Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh.
Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.
Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences”
Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain.
Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’
Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi.
Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit
Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri.
(Ditayangkan di KOMPAS, 26 Juli 2008)