Dalam sebuah rapat di perusahaan klien, terjadi ketegangan menghadapi kerugian yang tidak bisa terelakkan. Pelanggan menuntut ganti rugi, sementara perusahaan harus mengeluarkan banyak uang bila meluluskannya. Saat tanggung jawab terasa tidak seratus persen di tangan diri pribadi atau divisi, semua orang diam, tidak berinisiatif mengambil risiko. Tidak ada yang berusaha mengambil kendali yang pada dasarnya adalah akuntabilitas bersama.
Pada saat-saat seperti ini, barulah terasa bahwa seringkali ada beban tanggung jawab yang lebih besar dan lebih luas menghadang di depan mata. Kita punya pilihan: Apakah akan diam di saat perusahaan terancam? Apakah pada saat perusahaan krisis, kita sekedar ingin menjadi komponen atau berdiri di depan? Apakah anak buah korupsi, ada atasan muncul dan mengakuinya sebagai kesalahan dirinya yang kurang pengawasan? Apakah saat terjadi ambruknya jembatan, ada pejabat yang tidak sekedar membuat alasan dan penjelasan, tapi langsung menyatakan rasa bersalah? Kekuatan memilih untuk memperbesar beban tanggung jawab dan memperluas jangkauan akuntabilitas inilah yang sering disebut-sebut orang sebagai ‘rasa memiliki’ atau ‘sense of belonging’.
Menguji Sense of Belonging
‘Rasa memiliki’ bisa terasa dan teruji dalam banyak situasi. Melalui kampanye dan kelompok-kelompok yang punya kesamaan rasa dan pemikiran misalnya, kita lihat beramai-ramai orang mendukung aksi: “Aku bangga jadi orang Indonesia”. Di perusahaan, untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, banyak pihak bersuara lantang dalam meeting dan brainstorming mengenai solusi, inovasi, kebijakan dan cara bagi tim dan perusahaan untuk bisa tetap kompetitif. Ini memang ekspresi rasa memiliki. Namun, rasa memiliki yang lebih jauh, justru teruji bila kesalahan, kerugian, resiko besar juga “dimiliki” individu secara konkrit, dalam bentuk tindakan.
Slogan-slogan perlu teruji dengan realita betapa kita langsung menyingsingkan lengan baju membantu korban bencana tanpa banyak analisa dan komentar. Dalam situasi keuangan perusahaan yang seret, apa reaksi kita saat gaji dipangkas dan fasilitas dipotong? Saat dibutuhkan untuk berkorban, misalnya anggaran unit dipotong, fasilitas dipangkas, terkadang keluar pernyataan: ‘Kenapa Saya?’. Individu yang punya ownership yang baik, sebetulnya akan spontan berkata: ‘Kalau bukan saya, siapa lagi?’ Di sinilah kebesaran jiwa, keberanian akan tercermin dalam akuntabilitas yang otomatis, tanpa pikir panjang.
Haruskah Menyalahkan Cuaca?
Sebuah perusahaan yang sedang menggalakkan program kepemimpinan, mengeluhkan macetnya program pengembangan karyawan. Saat didiskusikan akar permasalahannya, banyak karyawan menyebutkan bahwa pimpinan perusahaan yang sangat dominan, cerdas, jeli namun tidak banyak mengayomi-lah yang menyebabkan buruknya situasi. Banjir keluhan bahkan komentar sinis yang sedikit-sedikit ditujukan ke pimpinan perusahaan, akhirnya berdampak buruk terhadap pengembangan individu sendiri. Dengan berfokus pada buruknya situasi, pusat kontrol dalam diri individu terhambat. Individu cepat merasa tidak berdaya. Sebagai akibat, motor yang menggerakkan diri untuk merasakan ‘sense of urgency’ serta ambisi untuk menjadi lebih baik, lumpuh.
Kita memang bisa menyalahkan cuaca, membaca ‘angin’ dan mencium atmosfir, tetapi motor penggerak dalam diri kita sebagai individu perlu kita hidupkan bahkan kita optimalkan agar tidak aus. Mencari kambing hitam dalam situasi bekerja ataupun dalam hubungan suami isteri, justru menutup kemungkinan kita untuk mengembangkan diri secara jangka panjang.
Mengaku Salah, bukan Mengaku Kalah
Saat Alan Greenspan didesak di hadapan Kongres Amerika dan secara langsung ditanya: “Apakah Anda bersalah?” atas terjadinya krisis global, ia menjawab: “Ya, sebagian saja”. Kita lihat betapa pamornya yang bertahun-tahun dikagumi dunia karena pemikiran-pemikirannya yang cemerlang, sirna karena jawabannya yang seakan berusaha tidak mengalokasikan kesalahannya lebih lebar daripada tindakan kongkritnya. Andaikan saja seorang bernama besar seperti itu bisa mengambil tanggung jawab dan menganggap bahwa krisis sebagian besar adalah kesalahannya, dunia justeru akan lebih bersimpati dan menghormatinya. Pengakuan atas kesalahan pribadi atau kelalaian, tidak sekonyong-konyong menjatuhkan pamor, malahan bisa menjadi tindakan ksatria yang bisa membangun kredibilitas, rasa percaya dan bisa membawa tim untuk mengambil tindakan perbaikan diri bersama. Rasa memiliki bukan saja terasa kalau lembaga atau Negara sedang aman-aman saja, tapi justru pada saat seseorang memilih untuk maju dan mengatakan :”Ini salah saya”.
Mengaku salah, kadang berat karena seolah-olah mengaku kalah. Namun, pasang badang mengaku salah, sebenarnya sangat erat hubungannya dengan ‘sense of belonging’ yang sering didengung-dengungkan orang. Kita lihat betapa banyak pimpinan atau mantan pimpinan berlomba-lomba mengklaim sukses yang ia buat di masanya, namun saling lempar tanggung jawab bila diangkat mengenai kesalahan kebijakan atau pengambilan keputusan yang ia buat.
Bila seseorang bisa mengakui kesalahan, ia secara otomatis akan lebih berupaya mengambil tindakan atas masalah yang berada dalam ‘jangkauannya’, lebih bebas mengalokasi perbaikan dan mengganti arah untuk sukses selanjutnya. Tentu saja permintaan maaf juga tidak kita harapkan tanpa penghayatan, tanpa ketulusan atau bahkan sebagai suatu alat untuk menghindari terbukanya kesalahan yang lebih dalam. Permintaan maaf, terutama yang keluar dari seorang pemimpin adalah bukti atau praktik penalarannya. Dibuka dengan pernyataan pengakuan atas tanggung jawabnya, seorang pemimpin sebetulnya lebih mudah mengelola resiko, membuka pikiran orang di sekitarnya, membuka diskusi yang lebih dalam, terbuka dan jujur demi “corrective actions”.
(Ditayangkan di KOMPAS, 4 Juli 2009)