was successfully added to your cart.

Teman baik saya yang akan di interviu untuk sebuah kesempatan kerja baru, mendesak saya untuk memberi contekan dan kiat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pewawancara. “Kalau dijawab apa adanya, bisa-bisa kelemahan saya dipakai sebagai alasan untuk menolak saya. Kalau saya jawab yang bagus-bagus, juga pasti dicurigai berbohong”, begitu keluhannya. Saya yang selalu berada di tengah situasi ini, benar-benar speechless.

Di satu pihak  kita sangat memahami bahwa sorang pasti ingin lolos seleksi. Di lain pihak, kita bisa merasakan beratnya upaya organisasi untuk menemukan kecocokan pribadi dan kompetensi seseorang dengan jabatan yang akan diisi. Kita semua tahu istilah ‘putting the right man in the right place’, namun kita pun sangat menyadari bahwa keadaan yang ideal ini sulit dicapai. Sebagai pewawancara, kita sangat terbantu bila individu berani untuk transparan, terbuka. Bagi orang yang diwawancara, tidak ada pilihan lain yang lebih baik, kecuali ‘showing your color’ alias menunjukkan karakter asli diri Anda. Dosa besar dalam situasi seleksi adalah kalau dalam waktu  evaluasi yang begitu singkat, justru individu tidak berkesempatan menampilkan keasliannya sehingga si pewawancara pun tidak bisa menangkap kekuatannya. ‘Be Yourself’ bagaimana yang perlu kita tampilkan?

Rileks

Mungkin, saran terbaik yang bisa saya berikan pada orang yang akan menghadapi interviu adalah: Rileks. Dengan rileks kita baru bisa menampilkan sisi terbaik kita. Bagaimana orang lain bisa mengenal diri kita lebih lebih jauh, bila kita tidak memperbolehkan orang lain untuk masuk ke diri kita lebih dalam?

Kondisi rileks sebetulnya perlu kita biasakan dan latih dalam situasi sehari-hari, tidak hanya dalam konteks interviu saja. Saya cukup sering berhadapan dengan orang yang terlalu tegang. Bentuknya macam-macam, misalnya terlalu kaku pada aturan, disiplin tanpa toleransi, sehingga yang tampil malah kekakuan dan ketidakwajaran. Tentu kita yang rugi bila dalam proses seleksi, kita begitu berjarak sehingga informasi yang diperoleh orang lain tentang diri kita pun dangkal. Kitalah yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain untuk mengetahui kekuatan kita.

Berkarakter transparan dan terbuka di jaman sekarang kita lihat semakin menjadi tuntutan. Kita tentu heran, bila dalam pergaulan, seseorang tidak memberikan akses pribadinya, seperti  nomor ponsel, akun facebook atau twitter. Rileks tentu sangat berbeda dengan berkepribadian slebor, asal-asalan, bahkan tidak peduli pada norma masyarakat. Orang yang rileks bisa menolak untuk melakukan hal yang melanggar norma dan prosedur tanpa harus berkonfrontasi. Orang yang rileks tetap berdisiplin dengan waktu dan bisa tertib mengatur busana sesuai keperluan tanpa perlu ‘ja-im’ berlebihan. Kita tahu bagaimana kondisi rileks menyebabkan seseorang jadi punya enerji lebih untuk menahan diri bila merasa tersinggung oleh kata-kata atau ungkapan orang lain, sehingga tanpa terasa ia juga tampil sebagai orang yang terkontrol.

Lapar dan Agresif

Dalam sebuah pertemuan, yang diadakan panitia Job Fair, saya melihat pencari kerja bersikap “jaim”, menahan diri, takut salah dan terlalu berhati-hati. Justru karena ingin tampil sopan dan penuh aturan, kita jadi sulit untuk menangkap enerji, semangat, agresivitas dan spirit individu. Padahal, enerji adalah hal pertama yang ingin dilihat dan ‘dibeli’ dari individu. Sebagai manusia, kita harus selalu ingat bahwa kita adalah sumber enerji yang tidak ada habisnya. Energi perlu kita genjot dengan senantiasa menyempatkan diri untuk menggali informasi baru, menangkap kesempatan baru, pekerjaan baru dan tugas baru. Sikap ‘excited’  inilah yang perlu ditampilkan.

Sikap seperti orang kekenyangan, merasa pintar, puas diri, tidak butuh informasi, tidak mendengar ataupun tidak bergerak cepat, menunjukkan bahwa kita tidak bisa berproduksi dalam waktu yang panjang. Kita sendiri tentu bisa memahami, bila sikap ini kemudian membuat orang tidak berminat bekerja sama dengan kita.  Tidak ada salahnya kita tampil sebagai orang yang menguatkan presence” dan meyakini kesuksesan dan prestasi. Kita pun sah-sah saja bila punya tidak menempatkan diri sebagai obyek interviu tetapi mengambil sikap sebagai subyek yang berhak menggali informasi, menjawab pertanyaan dengan imajinasi masa depan yang terang, serta membawa amanah profesi yang kuat.

Jual Diri

Kita semua menyadari bahwa keahlian, ketrampilan dan kekuatan yang terlipat rapih di dalam diri kita, tidak selamanya bisa dipamerkan setiap saat. Kita beruntung apabila berkesempatan menuliskan Curriculum Vitae atau membuat portofolio yang menarik untuk menjual diri kita. Dalam banyak kesempatan, daftar kekuatan ini pun tidak bisa kita pertontonkan seperti barang dagangan di etalase. Justru kitalah yang senantiasa perlu mencari bahkan mencuri kesempatan untuk mempertontonkan apa yang kita bisa dan menunjukkan apa yang kita minati, sehingga orang bisa jelas melihat bedanya kita dari orang lain.

Sudah jamannya sekarang setiap orang, apapun profesinya, sadar bahwa dirinyalah yang menjadi agen penjual bagi dirinya sendiri, bukan orang lain. Untuk membuat orang lain memahami kemampuan kita, kita perlu mampu menganyam presentasi keahlian kita dalam obrolan-obrolan yang ringan tetapi informatif.

Kalau dipikir pikir, mengapa baru mengemas diri pada saat menghadapi interviu atau tes fit & proper? Bukankah aspek aspek  yang baru disampaikan memang wajar dikembangkan setiap individu yang ingin mengembangkan individualitasnya? Bukankah ini juga yang akan membedakan kita dari orang lain dan memberi jaminan bagi kita untuk ‘survive’ dalam situasi sulit begini?

(Ditayangkan di Kompas, 28 Nov 09)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com