“Nilai seorang komandan itu sangat besar”, ujar seorang perwira militer, ketika saya tanyakan mengenai pembagian tugas pada operasi penyerangan di lapangan. “Dengan alasan itu, dalam banyak situasi, komandan di simpan di belakang, anak buah yang maju.” Situasi ini memang secara luas kita pahami bersama, seperti halnya kita lihat di papan catur. Pion, sebagai ujung tombak, berdiri di barisan terdepan. Mulai dari pion sampai perwira, semua berperan untuk melindungi sang Raja. Raja, meskipun memegang posisi puncak, terbatas langkahnya.
Gejala ini pun kita lihat di mana – mana, termasuk dalam dunia bisnis. Para eksekutif yang bernilai dan dibayar mahal, duduk di ‘kelas’ yang berbeda dengan anak buahnya saat bepergian. Di masa orde baru, kita menyaksikan eksekutif pemerintahan dan di BUMN diberi fasilitasi kamar tidur, ruang makan, sebagai bagian dari kamar kerjanya. Setiap orang tahu bahwa para menteri , CEO, presiden memang perlu mempunyai job description yang lebih general, strategis, politis, dan tidak ‘hands on’. Namun bila diamati lebih jauh, situasi ini ternyata tidak selalu menguntungkan bagi si eksekutif sendiri. Jarak yang diciptakan, membuat komunikasi terhambat, sehingga tak jarang eksekutif jadi lambat mengambil keputusan, karena tidak ‘update’-nya informasi yang sampai ke tangannya.
Fakta bahwa eksekutif jauh dari kenyataan di lapangan, saya saksikan baru – baru ini ketika sebuah perusahaan sedang menyusun ‘taskforce’-nya dan merapatkan barisan untuk menghadapi situasi krisis. Pak direktur yang mesti ‘memimpin penyerangan’, terpaksa banyak bungkam, karena tidak punya ‘feel’ yang baik terhadap kondisi pasar. Ia bahkan tidak tahu, siapa anak buahnya yang harus di pasang, siapa yang harus dipindah dan siapa yang harus diganti. Begitu pula dalam menentukan klien mana yang perlu diperhatikan, peluang pasar apa yang perlu digarap dan area mana yang perlu dibuka. Pembesar, pejabat, eksekutif puncak, memang kerap mengalami dilemma ini. Situasi ini membuat kita berpikir ulang. Haruskah ‘jarak’ antara eksekutif dan bawahan serta pekerjaan – pekerjaan lapangan dipertahankan? Sejauh mana ‘komandan’ bisa nyaman ngendon di sangkar emasnya?
Genggam Realitas, tebar optimisme
Mengawasi angka penjualan menurun, pasar sepi, anak buah mulai kehilangan arah, atau pemilu yang penuh tanda-tanya bisa saja membuat seorang pemimpin justru ingin memalingkan muka dan berharap bahwa gejala yang ia saksikan akan cepat berlalu. Ini adalah fenomena yang wajar bila kita menghadapi kenyataan pahit. Padahal, Max Dupree, ahli manajemen menekankan: "The first responsibility of a leader is to define reality.” Informasi dari waktu ke waktu, menit ke menit, berubah begitu cepat, sehingga rencana, proses kerja dan bisnis pun perlu segera ditindaklanjuti, tidak bisa banyak menunggu.
Seorang pimpinan, perlu menjadi penterjemah dari suatu situasi dan menyusunnya ke dalam gambaran yang baik, agar setiap anggota dan rakyatnya bisa punya pandangan yang lebih nyata mengenai realitas, sampai mereka bisa berkata:”Oh begitu toh …duduk perkaranya…”. Rakyat atau anak buah tidak bisa dibiarkan bertanya – tanya, sehingga tumbuh sikap mental ‘menunggu’ yang menyebabkan kinerja mandeg. Tidak cukup sampai di situ, pimpinan pun perlu meramalkan masa depan, agar kecemasan dan kekacauan bisa dihindari. Ia perlu menampilkan : “the ability to look ahead and see what's coming up”. Hal ini memang sulit dilakukan jika hanya sekedar membaca laporan dan mendengarkan isu – isu dari bawahan saja.
Di era ‘google’ dan ‘quick count’ sekarang, tidak ada jalan bagi seorang pemimpin untuk tidak bersikap sigap dan transparan terhadap anak buah dan berkomunikasi seolah olah ia juga berada bersama anak buah atau rakyat di lapis yang paling depan dan bawah. Pemimpin sudah tidak bisa lagi ketinggalan informasi, gatek, bahkan telmi (telat mikir) ketimbang anak buahnya atau rakyatnya. Jika ini terjadi, bagaimana sang pemimpin bisa mendemonstrasikan integritas dan kredibilitas personalnya?
Magnet di hati, kompas di kepala
Kita semua menyaksikan betapa Obama dalam pidato - pidatonya berhasil menarik emosi rakyat dan membuat rakyat terajak, merasa diperhitungkan, dilibatkan dan ditantang. Walaupun kelihatan biasa biasa saja, Obama membuktikan bahwa intensitas kepemimpinan baik secara emosi maupun ratio yang kuatlah yang menarik energi rakyat melalui hal – hal yang lebih operasional, ‘day to day’, kontrol tindak lanjut secara “head-in, hands-on”.
Pemimpin tidak bisa menang sendirian. Ia harus bergerak ke bawah, ke lapangan dan mengemas komunikasi yang empatetik dan realistis, sehingga bawahan bisa menyadari siapa mereka, berada dalam keadaan apa, dan tahu apa yang diperjuangkannya. Optimisme dan cara memandang masa depan perlu dipertontonkan pada anak buah. Skenario yang di gambarkan perlu didasarkan pada realitas terbaru dan solid. Inilah saatnya bagi pemimpin untuk menularkan kegigihan dan keberanian melalui proses ‘modelling’ yang nyata, bila ia ingin mempunyai barisan yang memang gigih dan kuat.
Dari tokoh tokoh manajemen dunia seperti Warren Buffet dan Richard Branson, kita juga belajar bahwa dengan mengedepankan keunikan pribadi secara jujur, transparan tetapi berintegritas pemimpin bisa menginspirasi anak buah atau rakyatnya. Sikap “be yourself” yang tulus, justeru ‘menjual’dan menjamin rasa percaya, dan optimisme bawahan. Bayangkan bila pimpinan puncak berjarak dan membiarkan dirinya steril dari anak buahnya. Bagaimana mungkin ia akan bisa menularkan spirit dan membangun hubungan yang kuat serta membuat visinya ‘dibeli’ oleh para pengikut yang sudah pintar-pintar ini?
(Ditayangkan di KOMPAS, 18 April 2009)