“Dapatkan satu set dapur ‘branded’, ditambah satu jaket kulit eksklusif, bila Anda membeli apartemen sebelum akhir bulan ini”, “Bagi putra-putri Anda, mainan kecil selama penerbangan”. Serbuan promosi ini, kesemuanya ditanggapi oleh kita-kita, baik yang kaya maupun miskin, yang perlu ataupun tidak memerlukan, dengan ungkapan:”Kenapa tidak?”. Apakah sesudah itu jaket maupun mainan dibuang ke tong sampah karena tidak cukup “berharga” untuk disimpan, itu urusan lain. Yang penting, kita “mendapatkan”-nya.
Semenjak tahun 80-an, keberadaan mal-mal indah, sejuk dan nyaman seakan menjadikan kegiatan “shopping” sebagai ritual yang sah, bahkan dijadikan sarana untuk mengumandangkan “Siapa saya” alias identitas diri. “Apa yang kita beli dan konsumsi, adalah cerminan dari diri kita”. Tanpa sadar kita sudah berada pada situasi di mana konsumsi tidak ada hubungannya dengan “biaya” dan kebutuhan. Konsumsi adalah “impulse”, yaitu reaksi impulsif yang secara sengaja dipelajari dan didalami oleh kaum “marketers” yang berusaha untuk menyasar para konsumen agar lebih mengkonsumsi dan mengkonsumsi lagi. Operator telpon, penjual minuman, bahkan rokok sangat menyadari bahwa konsumen yang paling empuk adalah remaja. Dan, karenanya remaja di ninabobokan dengan konsumsi yang mudah, ringan tetapi adiktif, menjebak, dan sulit bisa lepas lagi. Pertanyaannya, mungkinkah kita kembali ke era di mana kita melakukan “reasonable & reflective consumption”, dan dengannya berpikir keras mengenai kuantitas dan kualitas barang yang kita konsumsi?
Saya teringat kebiasaan ayah saya di tahun 60-an, yang setiap pagi hari pukul 6 berangkat dari rumah di Cilandak dan mengangkut beberapa anak sekolah langganan sepanjang Jl Fatmawati, yang sudah seolah ber-“gentleman agreement” untuk berangkat bersama. “Daripada kosong”, begitu komentar ayah saya, yang dengan bangga mengendarai Austin Thames-nya, mobil pribadi pertama yang dimilikinya. Memiliki mobil, pada jaman itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakan, tetapi kemudian, berbagi fungsi dan kemudahan membuat hidup lebih bermakna lagi. Mengapa di jaman sekarang, kita tidak kunjung bisa menanggulangi jalan macet dengan berbagi? Bahkan, kita menghalalkan pelanggaran dengan memanfaatkan para “joki” demi “privacy” alias “selfishness” .
Isu “matre” atau sikap materialistis nampaknya sudah kuno, basi, tidak signifikan lagi, karena kita memang sudah terbiasa, bahkan terbelenggu menjadi ‘konsumen setia’. Kemudahan dan keuntungan sebagai pemegang kartu kredit dan kartu debet dan segala macam kemudahan berutang menjadikan kita tidak kuasa lagi untuk setiap kali, berhenti sejenak, berpikir dan mempertimbangkan tentang pengeluaran uang, ongkos, serta kegunaan dari barang, produk maupun jasa yang kita konsumsi. Nampaknya untuk berhemat, semua dari kita perlu “start from scratch” dan berpikir sangat keras, merekayasa dan mendesain suatu pendekatan yang lebih manusiawi ketimbang komersialisasi, lokal ketimbang global, dan membuat sendiri ketimbang membeli, demi menyelamatkan kesejahteraan fisiologis, psikologis, emosional dan spiritual.
(Ditayangkan di KOMPAS, 24 Mei 2008)