Saya terkesan ketika seorang CEO sebuah perusahaan memberi arahan pada bawahan-bawahannya, bahwa dalam menghadapi krisis sekarang justru program-program yang menyangkut pengembangan kepemimpinan perlu digalakkan. “Nasib perusahaan ada di tangan Anda, di setiap departemen dan semua unsur organisasi. Sekaranglah waktunya Anda membuktikan kepemimpinan.”
Pemimpin memang sudah seharusnya: memimpin. “The leaders have to lead”. Nampaknya memang banyak kasus, di mana individu yang diharapkan ‘mempimpin’ sekedar melaksanakan tugasnya dan tidak menghadapi secara konfrontatif segala kompleksitas, ambiguitas dan “unpredictabilities”, di samping tentu saja harus me-manage timnya. Terkadang saya jadi bertanya-tanya, bahkan berterimakasih kepada individu-individu yang bersedia, bahkan sangat bersedia, sampai-sampai agak ‘ngotot’ untuk memegang tampuk kepemimpinan suatu lembaga bahkan Negara. Meminjam istilah Karen Agustiawan, mereka pastinya sangat paham dan jago dalam bukan saja “plan the work”, tetapi juga “work the plan”. Nah dalam ‘working the plan” inilah baru akan teruji daya adaptasi, inovasi, kejelian menangkap peluang, serta kecerdikan dalam mengelola kegiatan operasional dalam situasi yang sangat berubah-ubah dan rumit dengan bimbingan yang sangat minimal.
Tidak Bisa bilang: ‘Tidak Bisa’
Dalam setiap pembahasan mengenai kepemimpinan, para ahli sering menyebutkan bahwa pemimpin yang tidak punya visi dan tidak berpegang pada misi yang diemban tidak mungkin bisa sukses mengarahkan anak buah. Kita pun banyak membaca bahwa pemimpin yang berhasil adalah mereka yang membuat keputusan – keputusan yang cemerlang. Hal yang tidak banyak disebut-sebut adalah kesulitan pemimpin dalam menghadapi kompleksitas di lapangan.
Bisakah kita berempati pada Obama yang menghadapi musuh-musuh politiknya? Bisakah kita membayangkan Perdana Menteri Australia, menghadapi kebakaran hutan yang menewaskan paling sedikit 166 orang? Bagaimana dengan Karen Agustiawan yang diberi tanggung jawab memimpin lembaga paling produktif secara finansial di Negara ini, Pertamina, dengan 7 anak perusahaan? Dengan sedikit upaya, kita tentunya bisa membayangkan betapa ‘ribet’-nya kita bila masuk dalam posisi para pemimpin tersebut. Bahkan saya bertanya dalam hati “kok, mau – maunya ya orang masuk dalam situasi sesulit itu?”
Harapan masyarakat terhadap seorang pemimpin tidak pernah memperkirakan dan mempertimbangkan kesulitannya, namun hanya permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu “be there” kalau ada kesulitan dan menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan perusahaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata ‘tidak ada budget’ bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tapi pemimpin tertinggi tetap tidak bisa mengelakkan kalau program harus dijalankan. The show must go on. Uangnya dari mana, pemimpin-lah yang harus putar otak dan mengerahkan semua sumberdaya untuk mencari solusi.
Pemimpin dipilih justru bukan karena ia bertugas menjalankan tugas yang manis-manis. Justru dalam menentukan pilihan pada seorang pemimpin, pemegang saham ataupun rakyat sudah membayangkan pe-er yang tidak mungkin mudah, tentang hal-hal yang bukan saja terjadi di masa lalu tetapi juga yang kita tidak tahu di masa mendatang. Pemimpin ini pun tidak pernah diharapkan untuk sedikit-sedikit berkonsultasi, karena secara prinsip itulah bedanya pemimpin dengan bawahan: ia tidak mempunyai atasan tempat bertanya. Dalam situasi sulit begini, pemimpin juga tidak diharapkan untuk sedikit-sedikit excuse atau mengatakan alasan bahwa ia perlu waktu untuk belajar, mempelajari atau analisa, karena gelombang perubahan yang lebih keras pun akan menyapu kondisi sekarang bila ia tidak menggerakkan organisasinya. “Things are going to go wrong and some crazy things are going to happen.”
Kompleksitas yang Menuntut Pengembangan Kekuatan dari Segala Aspek
Dalam merencanakan kegiatan ‘assessment center’, mengurai aspek-aspek kepemimpinan yang dituntut oleh suatu organisasi terkadang bisa menjadi diskusi yang sangat alot. Minimalnya, seorang pemimpin diharapkan bisa menampilkan kemampuan meneropong masa depan (visi), komitmen, akuntabilitas, integritas, fleksibilitas, ketrampilan interpersonal, ketrampilan komunikasi, serta mengelola sumber daya yang memberdayakan tim untuk mencapai sasaran.
Saat mengukur dan memetakan ‘kurang – lebih’-nya keadaan orang yang dinilai dengan aspek kepemimpinan yang diukur, saya sering membatin, apakah mungkin seorang pemimpin bekerja ‘all out’ bila ia tidak mempunyai kekuatan full spectrum dalam menghadapi kompleksitas yang ada. Tidak jamannya lagi kita menyebut-nyebut peran pemimpin dengan berperan ganda atau beberapa peran sekaligus, karena setiap pemimpin memang diharapkan berperan secara multifacet. Tiada maaf bagi pemimpin yang lemah dalam sisi tertentu, karena seluruh lembaga akan diserang di sisi lemah tersebut.
Bahkan, sambil menggerakkan, seorang pemimpin juga perlu meyakinkan diri dan tim, bahwa pasokan dan kebutuhan tim serta anak buah bahkan rakyat cukup. Bukankah ini yang diharapkan rakyat? Jadi, pemimpin perlu bisa memainkan banyak peran dari penggerak, pemasok, penyemangat, pemecah masalah, pengayom dan masih berpuluh-puluh peran yang memang perlu trampil dimainkan. Kelihatannya tuntutan terhadap seorang pemimpin belum berubah dari jaman dulu seperti yang dituliskan Mark Twain dalam “Life on the Mississippi”: “the man has got to learn more than any one man ought to be allowed to know” dan “that he must learn it all over again in a different way every 24 hours.”.
(DItanyangkan di KOMPAS, 14 Februari 2009)