TIBA-tiba golongan milenial menjadi sorotan. Tiba-tiba semua orang menganggap mereka golongan yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Sampai-sampai dalam berbagai polling pemilu pun para milenial dianggap sebagai kelompok yang harus diperhitungkan. Mengapa? Karena milenial yang berada pada kisaran usia 18-38 tahun ini ternyata mengambil porsi 34,45% dari seluruh penduduk Indonesia, yang artinya lebih dari sepertiga penduduk Indonesia adalah kaum milenial. Bahkan di tahun 2020, populasi mereka akan mencapai 45% dan mengambil porsi 70% dari jumlah tenaga kerja yang ada. Alangkah signifikannya. Bila dulu kita menganggap bahwa mereka adalah generasi bermasalah yang tidak tahu sopan santun saja, namun dengan keberadaan mereka saat ini, tidakkah kita dengan serius perlu mempelajari siapakah milenial ini, apa yang mereka inginkan dan bagaimana menjangkau mereka? Dari cara Presiden kita memilih hobi, pakaian dan selera bermusik pun kita melihat bahwa adanya upaya beliau untuk mendekatkan diri dengan para milenial. Namun, apakah kedekatan ini berhasil? Kita belum dapat memastikan sampai sekarang.
Mengapa para milenial ini seolah untouchable?
Generasi kelahiran awal abad ke 21 ini memang lahir pada saat revolusi industri 4.0 dimulai. Tidak ada individu dari golongan ini yang gaptek (gagap teknologi). Andaikata fasilitas digital ini tidak mereka miliki sendiri, merekapun tetap pandai bahkan trampil menggunakan dan berkenalan dengan dunia ini. Bila gen X masih sulit berpisah dengan kertas dalam menjalankan pekerjaannya, para milenial tidak bermasalah dengan itu. Mereka merasa bahwa pengetahuan, bahan bacaaan dan hiburan bisa didapatkan semua melalui ponsel pintar mereka. Jadi tidak heran bila kaum milenial ini lebih mementingkan adanya Wi-Fi daripada hal lain, bahkan mungkin makanan sekalipun.
Para ahli yang melakukan penelitian terhadap kaum gen Y ini juga menemukan bahwa para milenial ini tidak merasa bahwa jiwa patriot itu keren. Mereka tidak berminat terlibat dengan kelompok-kelompok politik, seperti pelajar SMP angkatan 65 yang begitu ingin terlibat dalam organisasi KAPI, mengikuti kakak-kakak mahasiwanya yang berkelompok dalam KAMI. Para milenial ini juga tidak bangga dianggap sebagai ‘aktivis’. Minat untuk terlibat dalam organisasi politik juga sangat minim, terutama karena mereka tahu bahwa pendapat mereka sulit diterima oleh generasi-generasi pendahulunya. Jadi apa sebenarnya menjadi minat para milenial?
Hasil penelitian mengatakan bahwa mereka memiliki jiwa wirausaha yang sangat besar, sehingga keterikatan pada suatu organisasi dianggap menghambat perkembangan dirinya. Mereka lebih menghargai ekonomi kreatif dan juga merasa bahwa melalui bidang inilah negara bisa dimajukan. Cara belanjanyapun berbeda. Dengan mudah mereka menggunakan internet untuk melihat-lihat dan membandingkan barang yang disukainya. Bila remaja generasi lalu masih setia menunggu tayangan film seri di TV, milenial sekarang dengan akses Netflix dapat dengan mudah memilih tontonan sesuai dengan selera dan waktu senggang mereka.
Jadi, bagaimana menyentuh para milenial?
Apakah kita dengan mudah mengatakan bahwa kita bisa menggunakan media sosial untuk menjangkau mereka? Golongan ini memang bergantung pada web dan gadget. Mereka merupakan generasi yang sudah terlahir dengan kemampuan adaptasi terhadap teknologi baru. Tetapi, apakah mereka dengan mudah tertarik pada produk atau pengaruh anda? Sebuah survei mengatakan bahwa hal-hal yang dicari para milenial adalah 75 persen berita, 59 persen travel, dan 62persen makanan. Sebanyak 59 persen dari para milenial menggunakan internet untuk mencari informasi, tetapi mereka lebih tertarik bila informasi disajikan melalui foto yang menarik, kalimat-kalimat yang singkat padat, dan dari komunitas pergaulan yang relevan dengan usianya. Aspirasinya adalah bahwa mereka bisa menjadi everyday changemakers, yang dimulai dari cara berpakaian, tontonan film, dan makanan yang dikonsumsi. Mereka menghargai wirausaha-wirausaha muda yang sukses, walaupun terbukti banyak kegagalan yang dialami dalam melanggengkan usahanya.
Bagaimana kita bisa sukses memberdayakan mereka?
Dalam kehidupan yang dinamis dan digital ini, ternyata 6 dari 10 milenial masih ingin bergabung dalam organisasi. Kelanggengan mereka bekerja di perusahaan memang tidak seajeg generasi yang lampau, tetapi tentunya itu bukan tanggung jawab mereka saja. Para employer juga perlu berusaha membuat situasi yang kondusif bagi mereka untuk berkembang. Banyak yang sudah mengganti kebijakan dresscode dan ruangan kerja yang lebih terbuka. Tetapi apakah ini yang dikehendaki para milenial? Sebuah survei mengatakan bahwa hal utama yang dikehendaki mereka adalah kepemimpinan atasan yang lebih mau mendalami hubungan atasan dan bawahan. Dengan penampilan yang bebas begitu, bukan berarti para milenial ini kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai kehidupannya. Mereka akan bertahan di perusahaan bila menemukan special meaning di tempat kerja itu.
Apa pun latar belakangnya, para milenial mempunyai semangat wirausaha yang lebih besar daripada generasi sebelumnya. Hal ini tentunya perlu diperhatikan perusahaan dengan memberikan pemahaman business acumen secepat mungkin. Hilangkan kekhawatiran bahwa pendidikan ini akan mendorong mereka untuk keluar dari organisasi dan membangun bisnis mereka sendiri. Pengetahuan ini justru meningkatkan sense of belonging mereka karena membuat mereka menyadari dampak dari keterlibatan mereka terhadap profit dan pertumbuhan perusahaan. Mereka bisa mengambil peran sebagai change makers yang positif dalam perusahaan. Generasi yang mengagungkan fleksibilitas inipun perlu diakomodir dalam suasana bekerja. Jawabannya tidak selalu bekerja dari rumah, ataupun flexy time. Kita bisa membudayakan fleksibilitas berfikir, learning agility dan kesempatan berkarir yang lebih progresif. Sebagai generasi sebelumnya, kita perlu memperlakukan mereka sebagai orang dewasa yang matang berpendapat. Hal ini tentu berarti bahwa merekapun perlu cepat belajar bagaimana berkomunikasi dan kontributif secara positif. Pakem “Praise, Pride and Recognition” pun masih berlaku dalam hubungan kerja dengan para milenial.
Diterbitkan di harian Kompas tanggal 25 Agustus 2018