter, untuk mengantarkan sebuah dokumen penting, untuk memenuhi janji ‘on-time delivery’-nya. Tindakan ‘patriotis’ ini segera bisa dipelajari oleh karyawan lain, betapa ‘on time delivery’ dan kepuasan pelanggan harus senantiasa menjadi prioritas. Ketika saya mewawancarai seseorang untuk perusahaan Kawan Lama Sejahtera, saya terpana ketika mendengar jawabannya mengenai pengetahuan tentang perusahaan: “Ya, saya tahu betapa CEO nya  belajar dari ayahnya dan mulai memimpin bisnis sejak usia 16 tahun”.

Dalam reformasi organisasi, penegakan etika dan ‘governance’, Dirjen pajak RI pun ternyata sudah mengangkat, mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita inspiratif dari tempat kerja, yang sejalan dengan nilai-nilai luhur dan budaya organisasi yang tengah dimantapkan. Dari organisasi yang masuk daftar hitam korupsi, lembaga ini kemudian mengembangkan spirit positif serta menegakkan  performance-based culture ‘melalui pengembangan ceritera patriotik yang ternyata cukup ‘powerful” dalam  menyemangati pegawainya.

Dengan dilestarikannya cerita inspiratif, proses sosialisasi budaya dan standar perusahaan bahkan jadi tidak perlu cerewet dan menggunakan tindakan disiplin. Perusahaan perhotelan raksasa Ritz Carlton yang sangat terkenal dengan ‘customer service’-nya, tidak susah-susah mengajarkan dan menertibkan standar pelayanan pelanggan, karena mereka memiliki cerita-cerita heroik sepanjang waktu. Salah satu cerita yang terkenal adalah, cerita tentang seorang karyawan hotel didatangi seorang tamu saat ia sedang menumpuk kursi seusai acara tengah malam. Sang tamu berbisik: “Dik, bisakah disisakan 2 buah kursi, karena aku akan kembali dan melamar calon isteriku di sini. Pelayan tersebut bukan saja meluluskan permintaannya, tetapi kemudian hadir dengan seragam tuxedo lengkap, sebuah buket bunga, lilin, dan sebotol champagne. Tidakan dalam  memuaskan pelanggan ini kemudian menjadi ‘mimpi’ bagi setiap karyawan Ritz Carlton.

Melestarikan Cerita Tanpa Biaya

Di dalam ilmu manajemen strategi membangun “Mythopoetic Leadership” ini sering dinomorduakan dari prioritas, mengingat setiap perusahaan bahkan setiap individu pasti mengejar keuntungan finansial. Namun kita juga bisa menyaksikan betapa upaya merger perusahaan perusahaan raksasa sering  menemui jalan buntu, hanya karena budaya yang tidak matching”. Padahal dalam sebuah survey, seorang ahli manajemen yang meneliti kinerja finansial dan budaya sejumlah 200 perusahaan, menemukan bahwa budaya perusahaan yang kuat berkorelasi tinggi dengan kinerja finansial perusahaan.

Perusahaan yang menyadari hal ini sangat diuntungkan karena ongkos dari penyebaran model-model ceritera ini hampir tidak ada. Hal yang penting adalah kesadaran akan pentingnya melestarikan cerita inspiratif dan ketajaman untuk senantiasa menangkap dan menyebarkannya dalam presentasi, newsletter’, intranet, ‘company profile’, pameran, serta pada awal dan akhir dari setiap rapat rutin. Tanpa banyak kesulitan kita akan mengambil manfaat positif dari nilai, sasaran, sikap bersama, dan praktik praktik ideal yang akan segera menjadi ciri khas organisasi.

Dalam situasi di mana nilai-nilai luhur seakan mudah luntur, kompetisi ketat dan rakyat perlu bergerak secara menyeluruh, kita sendiri pasti merasa haus akan suntikan semangat. Kita perlu meyakini bahwa setiap pribadi bisa “make a difference” melalui “human touch’ yang tepat. Bukankah kita perlu berpikir keras untuk menyuguhi generasi penerus organisasi, perusahaan dan bangsa Indonesia dengan ceritera heroik, keberanian, pelayanan, keluhuran budi dari individu-individu yang berhasil membuat sesuatu yang ‘beda’ dan bukan dengan pertengkaran, cakar-cakaran serta komplen yang berkepanjangan? Bukankah sejak jaman order baru juga belum banyak ceritera heroik yang terangkat menjadi kumpulan ceritera alias Sejarah Indonesia yang menarik sehingga anak cucu kita bisa menjadikan tokoh-tokohnya sebagai ‘benchmark” seperti layaknya Patih Gajah Mada, Jenderal Sudirman, atau Kapten Tendean ?

(Dimuat di KOMPAS, 13 Maret 2010)

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com