Transparansi di media, membuat kita jadi mendapat sajian baru yang mengasyikkan, di samping infotainment dan sinetron. Dengan alasan mempertahankan prinsip, kita kerap bisa menyimak sikap ‘keukeuh’ individu. Banyak orang membela diri, bersitegang, bahkan bersumpah, sampai-sampai menjadi kabur batasan antara individualitas, profesionalitas dan tugasnya.Ya, sejak jaman dahulu pun para pahlawan kita siap dipenjara, diasingkan dan disiksa untuk memperjuangkan prinsipnya. Lalu, apa bedanya kekerashatian pahlawan-pahlawan kita dengan individu yang belakangan ini kita lihat ngotot mempertahankan tindakannya? Bagaimana kita mustinya bersikap di jaman yang segala sesuatunya serba terbuka seperti ini?
Gaya Hidup “Terbuka”
Dunia kita sekarang memang jauh kompleks dibandingkan masa yang lalu. Teknologi yang makin canggih telah membantu orang menjadi lebih efisien dan cerdas, juga lebih terbuka. Misalnya saja, kita dengan mudah bisa diteropong dan meneropong pendapat, pemikiran, emosi, kedalaman etika bahkan tatakrama kita lewat status di facebook, YM, juga forum diskusi di berbagai situs. Keterbukaan ini tentu saja menuntut kita untuk punya mentalitas yang sesuai dalam menghadapinya. Transparansi penyiaran, perolehan informasi, sampai-sampai pada penyadapan, menyebabkan setiap orang harus senantiasa menyusun strategi untuk lebih siap. “See clearly, think clearly, act clearly”.
Di jaman transparan seperti ini, profesionalitas kitalah yang bisa menjadi modal sekaligus tameng. Birokrasi, jabatan dan otoritas tidak mempan lagi dipakai untuk ‘bersembunyi’. Kita perlu sangat jelas akan peran dan tugas yang kita emban, menyadari tanggung jawab dan juga memahami dampak dari setiap perkataan dan tindakan kita. Kejelasan inilah yang perlu diprogramkan oleh individu yang sedang ‘in charge’ mengemban tugas-tugas penting, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak, pegawai bahkan negara.
Profesionalitas bisa kita mantapkan dengan menciptakan jalur komunikasi ke segala arah, mendorong penyaluran informasi yang lebih terbuka. Tidak saja kepada pelanggan, tetapi juga pada semua “stakeholder”. Cara kerja yang lebih transparan akan serta merta membangun “image” baru, membuat kita lebih mudah diakses, lebih terlihat, dan akuntabel. Dengan memberi pesan yang ‘jelas’, kita akan tampil sebagai pribadi dengan ‘image’ yang jelas. Adanya image ini tentu akan membuat kita lebih mudah mendapatkan insight dan mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Hanya individu yang bertindak efektif dan ‘decisive’-lah yang bisa survive di kondisi yang selain kompetitif juga ‘terbuka’ ini.
You’re Never Alone
Teman saya, secara sukarela akan membuka dirinya, menceritakan apapun yang ingin diketahui lawan bicaranya, tanpa harus repot-repot kita gali. Banyak orang berkomentar dan bertanya-tanya, apakah ia tidak takut digunjingkan di belakangnya. Ia dengan tenang berkata: “Tanpa saya terangkan, orang akan tahu siapa saya dan apa saja yang saya alami. Lebih baik saya kemas saja semuanya dengan benar”. Jadi, teman kita ini sengaja menjadi pribadi yang tampil terbuka, apa adanya, “nothing to lose”. Ia meyakini bahwa sukses jaman sekarang sangat tergantung kemampuan kita menterjemahkan situasi, memperjelas tantangan serta mengukur kompleksitas suatu perkara atau kasus yang melibatkan dirinya dengan gamblang dan sederhana.
Ternyata, dengan sikapnya yang transparan, ia jadi memiliki berbagai kelebihan. Bila menghadapi masalah, banyak konco-konconya ikut memikirkan masalahnya. Selain bantuan jalar keluar, dukungan moril yang dahsyat pun selalu ia terima, sehingga ia pun jadi kuat menghadapi apapun kerumitan masalah yang sedang terjadi. Secara otomatis, transparansi pun menyebabkan kontrol datang dari lingkungan sekitar kita. Apa yang kita lakukan bisa ‘dijaga’ oleh orang-orang di sekitar kita. Di sinilah letak ‘smartness’ dari sikap kita. Dengan membangun keterbukaan yang ditunjang kemampuan komunikasi yang piawai, terbukti kita bisa mengkontrol situasi dan mengupayakan agar lingkungan lebih menunjang kita.
Langkah pertamanya, tentu saja kita harus sadar benar akan peran dan nilai apa yang kita pentingkan dalam hidup ini. Diskusi mengenai sistem nilai, moral, etika, ‘ownership’, toleransi, kebebasan seharusnya tidak perlu selalu dilakukan dalam waktu spesial, tetapi justru dilakukan oleh individu dengan dirinya secara kontinu. Apapun pekerjaan kita, artiskah, dokterkah ataupun pejabat KPK, tanpa kesadaran pada hal-hal yang kita ‘bela’, kita akan sulit berfokus pada hal-hal yang kita tekuni dengan ‘passion’.
(Ditayangkan di KOMPAS, 19 Desember 2009)