
Di tengah korupsi yang merajalela, seorang eksekutif di sebuah Lembaga pemerintah memilih langkah berbeda, yaitu memasukkan spiritualitas dalam pengembangan kepemimpinan. Saat dunia bisnis sibuk mengejar inovasi dan transformasi digital demi memenangkan kompetisi, tak jarang etika menjadi korban. Dalam gempuran ini, kepemimpinan spiritual hadir seperti siraman air es yang memberikan kesejukan di bawah Terik menyengat. Kepemimpinan yang lebih manusiawi, beretika, dan bermakna bukan lagi sekadar idealisme, tetapi menjadi kebutuhan yang tak dapat diabaikan.
Kepemimpinan spiritual kian dibutuhkan
Banyak orang mengira kepemimpinan spiritual selalu berkaitan dengan keagamaan. Padahal jika ditelaah lebih dalam, inti dari kepemimpinan ini adalah membangun lingkungan yang berlandaskan nilai moral, kejujuran, integritas, dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
Seorang pemimpin spiritual menginspirasi dengan visi yang lebih besar, tidak sekadar mengejar keuntungan material. Kepemimpinan ini mengarahkan bisnis dengan hati, mengutamakan kesejahteraan tim, serta membangun hubungan yang penuh makna dan empati dengan orang-orang di sekitarnya.
Di tengah tekanan ekonomi, perubahan kebijakan, dan disrupsi teknologi, penerapan kepemimpinan spiritual menghadapi tantangan besar karena banyak pemimpin lebih fokus pada kelangsungan bisnis. Meski jalan pintas kerap diambil, keputusan tetap harus berlandaskan etika dan moral agar tidak mengorbankan integritas. Spiritualitas membantu pemimpin berpikir jauh ke depan, merenung, dan melihat gambaran besar, bukan hanya menyelesaikan masalah sesaat. Dalam lingkungan kerja yang semakin hybrid, fondasi spiritualitas juga penting untuk membangun kepercayaan dalam tim dan organisasi.
Kepercayaan ini berakar dari nilai-nilai spiritual dan moral yang selama ini kita pupuk, yang mengajarkan bahwa ada prinsip lebih besar yang menuntun langkah kita. Dalam kepemimpinan, saling percaya dan bekerja sama menjadi fondasi utama untuk mencapai sesuatu yang lebih besar.
Kepemimpinan spiritual dalam tindakan
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menunjukkan bahwa kepemimpinan spiritual dapat menjadi landasan kuat dalam membangun masyarakat yang adil, toleran, dan inklusif. Pemikirannya sejalan dengan teori Louis W Fry tentang kepemimpinan spiritual, khususnya nilai cinta tanpa pamrih, yang ia wujudkan dalam kepedulian terhadap sesama.
Sebagai Presiden ke-4 RI, Gus Dur dikenal menerapkan kebijakan inklusif seperti mencabut larangan perayaan Imlek dan berdialog dengan kelompok radikal untuk meredam konflik. Dalam kehidupan pribadinya, ia menjunjung nilai-nilai tasawuf dengan menolak hidup mewah dan memilih kesederhanaan, terlihat dari kebiasaannya mengenakan sarung dan sandal serta mengajak keluarga hidup sederhana. Prinsip hidupnya mencerminkan bahwa kepemimpinan adalah bentuk pengabdian, bukan sekadar kekuasaan.
Contoh lain kepemimpinan spiritual adalah Nurhayati Subakat, pendiri dan Komisaris Utama Paragon Technology and Innovation. Ia tidak melepaskan nilai-nilai spiritual sebagai prinsip utama dalam budaya bisnis perusahaannya. Dalam perjalanan bisnisnya, ia menghadapi berbagai tantangan besar, termasuk kebakaran yang menghanguskan seluruh aset pabrik. Namun, Perusahaan berhasil bangkit kembali dengan cepat.
“Kalau tidak berlandaskan keimanan yang kuat, kami tidak mungkin bisa bangkit kembali,” kata Nurhayati. Saat ini, Paragon berkembang makin pesat dengan tetap focus pada pembentukan karakter dan kepedulian terhadap sesama. Selain itu, perusahaan juga memberikan hadiah berupa perjalanan spiritual untuk menghargai kesetiaan dan dedikasi para karyawan.
Para pemimpin hebat ini membuktikan bahwa kepemimpinan spiritual dapat memastikan efektivitas kerja dan menjawab banyak masalah. Mereka tidak hanya berfokus pada kinerja dan pencapaian organisasi, tetapi juga pada pertumbuhan spiritual dan kesejahteraan anggota timnya. Hasilnya, tingkat kepercayaan dan moral tim terjaga yang berujung kepada kemauan anggota tim untuk terus menghasilkan kinerja optimal dan inovasi yang berkelanjutan.
Menjadikan spiritualitas landasan kepemimpinan
Tantangan utama membangun kepemimpinan spiritual di organisasi adalah memastikan bahwa spiritualitas tidak menjadi konsep yang kabur atau membingungkan karyawan, mengingat sifatnya yang sangat personal.
Dalam konteks bisnis, spiritualitas bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi lebih pada penerapan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti integritas, kejujuran, kepedulian, makna kerja, dan koneksi antar-individu. Untuk itu, pemimpin perlu menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai ini dalam setiap keputusan dan interaksinya.
Proses ini dapat dimulai dengan membangun kemampuan untuk mengelola emosi secara konstruktif. Pemimpin yang mampu mengenali dan merespons emosi dengan bijak akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, harmonis, dan inspiratif. Pola pikir positif juga sangat penting agar setiap tantangan dipandang sebagai peluang untuk belajar dan berkembang, bukan sekadar hambatan.
Pemimpin perlu menghargai setiap individu, membangun relasi empatik dengan memahami suasana hati dan bahasa tubuh, serta menjaga komunikasi yang jujur, transparan, namun tetap santun. Keterbukaan harus digunakan untuk membangun kepercayaan, bukan melukai. Prinsip memberi dan berbagi juga penting diterapkan dalam budaya organisasi, mendorong pemimpin dan karyawan untuk saling mendukung. Dengan nilai-nilai ini, tercipta lingkungan kerja yang bermakna, di mana setiap individu merasa dihargai dan termotivasi untuk berkembang.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 5 April 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #kepemimpinan #spritual #era # disrupsi