Sekarang, jalur pantura tidak hanya macet pada saat mudik lebaran saja. Tanggal 17 Februari 2008, Kompas mencatat kemacetan lalu lintas sepanjang 34 km di jalur pantura, di mana kendaraan hanya bergerak 1 – 5 meter setiap 15 – 30 menitnya. Di halaman lain, digambarkan betapa sopir dan kenek sabar menunggu dan saling berbagi pisang goreng untuk mengisi waktu. Dari pemberitaan media, kita melihat bahwa belum habis satu masalah dituntaskan dengan memuaskan, sudah datang lagi secara bertubi-tubi keterpurukan yang lainnya. Mulai dari korupsi yang merugikan negara ratusan trilyun, banjir yang senantiasa menghantui warga Jakarta, pemakaian zat pengawet beracun dalam makanan, ujian negara yang semestinya tidak bermasalah tetapi menjadi masalah besar, dan banyak lagi hal lainnya. Dalam hati saya berkomentar, “Memang ‘nggak ada mati’-nya Bangsa Indonesia ini.” Mungkinkah bangsa kita akhirnya ditumbuhi sikap frustrasi menghadapi ‘pukulan’ yang tak kunjung berhenti ini?
Hal yang paling berbahaya, saat kita menghadapi keterpurukan yang bertubi-tubi adalah bahwa kita, baik para intelek maupun invidu yang biasa-biasa saja, kemudian memaknai dan melihat bahwa kesalahan, keterpurukan dan kondisi alam, ekonomi dan cuaca yang tidak menguntungkan ini sebagai situasi yang ‘no way out’; tak ada jalan keluarnya. Bila sense ‘no way out’ bertumpuk, menimbulkan frustrasi dan mulai menjadi sikap mental, maka segera saja diri kita bisa mensahkan rasa ‘tidak berdaya’ dalam menghadapi berbagai situasi yang tidak menguntungkan. Ini bisa tercermin dari malasnya individu mencari solusi, pasif, pasrah, nrimo, dan tidak mau repot-repot berupaya. Bahayanya, Dr. Martin Seligman, seorang psikolog, mengatakan bahwa rasa helpless (ketidakberdayaan) ini, terbukti dipelajari. Artinya, kita mengkondisikan diri dan belajar untuk tidak mau repot-repot berusaha. Fatalnya lagi, kita bisa menurunkan ‘ketidakberdayaan’ ini pada generasi mendatang. Atau, dalam kata lain, generasi mendatang bisa belajar untuk menjadi ‘letoy’ dan tidak bertindak.
Tumbuhkan Tanggung Jawab Diri Sendiri
“Ya, mau bagaimana, peraturannya sudah begitu.”, “Seharusnya pemerintah-lah yang…”, Yaaah, kita kan hanya orang kecil…”. Komentar – komentar yang menyiratkan bahwa otoritas tidak ada di tangan diri sendiri, terasa semakin mendukung dan semakin men-sah-kan ketidakberdayaan individu. Kita bisa rasakan bahwa masih banyak di antara kita yang beranggapan bahwa jalan keluar, kendali, tanggung jawab atau kekuatan tidak berada di tangannya tapi di tangan pihak lain. Semakin hasil akhir tidak berada di tangan individu, semakin sikap mental ini tumbuh dengan subur dibenak masing masing individu. Semakin besar harapan individu akan munculnya pihak lain, ‘pahlawan’, atau ‘penyelamat’, seperti manajemen perusahaan ataupun pejabat pemerintah yang akan membenahi keadaan, semakin besar juga rasa ‘ketidakberdayaan’ individu untuk mencari solusi; tidak hanya untuk permasalahan yang ‘besar’, kompleks dan menyeluruh, namun justru juga masalah yang sebenarnya sangat bisa digarap individu di depan matanya. Kondisi seperti ini tentulah merupakan kerugian perusahaan, bahkan kerugian bangsa, karena potensi dari masing masing individu sudah tidak bisa produktif lagi. Tidak ada kekuatan individual, yang ada hanya komunal.
Berpikir positif memang lebih enak diucapkan daripada menjalankannya. Namun demikian, bila kita benar benar khawatir bahwa kita akan tumbuh menjadi orang yang “letoy” dan tidak bertenaga melakukan perubahan, kita lebih baik menyusun niat untuk belajar. Daripada menunggu ‘penyelamat’, kita bisa dan perlu memikirkan bagaimana menggalang “power” di dalam diri sendiri dan menyadari “Apa yang kita bisa lakukan?”. Setidaknya, kita bisa lakukan pembenahan di sekitar lingkungan kita sendiri, seperti ungkapan popular dari A’a Gym, yaitu, ”3 M: mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang”.
Sadari bahwa Kita Harus ‘Tumbuh’
Mantan atasan saya sering menekankan bahwa orang bisa ingat pada kekuatannya bila ia menanamkan dalam pikirannya bahwa ia dan lingkungan di sekitarnya harus “tumbuh”, setua apapun dia. Di setiap diri manusia memang ada naluri untuk tumbuh dan menjadi matang, tetapi naluri ini pun perlu disadari, dikembangkan, diperkuat dan tidak boleh dikekang baik oleh sistem, otoritas atau bahkan oleh diri sendiri. Kita memang bisa melihat diri kita sendiri seolah-olah ‘work on progress” yang sedang kita garap secara terus menerus.
Kenalan saya, seorang pengusaha coklat dan kacang mede, mengeluh betapa pemerintah daerah tempat ia berusaha, tidak mendukung usaha pertaniannya yang padat karya dengan kelancaran prosedur.”Bukannya saya minta fasilitas, tetapi saya hanya ingin tidak dihambat”. Namun ia tidak pernah putus asa. “Motivasi kita harus jernih, kuat dan jelas” demikian ungkapnya. Pengusaha yang masih muda ini sangat jelas menyusun “Do’s dan Don’t’s” di perkebunannya yang mencakup kehidupan sosial, finansial, tradisi dan manajemen di kalangan karyawannya, yang tanpa disadari menjadi “kekuatan” bisnisnya. Dengan tujuan yang jelas, menurut teman saya ini, daya tahan terhadap rasa sakit, kesulitan dan tekanan jadi lebih besar, bahkan kita mempunyai tambahan “power” untuk memecahkan masalah. Seperti yang sering diungkapkan para olahragawan “martial arts”: Know what to do; learn the skills; remove the blocks.
Temukan ‘Power’ Dahsyat dalam Diri Kita.
Kalau kita sedikit “Back to Basic” dan melihat betapa sebuah pohon secara “powerful” berkelit menghindari rintangan dan mencari jalannya sendiri untuk tumbuh, maka kita pun bisa menghilangkan semua kekuatan yang bisa kita sandari seperti kekuatan pemerintah, manajemen, orangtua, keluarga, guru, pasangan untuk menanggulangi kesulitan dan masalah yang kita hadapi di depan mata. Tidak akan ada pencerahan atau mujizat, yang ada adalah realita. Yang jelas, realitas yang nyata adalah adanya “power” dahsyat yang tersembunyi dalam diri kita.
(Ditayangkan di KOMPAS, 23 Februari 2008)