Percayakah Anda saat membaca label: ‘KUALITAS No. 1’, ditempelkan pada suatu produk yang dijual di supermarket? Seratus persen-kah Anda percaya bahwa produk itu betul-betul berkualitas top? Atau, kita begitu terbiasa dengan istilah ‘kecap nomor satu’, sehingga yang terpikirkan adalah si produsen pasti hanya sekedar ‘mengecap’ saja.
Sikap tidak percaya pada kualitas sangatlah kuno. Simak apa yang dilakukan oleh para ahli seperti Edwards Deming dan Joseph M. Juran yang tidak ada habis-habisnya mengulik kualitas. Mereka sampai bolak-balik berpindah-pindah tempat tinggal dari Eropa, Amerika, Jepang dan kembali lagi ke negaranya sendiri sekedar untuk meningkatkan keahlian untuk menghasilkan produk berkualitas.
Saat sekarang kualitas sudah menjadi ilmu. Ilmu tersebut sudah berkembang menjadi sistem yang di perusahaan yang dengan efisiensi tinggi, seperti Toyota, sudah menjadi budaya yang dikenal sebagai Toyota Production System, Total Quality Management, dan lain-lain. Bahkan ‘kontrol kualitas’ saja sudah bisa menjadi nilai tambah untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan yang akan langsung berdampak melipatgandakan penjualan.
Sendirian maupun dalam tim, atau terutama sebagai pimpinan perusahaan, kita tidak boleh sedikit pun anti-kualitas. Tidak boleh kita terpikir atau berniat sedikit pun untuk menghasilkan barang berkualitas rendah. Permasalahannya sering pada kesulitan mempertahankan kualitas karena kendala waktu, biaya, tuntutan kuantitas, dan ketidaksabaran kita atau anggota tim kerja lainnya. Tengoklah betapa pesawat terbang yang tidak dalam kualitas prima toh diterbangkan. Simak berapa banyak jumlah penumpang di daftar nama penumpang kapal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kesemua praktik ini tidak akan terjadi bila ‘keyakinan’ para profesional yang menggarap tugas di seputar lingkaran kerja ini berorientasi kualitas.
Kualitas No. 1 = ‘Error Free’
Tidak percayanya masyarakat pada kualitas memang bisa dimengerti, terutama bila tidak tersedia pilihan produk atau servis lain yang bisa dipilih. Untuk ‘menjual’ bahwa kita sungguh-sungguh memperhatikan kualitas, kita bisa coba untuk ‘membalik’ istilah kualitas menjadi ‘tanpa salah’.
Dalam sistem apapun, pengembangan kualitas akan kembali pada penggarapan kesalahan. Kalau saja kita jago medeteksi kesalahan, berupaya tidak mengulangi kesalahan, dan kemudian merancang suatu program yang ‘error free’, maka kita bisa benar-benar berharap untuk mengatakan bahwa kualitas kita nomor satu.
‘MEMILIKI’ Kualitas
Teman saya, seorang desainer grafis, merasa putus asa dengan kerja para asistennya. “Setiap saya menemui klien tanpa memeriksa hasil pekerjaan anak buah saya, saya jadi malu sendiri, karena pekerjaan tersebut tidak pernah perfek. Kepandaian mereka lebih daripada saya. Saya tidak habis pikir, apa sih susahnya untuk mengecek ulang pekerjaan mereka sebelum diserahkan?”
Kelihatannya, masalah kualitas masih sering ’diposisikan’ ada di pihak lain, bisa di pihak atasan atau hanya di bagian ’kontrol kualitas’ saja. Bawahan, seperti yang dialami teman saya ini, tidak menunjukkan rasa kebanggaan ataupun rasa memiliki terhadap ’kualitas’ dari pekerjaan yang mereka garap. Sampai kapan pun, kualitas nomor satu tidak bisa terjual di perusahaan seperti ini. Untuk menghasilkan kualitas nomor satu, setiap orang, pada setiap langkah proses, harus meneliti kesalahan bagaikan ’mencari kutu’.
‘MERAWAT’ Kualitas
Pernahkah Anda mendengar, “Tidak ada waktu untuk perencanaan, kita dikejar deadline, just do it sajalah…”, atau “Kita sudah pernah ‘
Kekerasan hati dan sense of urgency untuk menemukan kesalahan, memperbaiki dan menggarap produk atau servis yang error free adalah hal yang sulit , tetapi harus menjadi keyakinan setiap orang dalam rantai produksi. Sadarkah kita mengapa produk furnitur kayu di Itali tidak pernah pecah termakan cuaca? Dalam proses pembuatannya, kayu bahan
Kualitas nomor satu adalah TANTANGAN
Bayangkan reaksi kita bila mendengar, ”Proyek selesai, tetapi ‘overbudget’, lewat deadline, dan penuh kekurangan di sana-sini”. Apakah kita akan sekedar menghela nafas dan dan mengatakan: ”Capeee’ de...”?
Kalau kita menanamkan dalam diri bahwa KITA-lah penentu kualitas, maka kita bisa bersikap lain. Kita perlu mengejar suksesnya kualitas, perlu merayakan kemenangan bila kualitas memang nomor satu. Kita juga perlu mengembangkan sikap mental karyawan dari projek-projek kecil yang mudah dikontrol, sehingga ’sense of success’-nya juga lebih mudah dicapai. Dengan demikian ’error’ tidak lagi menjadi ’benda’ yang menakutkan, tetapi justru jadi tantangan.
Ditanyangkan di KOMPAS, 24 Maret 2007