“The bad news is time flies. The good news is you``re the pilot” (Michael Althsuler)
Sudah hampir satu setengah jam berlalu dari waktu yang dijanjikan, namun klien penting yang saya tunggu (dan saya pikir tengah mengharapkan kehadiran saya), belum juga ada tanda-tandanya akan datang. Handphone beliau off. Staffnya tak bisa memastikan apakah pimpinannya masih lama datang atau sebentar lagi. Memang ini bukan yang pertama kali terjadi, tapi tetap saja situasi begini bikin saya bengong. Ketika akhirnya bertemu, beliau muncul dengan sumringah. Tidak tampak, apalagi terucap, penyesalannya membuat saya menunggu hampir dua jam. Pun tidak tampak bekas-bekas adanya kondisi urgen yang membuatnya terlambat. Jelas, ini hal biasa untuknya.
Meski sudah millennium baru, di mana begitu banyak teknologi, mulai dari HP, email, jam dan agenda yang bisa digunakan sebagai ‘reminder’ dan alarm, namun budaya jam karet kita terasa betul masih begitu mengakar. Meeting-meeting yang terlambat, deadline yang dilanggar, janji dipatahkan, pesawat delay, adalah berita ’biasa’. Gawatnya, daripada sekuat tenaga mengupayakan ’on time’, kita malah kadang sekuat tenaga memeras otak untuk mencari ’excuse’ atas keterlambatan kita, mulai dari jalanan macet, anggota tim sulit diatur, agenda ketinggalan. Padahal label kalau bangsa kita ini punya budaya ’jam karet’ sudah puluhan tahun umurnya, namun nyata-nyata belum kadaluarsa juga. Apakah kita sama sama-tidak merasa bahwa kerongsokan pemanfaatan waktu ini sudah jadi bom waktu, tinggal tunggu meledaknya? Bukankah untuk mengupayakan berbagai keunggulan dan bisa ’menang’, di era kompetitif ini kita perlu terbiasa dengan ”deadline”, urgensi, efisiensi, bahkan upaya ”mencuri waktu”?
STOP Buang Kesempatan Emas
Seorang teman, pemilik sebuah kontraktor bangunan besar menceritakan kiatnya dalam memenangkan kompetisi. ”Yang penting bangunan kita bangun tepat waktu. Bayangkan betapa banyaknya sumberdaya, material dan bunga bank yang terbuang bila ada delay”. Di sini hukum klasik ”waktu adalah uang” benar-benar berlaku. Sebaliknya, teman saya kehilangan kesempatan kerja yang ia impikan karena terlambat hadir pada saat wawancara. Sepupu saya sport jantung, hampir tidak jadi menikah, karena penghulunya tidak bersedia menunggu lebih lama karena harus menikahkan di tempat lain. Pernahkah kita kehilangan pelanggan karena servis kita lama, tidak sesuai waktu yang dijanjikan?
Setiap orang yang terlambat, lupa janji, teledor berlama-lama dalam bekerja, sebenarnya punya rasa bersalah dalam dirinya. Namun, kita banyak tidak menggarap rasa bersalah itu dengan melakukan tindakan perbaikan. Sebagai akibat, kebiasaan bekerja dengan deadline, menghormati waktu orang lain, tidak menjadi obsesi individu bahkan sudah tidak terasa mengganggu lagi. Padahal, sebaliknya, ”waktu” di-”mainkan” dan dimanfaatkan orang lain untuk berbisnis. Dalam bisnis pelayanan misalnya, jika kita ingin menyenangkan hati ’customer’, maka menjaga komitmen waktu sebetulnya adalah sarana yang sangat baik, sekaligus paling sederhana. ”Saya memilih perusahaan penerbangan ini, karena selalu tepat waktu” demikian komentar pelanggan. Bukankah hal ini sebuah fitur pemasaran yang ampuh?
Mungkin kita tak boleh lagi menunda untuk mem-benchmark perusahaan yang sudah sedemikian paham dan ’alert’ bahwa waktu adalah hidup–matinya, dan menciptakan berbagai tools yang membantu untuk selalu waspada dan menjualnya sebagai nilai tambah, misalnya saja, Mc Donald punya jam pasir, di mana pesanan sudah harus muncul sebelum pasirnya habis, atau mereka akan kena penalti, harus memberi hadiah ke pelanggan.
Bukan Sekedar Sibuk, tapi ‘Sibuk’ yang ‘Added Value’
Kita tahu bahwa memang ada orang yang lebih pintar, lebih menawan, atau lebih trampil dari yang lain. Dan, kita juga tahu bahwa setiap kita punya ’modal’ waktu yang sama, yaitu 24 jam atau 1440 menit atau 86400 detik sehari. Dengan modal waktu yang sama, kita perlu menguasai trik-trik untuk bisa unggul. Seperti kalimat bijak Henry David Thoreau, “It``s not enough to be busy, so are the ants. The question is, what are we busy about?
Teman saya, seorang eksekutif yang super sibuk, memimpin beberapa perusahaan sekaligus, selalu kelihatan ”punya banyak waktu” untuk pelanggan maupun anggota timnya. Dengan santainya ia memilih pertemuan, tugas, proyek yang penting saja untuk digarap. Sisanya, ia delegasikan. Ia cermat mengkalkulasi waktu perjalanan di
Ambil Langkah Nyata, Sekarang!
Seorang kolega di sebuah perusahaan terkemuka, setiap kami bertemu mengeluhkan budaya ngaret di kantornya yang begitu parah. Orang-orang biasa datang ke kantor terlambat lebih dari satu jam, istirahatnya diperpanjang semau gue dan pulang lebih cepat tanpa terlalu merasa bersalah. Suatu hari, saya menemukan banner besar dipasang di tiap lantai di kantornya yang berbunyi,”Ayo dooong, kerja tepat waktu…” Ketika pertama melihat, saya tersenyum sendiri karena membaca nuansa ‘desperado’ dan ‘capek deh…’ di balik pesan sederhana itu.
Namun, kemudian teman saya yang bekerja di kantor tersebut menceritakan betapa mereka kini mulai meng-enjoy suasana efisiensi waktu, saling hukum, saling monitor, saling memberi hadiah dan bahkan merayakan efisiensi dan efektivitas waktu. Satu hal yang tidak bisa kita lupakan, suka tidak suka, campaign efisiensi waktu yang paling ampuh dan sederhana adalah bila para manager, termasuk “top management”, mau berkorban pasang badan sebagai role model yang ‘walk the talk’. Bayangkan betapa “happy”-nya kita bila sikap efisien waktu ini kemudian tertular ke bawahan, pelanggan bahkan ke lingkungan yang lebih luas lagi. Reputasi perusahaan bisa menjadi “daya jual” tersendiri.