Maraknya karyawan berdagang di kantor, membuat sebuah perusahaan menetapkan larangan berdagang kecil-kecilan, melalui surat edarannya. Kemudian, timbul olok-olok karyawan yang mengatakan, “kalau berdagang besar-besaran, boleh dong?”
Di antara karyawan yang berdagang kecil-kecilan, ada seorang karyawan yang rajin sekali berdagang ‘bumbu pecel’. Yang tadinya hanya di seputar teman kantor, lalu berkembang menjadi temannya teman atau tantenya teman dan akhirnya menjadi buah bibir dan dipesan secara teratur oleh banyak orang. Kalau tadinya pesanan menggunakan ‘aiphone’ kantor secara diam-diam, dengan berkembangnya komunikasi kantor, pesanan datang melalui intranet.
Beberapa saat absen dari pembelian bumbu pecel, saya ‘surprised’ saat mengetahui bahwa teman pedagang bumbu pecel itu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan lama. Teman-teman menyarankan untuk membeli bumbu pecelnya di supermarket. Kini, hampir di semua supermarket menjual bumbu pecelnya, dengan rasa dan kualitas sama. “Jadi, si penjual bumbu pecel ini, kini sudah berdagang besar-besaran, ’kah?”, komentar saya. Ternyata benar. Ia pun sudah menyiapkan ‘branding’ yang mantap, memiliki website yang simpel namun elegan, bahkan sekarang sangat fokus pada produksi dan pemasaran bumbu pecelnya.
Bermental ”Multimillion Dollar Brand”
Sikap ‘low profile’ yang mendominasi bangsa kita bisa jadi membuat kita sulit untuk membangga-banggakan karya kita, entah karena kita sendiri tidak yakin akan kualitasnya ataupun karena belum dikenal atau belum terbukti kehebatannya. Kalau dipikir-pikir, bila bukan upaya keras kita untuk melakukan ‘marketing’, siapa lagi yang akan melakukannya? Bukankah ‘tak kenal maka tak sayang’?
Dalam iklim persaingan yang keras, bahkan curang, kita tidak bisa berbisnis tanpa bermain impresi. Siapa mau berbisnis atau menjadi pelanggan dari penjual jasa ataupun produk yang tidak mengesankan kualitas, keseriusan dan kapabilitas kita? Apakah mungkin menunggu ‘ditemukan’ orang lain yang akan mengangkat nama kita? Mungkin saja mutu dan kualitas produk kita sangat baik, tetapi untuk tidak dipandang enteng oleh publik, kita perlu mensejajarkan produk dan usaha kita sama dengan pemain besar kalau perlu, kelas nasional, regional bahkan dunia, terlepas bahwa kantor atau pabrik kita masih sangat sederhana.
Tidak seperti di jaman orang tua kita dulu, di mana memoles produk dan jasa yang mengesankan kualitas dan pengalaman harus merogoh kocek mahal, di jaman sekarang, kita bisa cerdik memanfaatkan teknologi milis, facebook, sedikit ‘business intelligence’ melalui website. Bila kita melakukan ‘browsing’ di internet, bisakah kita membedakan situs web perusahaan baru dari yang kawakan, yang besar dan kecil, atau yang berpengalaman atau tidak? Perusahaan kecil tidak berarti harus punya website yang asal-asalan dan tidak jelas, bukan? Kita tetap bisa membuat kesan profesional dan berkelas, tanpa harus mencantumkan reputasi, seperti “Berdiri sejak 1950”, misalnya.
Tanpa menunggu besar dan sukses, dengan biaya terbatas, kita memang perlu membuat diri kita ‘besar’. Bila dihitung-hitung, sebuah kotak kartu nama yang indah, dibuat dari kertas terbaik, dan dicetak dengan cara yang paling bermutu, akan berharga 4 kali lipat daripada kartu nama yang sangat standar, kadang-kadang miring-miring bahkan luntur cetakannya. Kartu nama hanya akan diberikan kepada 1 atau 2 calon pelanggan yang akan mendatangkan bisnis. Mengapa tidak kita membuat kemasan se menarik mungkin , kartu nama yang ‘representatif’yang membuat orang yang melihat langsung ‘jatuh cinta’ bahkan kagum?
Hampiri Pelanggan
Saat memulai usahanya, seorang teman rela bersusah – payah melakukan perjalanan yang sangat jauh dan sulit, sekedar untuk ‘menjajakan’ produknya. Ia membawa ‘sampel’ produknya dan berusaha menemui pemilik perusahaan untuk mencoba produknya. Ia yakin bahwa pelanggan sulit menolak transaksi bisnis bila ia secara pribadi menemui calon pelanggannya. Hasilnya sangat memuaskan. Ada pelanggan yang terkesan karena produknya, ada juga yang terkesan karena kegigihannya dan ada pula yang bersimpati dengan ‘salesmanship’-nya. Ini memang terbukti dari ungkapan terkenal: "If Mohammad can't go to the mountain, let the mountain come to Mohammad."
Tidak banyak orang yang menyadari bahwa pemerintah pun akhir-akhir ini menggalakkan pameran gratis untuk produsen produk lokal. Tentu saja partisipasi dalam pameran-pameran akan memperbesar kemungkian kita ‘dikenal’ orang dan membina kontak bisnis. Untuk itu kita perlu siap dengan paket pameran seperti backdrop , brosur yang update dan representatif. Semua upaya ini, bisa kita lakukan dengan cermat tanpa berhutang ke bank, asalkan direncanakan dengan matang, kreatif, professional dan penuh kehati hatian.
‘Buah Bibir’
Bukankah kita semua setuju bahwa kita lebih happy belanja di warung yang ibu pemiliknya melayani dengan manis, membantu mencarikan barang dan bahkan kadang-kadang memberi’bonus’ permen kepada anak kita? Bukankah saat sekarang kita menyaksikan betapa produk-produk makanan menawarkan sampel produk secara ber’murah hati’ di pasar-pasar swalayan. Kesemuanya itu tentunya berlatar belakang pada keyakinan bahwa dengan sedikit bermurah hati menawarkan pertolongan, memberi jasa gratis dan mengijinkan calon pelanggan menguji coba produk kita, membuat kita punya kemungkinan yang lebih besar untuk menjadikan orang terkesan.
Rahasia dapur tentu saja perlu kita pertahankan. Namun, kita perlu menunjukkan bagaimana kita ‘percaya’ pada produk kita sendiri dan bagaimana ‘hati dan pikiran’ kita tercurah di dalamnya. Bagi kita yang baru memulai usaha, sulit jika kita membiarkan produk dan jasa kita terbungkus dan tertutup rapat sampai orang membayar. Kita mengenal betapa ‘word of mouth’ marketing sekarang dirasakan paling ampuh ketimbang cara-cara pemasaran lainnya. Nah inilah kesempatan kita untuk tampil sebagai pemrakarsa yang tahu betul mengenai produk dan jasa, ramah, baik, inovatif dan penolong sehingga menjadi ‘buah bibir’ orang.
(Ditayangkan di Kompas, 2 Mei 09)