was successfully added to your cart.

Katakan "Tidak"

Dalam sebuah pertemuan, beberapa manajer dan pimpinan sebuah perusahaan kecil bertanya pada saya, “Etiskah bila kita menolak permintaan kenaikan honor dan gaji karyawan, di saat perusahaan juga tengah susah seperti saat ini?”. Pertanyaan itu menyadarkan saya kembali, betapa banyaknya dan betapa seringnya kita merasa sulit mengungkapkan ‘kabar buruk’ atau berkata ‘tidak’ pada orang lain. Kesulitan mengungkapkan ‘kabar buruk’ dan ‘berkata tidak’ ini ternyata tidak semata terjadi pada saat kita berada dalam posisi ‘tidak berdaya’, tapi bahkan juga pada saat kita ‘full power’ sebagai atasan ataupun pejabat.

 

Berada di era informasi di mana beragam pilihan setiap waktu dihadapkan pada kita, tentunya menjadikan kita betul-betul perlu serius dan hati-hati untuk memilih dan memutuskan hal-hal yang kita rasa sebagai tindakan yang paling tepat, apalagi dalam situasi sulit yang menuntut kita untuk menghasilkan produktivitas tinggi. Memang, tindakan yang benar tidak selalu populer dan tidak akan bisa menyenangkan hati semua pihak. Tengok betapa pasangan Budiono - Sri Mulyani berusaha meredakan kepanikan di tengah situasi ekonomi yang masih seperti roller coaster seperti sekarang, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan beresiko, yang belum tentu disetujui banyak pihak. Bisa kita bayangkan betapa sulitnya duet karismatik ini ‘menolak’ dan berkata ‘tidak setuju’ dalam rapat-rapat penentuan kebijakannya.

Mungkin hampir semua dari kita, terutama dalam budaya timur kita, setuju bahwa mengatakan ‘tidak’ memang sulit diterapkan karena mengundang rasa kikuk, rasa bersalah, ketegangan bahkan ketakutan akan rusaknya persahabatan dan karir. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak memilih mengatakan ‘tidak’ tetapi juga tidak mengatakan apa-apa sehingga tidak ada tindakan yang dilakukan.

Sudah Bisakah Kita Menyatakan “Ya”?

Bisa jadi salah satu kesulitan kita untuk mengatakan ‘tidak’, adalah karena kita juga kadang mengatakan ‘Ya’ untuk sesuatu yang sebenarnya tidak sepenuhnya kita setujui. Maksudnya, kita ‘Iya-iya saja’, tanpa betul-betul mengambil tanggung jawab atau follow up dan komitmen terhadap hal yang kita ‘Iya’-kan itu. Misalnya, kita biasanya tanpa banyak pikir panjang menyatakan ‘setuju’ untuk mematuhi seluruh peraturan perusahaan, saat kita baru bergabung dengan perusahaan tersebut. Saat men-download sebuah software ke komputer, kita pun biasanya tidak mau repot membaca term dan condition yang dipersyaratkan, dan segera meng-klik tanda ‘Setuju’, tanpa memahami isinya. Kita pun biasanya tidak terlalu ambil pusing saat menandatangani ijab pernihakan untuk mengikat janji setia dan saling mencintai.

Teman saya, seorang manajer keuangan, mundur maju bila menolak pinjaman karyawan, ataupun permintaan lain. Ia mengemukakan, “Saya ini terlalu baik untuk jabatan saya. Jadi tidak bisa bilang tidak”. Padahal dalam sikap ‘baik’-nya itu, ia banyak menyetujui hal-hal yang sebenarnya kurang diyakininya. Bila komitmen dan persetujuan yang kita buat betul-betul disadari dan dan dipatuhi, kita pasti akan merasa lebih mantap dan lebih pasti dalam menjalankan tugas dan kegiatan kita. Kita pasti akan lebih ‘ringan’ untuk menolak permintaan, karena kita sudah mempunya ‘daftar’ panjang dari apa yang sudah kita sepakati.

Di beberapa perusahaan, komitmen untuk memegang etika, ‘good governance’ diperbaharui tiap semester atau tiap tahun. Tujuannya semata-mata mengingatkan karyawan agar tetap berpegang pada hal-hal yang sudah disetujuinya, sehingga karyawan ingat untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar apa yang sudah dia ‘komit’. Berkata tidak sebenarnya adalah membuat batas yang jelas antara apa yang kita ‘Iya’-kan dan apa yang tidak kita ingin ‘Iya’kan. Orang akan sulit menolak bila ia tidak bisa membedakan kedua hal ini dengan jelas. Sebaliknya, orang lebih berani menolak, bisa ia tahu bahwa pe-er komitmennya sudah sederet dan harus diselesaikan dahulu.

Menarik ‘Keyakinan’ ke ‘Kesadaran’

Suatu ketika, seorang teman saya ragu saat ia merasa perlu menolak sebuah proposal dari rekanan yang sebenarnya sangat ia respek. Setelah beberapa saat berkutat dengan kesulitannya mengambil keputusan, akhirnya ia mengajak rekanannya berdiskusi untuk menyamakan persepsi, saling mengecek keyakinan dan mendapatkan ‘common ground’. Pada akhirnya, penolakan yang ia lakukan tidak lagi terasa berbentuk ‘penolakan’, tetapi  menjadi keputusan bersama. Untuk bisa lebih mantap dalam bertransaksi atau mengambil keputusan, kita memang perlu menarik apa yang kita yakini ke kesadaran, sehingga kita bisa sangat ‘clear’ dengan keputusan kita.

Keyakinan bahwa kita tidak selalu benar dan tidak selamanya merupakan sumber kebenaran juga perlu kita tanamkan dalam-dalam. Namun, sikap ini juga harus diseimbangkan dengan keyakinan bahwa kita tidak selalu salah pula. Dengan sikap yang seimbang  ini kita bisa lebih berani bereksperimen dan mengambil risiko, serta lebih siap untuk menghadapi kesalahan atau sikap yang tidak menyenangkan dari pihak lain.

 

Respek Diri Sendiri maupun orang lain

Ketrampilan mengatakan tidak sebenarnya akan menjamin kesehatan mental dan merupakan suatu nilai yang membuat kita, lingkungan dan dunia kita lebih anggun dan berbudaya. Dengan tidak mengambangkan keputusan, tidak mengulur-ulur jawaban, kita sebetulnya menunjukkan respek kita ke orang lain dan otomatis meningkatkan respek kita ke diri sendiri, karena menghargai waktu dan menghayati urgensi. Respek inilah yang sering tidak kita perhitungkan dalam transaksi hubungan interpersonal. Padahal, dari respeklah kita bisa meningkatkan ‘sense of worth’, kualitas pribadi  kita. Dengan merespek diri kita sendiri dan orang lain, kita bisa lebih jelas memandang masalah di antara kita dan orang lain, kita bisa lebih ‘mendengar’ dan membaca situasi, keyakinan dan kebutuhan orang lain, lebih menggali untuk memikirkan apakah akan menolak atau meng-’iya’-kan suatu tindakan.

(Ditayangkan di Kompas, 25 Oktober 2008)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com