Dengan begitu berkembangnya teknologi, semakin mudah saja kita menemui orang - orang di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri, yang begitu sibuk dengan berbagai gadget. Mulai dari eksekutif top, sampai ABG. Seorang teman bahkan bela – belain membawa laptop pribadi ke kantor karena kantor tidak memberi akses internet bagi semua karyawan, agar ia tidak kehilangan kontak dengan dunia maya. Ia lalu memasangnya laptopnya di sebelah komputer kantor, agar senantiasa terkonek dengan jejaring sosial, sepanjang jam kerja.
Kiriman video yang menayangkan sajak Serafina Ophelia berjudul “ibu dan fesbuk”, yang pada dasarnya mengkritik keasikan orang tua pada situs gaul di komputer, tak pelak memancing berbagai reaksi. “Ibu. Facebook. Hubungannya eraaat sekali. Setiap hari, sehabis makan, setelah mandi, setiap saat.... Sampai kapankah hubungan erat ibu dan fesbuk? Mungkin sampai akhir hayatnya. Notebooknya akan dibawanya... ke Surga” Ada yang sekedar tertawa atau mengagumi ketajaman pengamatan sang anak. Ada pula yang lalu mentertawakan dirinya dan mawas diri: ”Sebegitu terbenamnyakah kita di dunia maya ini, sehingga seolah-olah dunia riil sudah ‘tidak penting’ lagi?”
Tidak heran kalau di lingkungan pergaulan ada pula sekelompok orang yang menamakan dirinya “anti BB alias anti-Blackberry” dengan alasan anti ‘lifestyle asal lifestyle’. Mereka menyuarakan keprihatinannya akan kehidupan gaya baru yang membuat orang menjadi tidak ‘being present’, tidak peduli akan apa yang terjadi di sekelilingnya, lebih dominan tersedot ke sebuah layar kecil yang seolah ‘berbicara’ ‘berceritera’ ‘membawa kabar gembira’ ‘memberi instruksi’ dan memberi banyak stimulus yang menyebabkan kita terbenam ke dalamnya. Bayangkan saja, bila blackberry di tangan kiri, sementara di hadapannya komputer dengan belasan windows yang terbuka sekaligus. Baru sebentar menekuni tugas tertentu, segera saja terdengar bunyi:”ping!”, entah dari yahoo messenger, sms, chat facebook, ataupun blackberry messenger yang memanggil. Dan, hampir semua dari kita, dengan setianya langsung merespon dan berpindah perhatian ke si pemanggil, padahal belum tentu pesan tersebut berguna, misalnya:”lagi ngapain…?”. Sadarkah kita akan ‘cost’ yang kita tanggung akibat ‘Ping – Ping’ yang menginterupsi?
Perhatikan Perhatian Kita
Teman saya memang ratu multitasking. Sambil mendengarkan keluhan bawahannya, ia ingat untuk me-remind pembantunya membeli daging rawon. Bersamaaan dengan mendiskusikan jalan keluar keluhan bawahan, ia sekali-sekali bisa melirik ke ‘incoming mail’-nya, memonitor perkembangan dari situasi yang perlu ditindaklanjuti. Pertanyaannya: berapa orang dari populasi manusia yang mempunyai kapasitas seperti teman kita ini? Ya, tidak semua orang dianugerahi talenta multitasking seperti ini. Jika, katakanlah, bawahannya meniru melakukan hal yang sama dengan atasannya, siapa yang akan menekuni pekerjaan pekerjaan yang butuh fokus dan konsentrasi tinggi? Dan, bila bawahan memperbolehkan dirinya diinterupsi setiap saat, kapan waktu ia bisa melakukan pekerjaannya dengan tuntas dengan kualitas yang baik?
Kita yang saat ini berada dalam knowledge economy , di mana berjuta pengetahuan yang ada dan datang perlu dicermati dan dipilih baik-baik, ditantang dengan situasi di mana banyak sekali, terutama penduduk Asia, melakukan “task-switching,” berpindah dari satu tugas ke yang lain. Situasi ini menjadikan kita tidak cukup punya kesempatan mengendapkan dan memusatkan perhatian kita pada hal yang benar-benar penting.
Tanpa disadari banyak, diantara kita menginterupsi, syukur - syukur kalau tidak dipermainkan oleh interupsi. Bahaya yang tidak kita sadari akibat interupsi ini, bukan saja pada waktu yang terbuang, tapi juga pada terlepasnya fokus kita pada tugas yang pertama. Dari hasil penelitian terhadap 9000 pekerja yang ditanyai kapan saat mereka paling kreatif, hampir semua mengatakan bahwa mereka bisa berpikir kreatif pada saat tidak diinterupsi. Dalam atmosfir ‘overload’ informasi dan interupsi yang konstan ini, rupanya kreatifitas berpikir kita juga terancam. Alangkah bahayanya. Kita akan sulit mengeluarkan solusi kreatif, karena kita tidak bisa mendalami permasalahannya dengan baik. Bisa bisa kita dibingungkan dan mencampuradukkan antara realita ‘tech-savvy’ dan kegiatan mengembangkan dan menginovasi pengetahuan baru Mungkin contoh yang paling ekstrim adalah Einstein, yang senantiasa memikirkan, membawa tidur permasalahan dan berkendara ‘concern’-nya, sampai menemukan ‘AHA’ sebagai jawaban dari suatu permasalahan. Bayangkan bila Einstein hidup di jaman ini apakah ia bisa se-‘unplugged’ dan se’fokus’ ini? Dalam ‘era digital’ ini, nampaknya banyak orang lupa bahwa pemusatan perhatian adalah sebuah kompetensi yang sangat penting dan perlu diperhatikan.
Siaga 1, Siaga 2, Siaga 3.
“Saya benci dokter jantung saya. Dia tidak bisa ditelpon saat saya memerlukannya” ungkap teman saya. Kekesalannya ini bisa sekali dimengerti, apa lagi kalau teman kita ini punya kondisi berisiko tinggi dengan jantungnya. Ada profesi-profesi dan situasi tertentu di mana seseorang memang harus siap “on call” alias “si-ma-tu-pang”, siang malam tunggu panggilan, misalnya saja petugas customer service PLN yang harus siaga 24 jam sehari. Namun demikian, apakah semua profesi, contohnya, dokter mata harus juga ‘on-call’? Apakah semua militer harus “s3b” setiap-saat-siap-berangkat tanpa ada situasi mengancam? Bukankah hal ini yang menyebabkan adanya pembedaan siaga 1, 2 dan 3?
Kita sebagai mahluk biologis memang dibekali sistem kewaspadaan terhadap perubahan situasi. Contohnya reaksi-reaksi refleks kita, kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya. Tentunya di era ‘speed’ dan ‘mobility’ ini, beraksi terhadap ‘ping-ping’ dari gadget-gadget yang kita miliki sangat wajar. Namun, jangan kita lupakan bahwa ada tugas tugas berpikir seperti analisa, sintesa, berstrategi, berinovasi dan mengarahkan serta memfokuskan perhatian kita. Selain itu, kita pun perlu menghargai situasi tatap muka yang sedang kita hadapi, yang justru dijamin jauh lebih kaya daripada informasi layar gadget yang tidak mengandalkan kekuatan persepsi dan multisensori kita. Belum lagi respek, perasaan kita dan perasaan orang yang hadir di hadapan kita, bukan saja perlu diperhitungkan, tetapi juga merupakan sumber informasi tersendiri pula.
Teknologi perlu kita gunakan lebih bijaksana, sebelum justru membuat kita bodoh sebelum waktunya. Mungkin, tidak salah juga bila ada orang yang “lebih sulit dicari daripada presiden” dengan dalih sedang berkonsentrasi dan mencari ilham.
(Ditayangkan di Kompas, 28 Maret 09)