Memang kenyataan yang sudah lumrah bahwa investasi di ‘human capital’ akan segera dianggap sebagai investasi yang mudah dipangkas. Dari pihak perusahaan, “secara ‘law of commerce” ada kecenderungan menganggap karyawan sebagai beban. Dari pihak karyawan, meskipun ada yang optimis, tak urung mencuat rasa was-was bahwa dialah yang akan dipilih untuk di ‘lepas’, entah karena gaji yang dianggap terlalu besar atau karena merasa bahwa produktivitasnya tidak terlalu nyata.
Dalam situasi ini, bersikap pasif sudah pasti salah. Namun, untuk bersikap proaktif juga tidak selamanya dibenarkan. “Projek yang sedang berjalan dibekukuan, sementara projek baru ditunda. Anak buah berharap pada kita, sementara atasan juga tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan yang kita ajukan.” Sementara karyawan sadar bahwa gaji tidak bisa dinaikkan, biaya perlu ditekan dan semua orang dituntut bekerja ekstra keras untuk ‘menyelamatkan’ angka penjualan, mungkinkah ada sikap yang tepat dalam menghadapi situasi ini?
Berpikir dan Bersikap sebagai ‘Survivor’
Seorang partner di McKinsey, saat ditanya oleh seorang peserta ceramah mengenai kunci suksesnya meraih jenjang bergengsi di konsultan ternama itu, menjawab “bila ingin menjadi partner, bersikaplah sebagai partner”. Nasihat itu sebetulnya bisa kita terapkan dalam situasi di mana kita tidak berada dalam posisi yang ‘menentukan’. Dalam krisis dan posisi ‘terjepit’, kita tidak perlu bersikap sebagai obyek yang tidak berdaya, karena itu akan membuat diri kita benar -benar tidak berdaya.
Bersikap seolah-olah kita memegang posisi yang menentukan atau berada dalam tim yang hebat akan sangat membantu produktivitas. Berpikir dan bersikap sebagai ‘survivor’ membuat orang tidak sempat tenggelam dalam sikap pesimis. Tentu saja, kewaspadaan perlu ditingkatkan, namun bersikap ceria dan pede sangat dibutuhkan, baik oleh diri kita sendiri maupun orang di sekitar kita. Dalam keadaan sesulit apapun, orang tentu akan memilih berdekatan dengan yang optimis daripada yang belum-belum sudah lesu, bukan?
Fokus ke Masa Depan
Berfokus ke masa depan ternyata menimbulkan ‘power’ tersendiri. Konon, para ‘survivor’ atau mereka yang kebanyakan bertahan di kamp konsentrasi Jerman adalah mereka yang tak putus harapan pada masa depan. Dalam pembahasan “Mourning and Melancholia”, bapak Psikologi, Freud, juga mengatakan bahwa seseorang bisa keluar dari masa masa depresinya, hanya bila ia bisa melihat masa depan yang lebih cerah dan membayangkan masa depannya dengan jelas.
Dalam bisnis, berangan-angan mengenai masa depan bentuknya tentu sedikit berbeda. Survivor dalam bisnis, perlu berantisipasi dengan memfokuskan pada kebutuhan pelanggan di masa depan. Bisa jadi berfokus pada pelanggan adalah satu-satunya jalan keluar di masa sulit begini, karena tanpa pelanggan, perusahaan tidak bisa meneruskan bisnis..
Saat kondisi sulit begini, kita pun perlu sedikit menelan gengsi. Turun tangan langsung mengunjungi pelanggan yang selama ini didelegasikan ke anak buah, menunjukkan sikap kooperatif saat diharuskan bekerja di bawah komando kolega yang lebih junior karena adanya peleburan divisi, ataupun berdiri langsung sebagai frontliners untuk melayani langsung, malahan akan terlihat keren karena mengekspresikan fleksibilitas dan kemampuan kita.
Ikatan emosional
Inilah sebetulnya saat-saat di mana kita betul-betul perlu mempraktekkan kemampuan kita berempati. Tantangan yang meningkat, krisis dan deraan bekerja lebih keras untuk ‘survive’, kadang membuat banyak orang merasa dirinya paling susah sedunia, sehingga menutup mata untuk merasakan apa yang dirasakan oleh teman, bahkan atasannya. Di masa sulit begini, banyak pimpinan perusahaan yang merasa ‘lonely’, karena adanya hambatan bagi mereka untuk men-‘sharing’ perasaan dan kecemasannya pada anak buah. Hal ini bukan disebabkan karena kerahasiaan atau tuntutan perusahaan, tetapi lebih kepada karena lemahnya ‘koneksi’ atau ikatan emosional antara pimpinan dengan bawahan, sehingga bawahan pun tidak ada yang mendekatkan diri dan menunjukkan ketulusan rasa empatinya terhadap kesulitan pimpinan.
‘Emotional bonding’, meskipun sudah ada dalam diri setiap individu sebagai manusia, perlu juga dipelajari dan senantiasa kita asah. Dengan kesamaan rasa terhadap krisis yang dihadapi, karyawan perusahaan bahkan bisa lebih kompak, merapatkan barisan untuk memperkuat kelompok dan merasakan kesatuan yang menginspirasikan.
Terlihat, Terdepan.
Di era elektronik, di mana orang mudah mengekspresikan dirinya di dunia cyber melalui twitter, facebook, dan media gaul lainnya, jangan sampai kita lupa bahwa ‘penampakan’ riil sangat berguna, bahkan tidak tergantikan. Untuk membangun kredibilitas dan ‘terlihat’, tentu saja kita perlu ‘hadir’ dan berpartisipasi lebih banyak. Seorang teman kerja kerap berujar: ‘kerjaan numpuk, dikejar deadline’, saat ditanyakan alasan mengapa ia sering absen dalam acara informal kantor atau baru hadir saat acara sudah akan berakhir. Bolak - balik melontarkan excuse seperti ini tentu saja tidak mendatangkan simpati, bahkan bisa jadi orang malah mempertanyakan kemampuan kita untuk mengelola pekerjaan secara ‘smart’.
Merasa tidak ‘jagoan’ juga bukan alasan bagi kita untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan olah raga. Kita bisa hadir ‘for fun’ untuk meramaikan acara. ‘Excuse’ bahwa kita lemah dan berpenyakit dalam acara ‘outing’ misalnya, hanya menyebabkan orang berpikir bahwa kita memang orang yang lemah. Kita perlu mengupayakan agar kita menjadi ‘coporate citizen’ yang utama. Bila bukan sebagai pengurus, jadilah partisipan terdepan.
(Ditayangkan di Kompas, 7 Maret 2009)