was successfully added to your cart.

BICARA: Resep Termanjur Kerja Bahagia

Dalam sebuah rapat lintas departemen, terjadi perdebatan antara bagian marketing dan IT, mengenai database pelanggan. Dari nada sengit dan ungkapan saling menyindir, langsung terlihat bahwa banyak sekali fakta, permintaan maupun tawaran bantuan yang belum pernah dikomunikasikan. Pada akhirnya muncul pertanyaan: “Kenapa Anda berdua tidak bicara?”


 


Banyak sekali contoh masalah yang timbul akibat tidak bicara. Ketidakpuasan bawahan pada atasan, kesalahan penyusunan jadual, keterlambatan merespons isu, yang terjadi karena informasi terbaru tidak segera di-sharing atau karena masing masing pihak mengabaikan satu-dua kalimat dalam pembicaraan.


 


Saat orang memasuki hubungan yang lebih dalam, yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam pembentukan tim kerja maupun hubungan pribadi, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka perlu sengaja ‘menggunakan waktu’ untuk menyamakan persepsi dan menemukan ‘common ground’, sebelum menghadapi dan memecahkan masalah yang lebih pelik. Kesadaran akan kurangnya komunikasi seringkali baru terasa setelah masing-masing pihak saling menyalahkan, menjadi pasif atau kehilangan nafsu untuk berbicara.


 


Apa yang dibicarakan?


Saya tidak tahu apa yang akan saya bicarakan”, tutur seorang profesional yang diminta meng-coach anak buahnya. Banyak individu enggan berdialog ‘satu lawan satu’ karena khawatir tidak menemukan topik pembicaraan yang ‘asyik’. Yang terjadi akhirnya adalah pembicaraan ‘basa-basi’, tentang cuaca, gosip, maupun sikon di luar diri mereka. Alhasil, masing-masing pihak tidak mendapat manfaat dari dialog yang dilaksanakan.


 


Bila kita ingin memperdalam komunikasi, maka ‘basa-basi’ perlu cepat dilanjutkan dengan fakta yang ingin di-share. Topik apapun sebetulnya bisa jadi ‘asyik-asyik saja’ dan berkembang ‘in-depth’, selama disampaikan dengan jujur, tulus, penuh respek , sehingga membuat yang berdialog “happy”. Selain itu uangkapan ‘I message’ juga penting, yaitu mengungkapkan apa yang saya inginkan, perasaan saya dan bahkan juga prinsip dibalik opini dan perasaaan saya secara gamblang, sambil mendengarkan ‘I message’ pihak lawan dengan tekun.


 


Nikmati Dialog


Banyak orang mengira bahwa dialog itu nikmat, bila kita membiarkannya ‘ngalor-ngidul’, tanpa arah dan aturan. Nyatanya, banyak dialog seperti itu berakhir pada ketidakpuasan dan salah paham. Sebenarnya, hasil akhir dari dialog-lah yang menimbulkan kenikmatan dan keinginan untuk mengulanginya kembali. Proses dialog juga nikmat, bila kita menikmati uniknya pribadi yang kita temui, atau bahkan menjadi tambah kaya akan wawasan dan pengetahuan.


Beberapa prinsip untuk membantu dialog agar lebih berhasil adalah:



  1. Dua Muka, Satu Hubungan

Menyadari bahwa ada dua individu yang berbeda dan berminat untuk melihat dan merespek perbedaan adalah cikal bakal dialog yang asyik. Perbedaan yang ada perlu dikaitkan menjadi satu hubungan yang bermakna dan mempunyai nilai tambah. Contoh: bawahan yang keras-kepala dan atasan yang kepribadiannya lemah, adalah dua hal yang perlu digarap dalam satu hubungan yang produktif. Bukan untuk saling menjatuhkan.


 



  1. Kita Bisa Memperbaiki Diri, tapi Tidak Bisa Memperbaiki Orang Lain

Untuk memperbaiki diri, kita butuh masukan yang hanya bisa didapat dari orang lain. Keyakinan inilah yang bisa mendorong kita untuk berdialog dan berusaha mendengar lebih baik dalam proses dialog.


 



  1. Saya Bertanggungjawab atas Perasaan Saya

Gembira, sedih, tersinggung atau kecewa, adalah perasaan yang mungkin muncul saat berdialog. Kita perlu sadar bahwa timbulnya perasaan tersebut dikendalikan oleh diri kita, bukan karena rangsang dari luar. Jadikan kesadaran bahwa emosi ada di bawah kendali kita untuk dapat menggambarkannya dan mengungkapkan apa yang kita rasakan secara simpel dan gamblang kepada orang lain.


 


Tidak Bisa Sekali Jadi


Penelitian menunjukkan bahwa penderita psikosomatis mengalami penurunan tekanan darah sehabis melakukan dialog. Saya harap dengan bukti ini Anda makin meyakini bahwa ‘bicara’ adalah kunci satu-satunya untuk memperdalam hubungan dan menemukan jalan keluar dari segudang masalah.


 


Kenikmatan berdialog tidak datang sekali jadi. Dialog akan menjadi optimal secara alamiah bila kita mencobanya berulang kali. Jadualkanlah waktu untuk bicara dan optimalkan dialog dengan:


þ     Menaati aturan main. Anda sebagai pihak yang ‘waras’ dan menyadari kebutuhan berdialog, perlu menjaga dialog dengan menaati alur dan keseimbangan bicara vs mendengar. Ingat saja sistem lampu pengatur lalu lintas, bila lampu merah di pihak anda berhentilah bicara, tunggu sampai warna lampu menjadi hijau.


þ     Menyepakati topik dialog. Walaupun hanya berdua, kita perlu bisa mengatur bahwa topik tertentu perlu diperdalam dan dicarikan jalan keluarnya.


þ     Menutup dengan ‘nyaman’. Sesingkat apapun,  kita perlu punya sasaran untuk memperoleh nilai tambah dari sebuah dialog. Tutup dialog dengan cara mengucapkan terima kasih atas masukan lawan bicara dan rencanakan tindak lanjut atau acara diskusi lanjutan.


 


Bayangkan, bila BICARA, di dalam organisasi anda, menjadi budaya dan kompentensi yang merata. Betapa banyak inefisiensi bisa dihindari dan betapa gembiranya setiap orang karena menemukan ‘belahan jiwa’-nya di sana-sini di tempat kerja.


 


(Ditayangkan di KOMPAS, 11 November 2006)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com