Diuntungkan oleh adanya berbagai milis di internet, kita bisa “menonton” hal-hal yang oleh mayoritas kita tidak pernah kita alami. Salah satu kabar tergres dari sebuah milist menggambarkan:”Di tengah kemiskinan yg menggerogoti bangsa ini, tiga menteri dan ratusan pengusaha kakap hadir di Singapura untuk menghadiri acara pernikahan seorang konglomerat kelas kakap
Dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh almamater saya, Fakultas Psikologi, beberapa dari kami, terhenyak ketika diminta menjawab pertanyaan: “Apa yang sudah Anda sumbangkan pada almamater?” Ada teman yang spontan menjawab bahwa ia giat mengupayakan pembangunan gedung fakultas, ada yang mengarang hymne dan adapula yang aktif dalam kegiatan kegiatan dies natalis. Saya pribadi merasa tertampar dan sangat menyadari betapa selama ini belum ada kontribusi signifikan yang saya sumbangkan ke fakultas. Apapun kontribusinya, seberapa pun besarnya, kepada lembaga, mulai dari yang sekecil apapun, baik keluarga, rukun tetangga, almamater, perusahaan bahkan negara, bila kita sudah melakukannya, sebenarnya bisa membuat kita berjalan lebih tegak dan ”merasa kaya”.
Teman-teman saya di milist ”penggemar makan” adalah orang-orang istimewa. Meski latar belakang pendidikan dan pekerjaannya beragam, mereka punya kebiasaan yang kurang lebih sama. Di samping membahas, mengupas dan men-share pengalaman mengenai makanan, pengalaman hidup yang signifikan seperti perjalanan, kamera baru, pernikahan ataupun situasi ”menjadi ibu baru” pun ditulis. Dalam milist itu, kita pun saling membahas apresiasi kita terhadap persahabatan dan kekeluargaan di antara kita, sehingga terasa sekali bahwa setiap individu anggotanya masing-masing ”enjoy”, merasa bahagia dan ’berisi’. Ternyata, dari pertemanan sederhana ini kita bisa belajar bahwa tidak selamanya harta yang berlimpah membuat orang merasa kaya. Kekayaan pengetahuan, perasaan, reaksi emosi, kreativitas, struktur kepribadian yang demokratis dan terbuka menyebabkan orang merasa bebas, tidak terkungkung dan bisa menjangkau apa yang diinginkannya secara realistis.
Sebagai bangsa yang merdeka, setiap individu sebenarnya bisa memanfaatkan kebebasan memilih jalan pikir, rasa dan tindakannya. Setiap pilihan yang cermat akan membuat individu puas dan merasa hidup lebih baik. Bila kita kurang menyadari bahwa pilihan pengalaman dan perasaannya dalam interaksi dengan orang lain bisa ’memperkaya’ diri kita, maka pengalaman dengan orang tertentu sering ”lewat begitu saja” dan tidak dihayati dengan mengerahkan seluruh penginderaan sehingga pengalaman tidak terpotret kemudian terserap secara optimal, di samping tidak terintegrasi dengan perasaan yang menyertainya. Ketidaksadaran dan ketidakmampuan inilah yang sering menyebabkan orang yang kaya uang makin berusaha menimbun kekayaanya atau orang yang tidak mempunyai cukup uang merasa miskin.
(Ditayangkan di KOMPAS, 3 Mei 2008)