Di masa sekarang, di mana krisis datang silih berganti dan tantangan hadir 24 jam di depan mata, setiap kita tentu butuh menjaga dan menambah kekuatan diri, tim dan organisasi. Meski demikian, kita lihat bahwa banyak orang yang tidak menyadari potensi dan kekuatan dirinya, bahkan tidak merasa penting untuk secara serius menggali dan menemukan kekuatannya. Kita bahkan seringkali terjebak menggali kelemahan-kelemahan kita, membahas kekurangan diri kita, tim bahkan bangsa kita sendiri, sampai-sampai akhirnya menyakini bahwa kita inferior, lemah dan tidak berdaya. Bukankah ini sangat berbahaya?
Dalam sebuah sesi refleksi diri, teman saya yang sangat pandai dan berbakat, sempat tergagap saat diminta untuk menceritakan apa yang sering disebut-sebut ibunya sebagai kekuatan dirinya. Ternyata, banyak diantara kita yang perlu mencari-cari dulu dalam ingatannya, apa yang pernah atau kalau “beruntung” dikatakan orang tua mereka tentang kekuatannya. Saya jadi teringat ibu saya almarhum, yang memang sangat “strength based”, berorientasi menegaskan kekuatan dari masing-masing anaknya. Kakak saya yang dilihatnya tidak terlalu kuat dalam analisa, segera dilatih trampil dan cekatan, disekolahkan di SMK, dimagangkan di perusahaan seorang teman, sehingga ia kemudian bisa ‘survive’ bahkan menjadi penyokong kuliah abang dan adiknya. Sementara karena abang-abang saya sering mengecilkan mental saya, ibu saya sebaliknya, selalu mengatakan saya sebagai seorang pemberani. Saat saya memunculkan ingatan akan kata-kata ibu saya tersebut, segera saya bisa merasakan otot meregang, muka berbinar, enerji merekah, sehingga kita merasa mempunyai kekuatan dobel dalam sekejap. Hal yang sederhana ini ternyata menjadi sumber kekuatan hidup. Saya sadari kemudian bahwa inilah “life giving forces” yang mendasari segala upaya dalam kehidupan karir saya.
Sadari Kekuatan
Saat diajukan pertanyaan, “apa yang menjadi kekuatan dirimu”, banyak teman yang lalu dengan tertawa-tawa lalu mengatakan: “Saya kuat di semuanya….” Atau
“Kekuatan saya sama rata…”, atau bahkan “tidak ada hal yang menonjol, semua sedang-sedang saja...”. Tidak menyadari keunikan diri sendiri bisa jadi menunjukkan betapa banyak orang melihat hidup ini sudah demikian ‘taken for granted’-nya. Hidup seolah-olah dipandang seperti permainan, sebut saja sepakbola, di mana bola dan ukuran lapangan sudah standar, aturan sudah baku, dan setiap orang bisa menendang bola serta berlatih dengan acuan yang sama. Jika ini yang terjadi, tanpa disadari individu memang bisa tidak menghargai kemampuannya sebagai modal menciptakan momen-momen terbaik atau “peak experience” dalam hidup pribadinya, pekerjaan, juga kemasyarakatan. Bayangkan betapa ruginya bila kita tidak sempat menggali “life-giving forces” sepanjang hidup kita.
Dengan merasakan, memperhatikan dan menghayati setiap momen dalam hidup, kita jadi bisa menjaga vitalitas hidup kita dan punya kesempatan untuk memberi “warna”, menciptakan “animasi” yang canggih pada hidup kita. Bukankah sebagai manusia modern kita perlu melihat jauh ke masa depan, membuat dan menggambarkan visi serta merancang tindakan kita? Seorang gadis cantik yang berbakat, mengikuti ujian keperagawatian dan lulus. Ia bercita-cita menjadi foto model top dan sempat menikmati profesi ‘modelling’-nya beberapa saat. Beberapa waktu lalu, seorang teman bertemu dengannya yang sudah bekerja sebagai seorang SPG showroom. Ia berdalih dengan menjadi sebagai SPG paling tidak penghasilannya lebih rutin. Bukankah kita bisa membuktikan bahwa seseorang bisa dengan mudahnya melewatkan ‘strength’-nya, hanya menyambut kesempatan yang lewat di depan matanya, tanpa berjuang untuk membuat ‘dreams come true’ bagi dirinya?
Hindari Bahasa Defisit
Kegiatan menonton wakil rakyat melakukan wawancara secara maraton sedikit banyak pasti membuat kita merasa ‘down’.
Betapa tidak, selama berbulan-bulan kita diajak untuk mengikuti adegan demi adegan di mana anggota majelis satu sama lain berusaha saling menjatuhkan. Setiap pertanyaan yang diajukan menggali “what’s wrong”-nya sehingga kita terus-menerus disuguhkan kekurangan, kegagalan, sampai-sampai kita pun merasa pesimis dan menjadikan rasa inferior menetap dalam kehidupan kita sehari-hari. Padahal, dalam momen krisis begini, sangat disarankan kita untuk bisa bersikap konstruktif. Mau tidak mau, diskusi berkepanjangan dan melelahkan ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita menyikapinya dan menerima realitas.
Seorang peneliti mencatatkan hasil surveinya bahwa dalam 30 tahun terakhir, terjadi penambahan jumlah yang signifikan pada kata-kata ‘depresi’, ‘kecemasan’, ‘kegagalan’ dalam berbagai artikel. Sebaliknya, tercatata pengurangan signifikan terhadap tulisan-tulisan yang memuat kata ‘gembira’. “Maybe what looks like a symptom of depression – negative thinking - is itself the disease.", komentarnya.
Berani Positif
Saya pernah meyakinkan dan membuktikan bahwa hanya dengan menggunakan pertanyaan dan pernyatan positif saja kita bisa mengubah keputusan seseorang. Dan kenyatannya fenomena ini sangat ‘magic’. Ketimbang menanyakan “apa yang dibutuhkan?”, kita langsung menanyakan “apa yang terbaik?”. Daripada berkutat pada penyebabnya, kita menanyakan “Apa perbaikan yang kita ingin ciptakan?”.
Dengan demikian kita tidak berorientasi pada masalah tetapi lebih fokus kepada menciptakan masa depan dan menambah kekuatan.
Tampaknya kita perlu selalu mengingat bahwa sebuah pertanyaan atau pernyataan yang tajam akan mengubah hidup seseorang, ke arah positif maupun negatif. Kita harus sadari bahwa kita punya pilihan untuk membesarkan anak-anak kita, tim kerja, perusahaan, bahkan rakyat dengan pilihan kata-kata yang lebih positif sehingga kita semua bisa menumbuhkan sikap positif dan konstruktif menghadapi berbagai tantangan yang ada, bukan sebaliknya menyeret diri ke dalam ‘kegelapan’. “Ultimately, we create the future we imagine.”
(Ditayangkan di Kompas, 30 Januari 2010)