Bisnis mulai berkembang dan saatnya bagi perusahaan untuk mempersiapkan kekuatan sumber daya manusianya agar dapat mengimbangi geliat baru yang terasa semakin ini.
Banyak organisasi mulai mencari tambahan anggota untuk timnya agar dapat meningkatkan kapasitas produksi. Semua berharap agar orang baru ini dapat cepat beradaptasi dengan tim sambil berbagi pengalaman untuk memperkaya pekerjaan tim. Organisasi sibuk menghubungi headhunter sambil juga mempersiapkan talent pool. Namun, ternyata, calon yang diidam-idamkan sepertinya begitu sulit untuk didapat.
Dalam perkembangan teknologi yang demikian pesat dan terjadinya disrupsi di sana sini, penilaian tingkat keahlian pasti berbanding lurus dengan lamanya pengalaman menjadi sesuatu yang terasa kuno. Memang, keterampilan seorang operator pabrik yang baru bekerja 1 tahun akan berbeda dengan yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun. Namun, tingkat keahlian tidak hanya dapat dinilai secara kuantitatif. Seseorang yang belum lama berpraktik sekalipun, bisa saja ahli dalam hal tertentu, karena mendapatkan latihan yang sulit ditambah dengan semangatnya dalam melakukan penggalian data sambil mengembangkan imajinasi dan mempraktikkannya dalam pengalamannya tersebut.
Berpaling dan lebih berfokus pada keahlian akan membuka kesempatan kita untuk merekrut tenaga-tenaga yang lebih muda, kreatif, dan berpikir lebih out of the box.
Melihat pasar kita saat ini berisi teman-teman milenial, bahkan Gen Z yang lebih muda lagi, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk memerhatikan beberapa ciri kepribadian baru yang sebelumnya tidak menjadi fokus.
Unconventional #1: Para Solopreneur
Pada kalangan generasi milenial, bekerja di kantor merupakan pilihan yang tidak terlalu populer lagi. Mereka lebih senang menjadi freelancers, consultants, atau small-business owners. Padahal, kita juga melihat bahwa tidak banyak solopreuner yang berhasil.
Meskipun jalur ini terlihat menggoda bagi para milenial, bisa jadi mereka sudah lelah dan mulai mencari kemapanan juga. Lelah berjuang sendirian mencari produk baru yang bisa mengalahkan kompetitornya, lelah mengurus tagihan dan hal-hal administratif lain yang penting bagi keberlangsungan usahanya. Di sinilah saatnya kita bisa mengajak mereka bergabung dengan organisasi kita.
Banyak asumsi yang mengatakan, mereka tidak tahan terhadap organisasi yang terlalu terstruktur. Namun, bukankah kita juga tidak tahan dengan organisasi yang mengambil sikap secara kaku? Para solopreuner ini bisa menjadi penguat dalam tim kita karena mereka biasanya lebih mandiri dan memang senang untuk self starting, tidak menunggu perintah. Karena mereka memiliki passion untuk berwirausaha, biasanya mereka lebih mampu melihat big picture dari bisnis perusahaan, di samping empati ke pelanggan dan kompetisi yang juga lebih tajam.
Unconventional #2: Industry Shifters
Dalam inovasi, kita mengenal konsep medici effect, yaitu inovasi terjadi dari perbenturan berbagai bidang ilmu yang berbeda, menggunakan prinsip-prinsip beragam bidang ilmu sehingga bisa menciptakan suatu ide yang berbeda dari yang biasanya. Hal serupa juga bisa terjadi pada mereka yang memiliki latar belakang ilmu berbeda dari bidang yang ditekuninya.
Seorang spesialis periklanan yang memiliki latar belakang ilmu komputer dengan minat di data analytics bisa menjadi aset yang sangat berharga karena sebenarnya dalam dunia periklanan kita memang membutuhkan seorang ahli data untuk memahami profil dari target market sebelum kita merancang iklan yang tepat untuk mereka. Ia tinggal sedikit belajar mengenai teknik-teknik periklanan untuk menyesuaikan diri.
Dengan demikian, kandidat unconventional yang memulai karirnya di bidang tertentu tetapi tiba-tiba berminat berganti haluan sebenarnya bisa menjadi kandidat yang potensial. Bahkan, bila mereka datang dari perusahaan yang memiliki tipologi pelanggan yang mirip, logikanya mengenai pelanggan dapat bermanfaat sebagai nilai tambah.
Kita sering berasumsi, kandidat seperti ini sudah terbentuk pola pikirnya. Ini memang bisa saja terjadi bila yang bersangkutan tidak memiliki sikap belajar. Jadi, yang perlu ditelaah dalam tahap wawancara adalah apakah ia memiliki sikap seorang pembelajar. Bila ya, dijamin ia akan menjadi anggota tim yang andal yang melengkapi keahlian tim.
Unconventional #3: Workforce Re-Entrants
Kita sering terlupa pada karyawan lama yang sempat memiliki kontribusi positif pada organisasi namun berhenti bekerja karena alasan tertentu, seperti melahirkan anak yang dilanjutkan dengan tuntutan mengelola rumah tangga, ataupun yang mengambil cuti terlalu panjang karena ingin melakukan suatu kegiatan berbeda sesuai minatnya.
Mereka dapat menjadi kandidat potensial yang dapat kita pertimbangkan untuk diminta bergabung kembali dengan organisasi. Melalui istirahat panjang yang diambil, individu-individu ini juga bisa membangun perspektif berbeda yang berguna bagi organisasi. Mereka bisa jadi juga lebih tahan banting dan lebih bermotivasi untuk bekerja, sehingga dapat menjadi contoh bagi anggota tim lainnya.
Unconventional #4: Overqualified Candidates
Manusia bisa berubah. Seorang eksekutif yang pernah bekerja di perusahaan multinasional terbaik di negeri ini sering kita golongkan sebagai orang yang overqualified dengan paket remunerasi yang tidak terjangkau oleh perusahaan Anda. Namun, demikian tidak tertutup kemungkinan, ia juga berganti value dan sekarang ini ingin mendedikasikan waktu dan tenaganya ke perusahaan yang memiliki visi yang sama dengan visi hidupnya meskipun skala perusahaan itu lebih kecil dari tempatnya berada sekarang ini. Bisa saja itu adalah perusahaan Anda.
Jadi, kita perlu berhati-hati dalam menelaah pengalaman. “Not all experience is created equal” dan sudah waktunya kita menelaah suatu keahlian secara lebih mendalam, ketimbang sekedar sebuah pengalaman.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 12 Juni 2021
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #unconventional