Apa yang kita lakukan bila di halaman media sosial, ada banyak komentar yang bertentangan dengan pandangan kita? Kita hapus, blok, atau unfriend? Namun, bila sekedar menghapus, tidak mau membaca berita-berita tersebut, bukankah artinya kita menutup mata dan tidak tahu apa pendapat orang lain tentang situasi yang kita hadapi?
APAKAH kita sadar bahwa setiap situasi bisa dipandang oleh orang lain secara berbeda. There’s always two sides of a coin. Dan, bila tidak pernah membandingkan pendapat dengan orang lain, itu berarti kita hanya melakukan sebagian saja dari proses berpikir yang lengkap.
Gejala minimnya berpikir kritis juga dirasakan oleh 95 persen orang di Amerika. Survei yang dilakukan oleh Reboot Foundation mengatakan bahwa kurang dari 25 persen populasi bersedia mencari opini yang berbeda dengan opininya. Dan, hasil penelitian mengatakan bahwa di antara 25 persen orang yang bersedia mencari opini lain itu, ternyata hanya 1 persen yang benar-benar melakukannya. Padahal, mereka sendiri mengaku, hanya 30 persen dari berita di media sosial yang akurat. Dengan hasil riset seperti ini, tidak heran bila dalam situasi politik seperti sekarang ini, kebenaran semakin sulit sekali terkuak, apalagi dibahas dan dianalisa dengan akal sehat.
Di sekolah pun, masih banyak guru yang tidak siap untuk didebat oleh para muridnya sehingga lebih banyak menerapkan metode pengajaran satu arah. Alhasil, masyarakat terbiasa untuk mengambil kesimpulan dari satu gejala dan menggeneralisasi tanpa memikirkan faktor lainnya. Oleh karena itu, terjadilah “oversimplification” secara merata. Belum lagi argumentasi yang tak berkesudahan, padahal bukti dan fakta sudah terpapar dengan jelas. Situasi ini membawa kita pada circular reasoning. Tampaknya kita sebagai orang tua, pendidik, ataupun pembuat kebijakan perlu membahas dengan serius dan bekerja keras untuk menghindari pemiskinan cara pikir dan membahas suatu permasalahan dengan berbagai sudut pandang.
Gejala kurangnya berpikir kritis ini bisa membuat mereka yang mempunyai argumentasi bengkok dan tidak beralasan, tetapi disampaikan dengan nada meyakinkan justru bisa diterima mentah-mentah, dikembangkan, dan disebarluaskan sehingga menjadi konspirasi yang bisa berbahaya.
Apa dan mengapa
Sebenarnya di sekolah menengah dahulu, kita selalu dilatih untuk menyelesaikan persoalan dengan formula: “diketahui, ditanya, dan dijawab”. Ini sudah merupakan cara pikir yang lengkap. Kita tidak mungkin mendapatkan solusi bila tidak berbekal fakta yang cukup. Inilah syarat pertama critical thinking. Kita perlu menginvestigasi semua pendapat dan argumentasi seputar gejala yang sedang diteliti. Adanya perbedaan pendapat adalah kesempatan bagi kita untuk mempelajari setiap gejala dan fakta. Jangan lupa bahwa setiap manusia dipenuhi dengan bias-bias yang mempengaruhi kejernihan berpikirnya.
Kita juga bertanggung jawab untuk membobot kebenaran sumber berita. Satu hal yang perlu kita lakukan juga adalah memilih fakta yang relevan dengan masalah yang kita cari. Ada fakta yang justru tidak relevan dan mengacaukan proses berpikir kita. Pemikir kritis juga perlu kuat menyeimbangkan diri dan emosinya sehingga mampu bersikap fleksibel menghadapi fakta dan kenyataan yang mengejutkan. Hanya orang fleksibel juga yang bisa sabar dalam berpikir strategik.
Untuk itu, kita perlu tetap berpikiran terbuka dan obyektif sambil terus mempertajam pertanyaan untuk penyelesaian masalah. Pertanyaan yang tepat bisa menguakkan informasi yang masih terselubung dan mengecoh. Bila pertanyaan sudah menjurus kepada solusi yang kita butuhkan, maka biasanya solusi dengan gamblang bisa kita dapatkan. Knowledge is having the right answer, intelligence is asking the right question. Kita boleh mengambil keputusan yang cepat, kreatif, dan inovatif asalkan sudah melalui proses mempertanyakan fakta yang ada dan menggunakan metode berpikir dan lengkap. Kita pun perlu merefleksikan sebentar jawaban dari masalah yang kita cari, segala dampak positif dan negatifnya, sebelum dikomunikasikan ke masyarakat.
Bila diperhatikan, mereka yang terampil dalam berpikir kritis, mampu menerangkan dengan gamblang mengenai apa dan mengapa suatu keputusan dibuat. Contohnya, kita bisa melihat bagaimana Bapak Basuki Tjahya Purnama mampu berargumen lengkap dengan data dan fakta ketika keputusan-keputusannya dipertanyakan oleh pihak lain.
Kritis dan asertif
Orang yang berpikir kritis juga perlu menangkap visi dari kelompok, perusahaan, atau negara ke depan. Karena bagaimanapun juga masalah ataupun gejala yang dihadapi perlu senantiasa dikaitkan dengan masa depan. Ia juga harus mengasah daya persepsinya dan meningkatkan daya observasi. Informasi tidak tersaji begitu saja. Listen, hear and read between the lines.
Seorang teman sangat dikenal dengan kekritisannya. Dalam menghadapi pelanggan dan menemukan apa yang benar-benar dibutuhkan pelanggan, kerap mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam sehingga bisa mendapatkan solusi yang jitu. Sayangnya, hal ini ternyata juga membuat orang lain kecut karena pertanyaannya yang terlalu agresif. Kita lihat, berpikir kritis juga harus diikuti dengan keterampilan komunikasi yang mumpuni sehingga membuat suasana tetap kondusif. Kita bisa belajar untuk lebih asertif dan bersikap lebih manis walaupun berbeda pendapat. Orang yang berpikir kritis juga perlu asertif sehingga informasi yang didapat akan lebih banyak dan bisa membantunya dalam pengambilan keputusan. "Your attitude, not your aptitude, will determine your altitude" (Zig Ziglar)
Diterbitkan di Harian Kompas Karier, 11 Mei 2019.