Banyak pemimpin yang mendapatkan posisinya sebagai atasan berkat kemampuan teknis dan prestasinya dalam mencapai target. Namun, menjadi pemimpin tidak sekadar berhasil mencapai target individualnya, tetapi juga harus mampu menggerakkan orang lain agar dapat mencapai target kelompoknya.
Keterampilan untuk memengaruhi dan memotivasi bawahan ini belum tentu dimiliki oleh mereka semua yang berada di posisi sebagai pemimpin. Banyak yang masih memandang bawahan secara “taken for granted” bahwa mereka adalah manusia pekerja yang sudah seharusnya berproduksi. Ketika produksi tidak optimal, hal-hal mengenai mutu, motivasi, disiplin, komitmen, dan lainnya pada diri bawahan seolah-olah menjadi kambing hitamnya.
Pekerja adalah individu dengan segala kebutuhan manusiawinya. Otak individu yang bahagia akan mengeluarkan hormon dopamin yang dapat membuat mereka menjadi lebih bahagia dan bersemangat. Mereka senang ketika dikenal secara personal, apalagi oleh atasan yang merupakan significant others baginya.
Mereka ingin dikenal sebagai individu yang memiliki hati dan passion terhadap pekerjaannya, bukan sebagai orang upahan semata. Jadi, memperhatikan karyawan beserta kehidupan pribadinya merupakan kekuatan yang sangat besar untuk memotivasi mereka memberikan hatinya dalam bekerja.
CEO Best Buy Hubert Joly meminta kepada para kepala toko untuk lebih banyak mendengarkan karyawannya dan mencari tahu apakah purpose mereka dalam hidupnya untuk kemudian menghubungkan purpose individual ini dengan sasaran perusahaan. Dengan cara seperti ini, karyawan menjadi semakin bersemangat karena sadar bahwa sukses perusahaan berarti juga kesuksesan mereka dalam mencapai tujuan pribadi mereka itu.
Individu adalah makhluk sosial yang senang berkolaborasi dengan orang lain. Untuk itu, pemimpin perlu membangun kultur yang memang bisa menaungi nilai-nilai hidup yang dimiliki para bawahannya. Tanpa mendalami apa yang dianggap penting oleh para bawahan, sulit untuk membangun kultur yang tepat.
Aktifkan pendekatan reflektif
Meskipun para pemimpin sudah menyadari bahwa bawahan akan lebih engage bila dikenali dan diakui, banyak sekali tantangan untuk melakukannya. Terutama pada zaman hibida ketika tatap muka semakin jarang.
Pendekatan reflektif adalah teknik mengajukan pertanyaan kepada rekan-rekan kerja kita dan mendorong mereka untuk mendeskripsikan apa yang membuat mereka bangga dan mengapa itu penting bagi mereka.
Sebagai pemimpin, kita sering memuji dan menyatakan apresiasi ke seseorang. Namun, belum tentu hal ini menjadi sesuatu yang dianggap penting dan membanggakan. Seorang atasan memuji anak buahnya karena merasa kemampuannya dalam berkomunikasi dan melakukan presentasi sangat mumpuni. Sementara itu, si bawahan ingin dikenali atas kreativitas dan kepemimpinannya dalam membawa tim untuk berubah.
Dengan memahami keinginan bawahan, kita dapat memfokuskan perhatian kita pada apa yang mereka anggap penting dan semakin mendorong mereka untuk mencapai tujuannya dengan apresiasi atas prestasi-prestasi sekecil apa pun itu.
Membiasakan pendekatan reflektif
Pendekatan reflektif menyediakan pemimpin sebuah jendela untuk melihat apa yang penting bagi seorang bawahan. Karyawan mendapat kesempatan untuk menggambarkan dirinya secara lebih terbuka. Pemimpin juga bisa segera meluruskan persepsi bawahan bila ada kesalahpahaman. Bila ini sudah menjadi kebiasaan, refleksi mengenai small wins dengan semangat perbaikan akan lebih mudah untuk didiskusikan.
Ada beberapa kebiasaan untuk memperkuat dialog-dialog menjadi lebih bermakna. Pertama, undang bawahan untuk sharing. Tunjukkan bahwa Anda ingin mengetahui tentang apa yang ia nikmati dalam tugasnya, apa yang ia banggakan, serta kesulitan-kesulitannya.
Cara itu tidak perlu berupa rapat formal, melainkan lakukan secara santai saat makan siang bersama, minum kopi, atau dalam perjalanan bersama. Tentu bawahan tidak langsung dapat bercerita dengan lancar dan detail. Tugas pimpinanlah untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan elaboratif yang mendorong bawahan untuk semakin baik memahami apa yang benar-benar penting bagi mereka.
Kedua, lakukan “penyelidikan” secara positif. Petra Kolber dalam buku The Perfectionism Detox menyatakan bahwa manusia sering mengurangi keberhasilannya dan melebihkan kekurangannya. Sebagai pemimpin, kita perlu menggali rasa berhasil bawahan dengan mendiskusikan prestasi-prestasi kecilnya dengan menanyakan perjalanan prosesnya sampai berhasil dan bagaimana proses belajar yang ia alami.
Dalam proses bercerita ini, tanpa disadari, mereka juga merefleksikan upaya dan jerih payah yang dilakukan hingga mencapai keberhasilan. Rasa bangga akan timbul dengan sendirinya ketika mereka menyadari jalan panjang yang telah mereka lalui.
Ketiga, refleksikan ulang. Dialog yang menyenangkan perlu ditutup dengan sedikit refleksi dengan berterima kasih atas hal-hal baru yang dipelajari bersama dan apresiasi terhadap kelebihan serta keberhasilan yang telah diraihnya. Hasil pembicaraan dari hati ke hati ini akan menjadi semakin kuat bila kita terus membawanya dalam pembicaraan pada kemudian hari. Anak buah akan merasa pemimpin memiliki kepedulian terhadap perkembangan dirinya dan ia semakin termotivasi.
Individu tidak otomatis percaya kepada mereka yang menjadi pemimpinnya. Rasa percaya ini perlu dipupuk sedikit demi sedikit melalui bukti nyata yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam kesehariannya. Sekali komitmen seorang pemimpin terbukti, bawahan akan semakin percaya dan ikatan atasan-bawahan akan semakin kuat.
Meyakini bahwa yang kita pimpin adalah manusia dengan segala kebutuhan manusiawinya, kita pun akan menjadi pemimpin yang lebih manusiawi dan dapat membangun hubungan satu sama lain yang lebih mendalam.
“Saya telah belajar bahwa orang akan melupakan apa yang Anda katakan, orang akan melupakan apa yang Anda lakukan. Namun, orang tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka merasa dimanusiakan.” – Maya Angelou
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 12 November 2022
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #pahami #karyawan #anda