KITA lihat sekarang ini orientasi terhadap manusia ini semakin kuat. Meskipun Bapak Presiden kita dengan begitu intensif menggenjot pembangunan infrastruktur di mana-mana, pembangunan mental manusia tetap akan menjadi agenda utama. Kesadaran kita akan mentalitas dipicu kejadian, misalnya seperti perusakan kursi-kursi di stadion olahraga kita yang baru dibangun.
Kita lihat di banyak negara maju pendekatan yang human centric sudah dimulai semenjak perang dunia ke-2, sementara kita memang baru belakangan ini mengutamakan pendekatan tersebut, misalnya dengan menggunakan pengukuran psikologis bagi peserta ujian SIM maupun para calon legislatif. Kita memang merasa bahwa hal-hal yang murni psikologis dalam diri manusia adalah suatu kemewahan yang baru kita pikirkan ketika semua tujuan atau kebutuhan lain sudah terpenuhi. Ada organisasi yang sudah beranggapan bahwa SDM adalah aset utama, tetapi fokus lebih ditekankan kepada manusia sebagai intellectual capital dan social capital. Baru pada dekade terakhir para pakar positive psychology menggaungkan hal yang sangat manusiawi bagi para tenaga kerja dan pemimpin, yaitu: psychological capital (baca: psy cap).
Psy cap ini ternyata terbukti merupakan faktor penting yang berperan besar dalam banyak aspek di organisasi seperti engagement dan perilaku organisasi lainnya. Beberapa riset mengenai psy cap ini menunjukkan signifikansi dampak positif psy cap ini terhadap organizational citizenship behavior. Penelitian lain pun menemukan bahwa psy cap tumbuh subur pada organisasi yang dipimpin oleh pemimpin yang transformasional. Jadi, sebenarnya, apakah psychological capital itu?
“Psy-cap”: spiritualitas kerja
Dalam berorganisasi, baik bisnis maupun negara, kesejahteraan finansial selalu menjadi fokus utama. Di sinilah kita kemudian mulai lupa bahwa kesejahteraan psikologis pun super penting. Inilah sebabnya para pakar psikologi positif kemudian mengembangkan penelitian mengenai sekumpulan kapasitas positif yang bisa teramu dalam kepribadian, di mana kapasitas tersebut akhirnya bisa dipelajari dengan praktis dan juga berdampak secara signifikan terhadap suasana organisasi. Semakin tinggi kadar psy cap pada seseorang, semakin rendah kadar stresnya dan semakin baik kesehatan mentalnya.
4 kapasitas yang paling dominan adalah:
“Hope” – Harapan: keadaan motivasi positif yang didasarkan pada agenda kesuksesan dan keyakinan bahwa jalan yang ditempuh adalah pilihan yang tepat (Rick Snyder). Individu yang kapasitas harapannya tinggi, mempunyai kemauan untuk mencapai tujuan yang kuat dan yakin dengan cara mencapainya. Tentunya kita juga perlu berlatih untuk membuat sasaran yang inspiring dan realistis.
Optimisme: adalah reaksi dengan sense of confidence terhadap masalah-masalah yang dihadapi, sambil tetap memanfaatkan kemampuan diri secara optimal (Martin Seligman, 1991). Orang dengan optimisme tinggi menginterpretasikan semua pengalaman positif sebagai bagian dirinya secara permanen dan pengalaman negatif sebagai hal yang sementara. Singkat kata, orang yang optimis selalu mempunyai keyakinan diri untuk memperbaiki situasi.
“Self-efficacy” atau kepiawaian yang pada awalnya dikaji oleh Albert Bandura, mengarah kepada task specific di mana seseorang meyakini bahwa ia bisa menuntaskan suatu pekerjaan dengan sempurna dan profesional. Orang-orang dengan self efficacy yang tinggi biasanya bisa berpikir proaktif dan lebih antisipatif terhadap segala kemungkinan.
“Resilience” adalah kemampuan untuk melenting kembali dari kejatuhan atau keterpurukan. Artinya kemampuan untuk dengan cepat bisa kembali ke keadaan normal ketika hal yang buruk terjadi.
Menginvestasikan “psychological capital” sejak dini
Newman, Ucbasaran, Zhu, dan Hirst mempelajari dampak ketika perusahaan berkonsentrasi pada pengembangan psy cap individu, tim dan lembaganya. Karyawan atau anggota tim akan menunjukkan sikap yang lebih positif, lebih puas dan lebih intensif dalam bekerja. Kita akan sukses kalau kita happy. Bibit happiness, seperti hopeful, efficacious, resilient dan optimistic itu kita bawa ke mana-mana dan dengannya kita pun siap melawan kesulitan di situasi apa saja.
Seorang pimpinan perusahaan yang merasa bahwa karyawan sering tidak memiliki sense of crisis di pasaran, mengeluhkan bahwa karyawan sudah terlalu nyaman dengan gaji bulanan dan tidak melihat kondisi ekonomi yang sedang ketat-ketatnya. Oleh karena itu, ia mulai menyebarkan kemungkinan kesuraman ekonomi di masa mendatang, apalagi menjelang pemilu tahun depan. Ungkapan-ungkapan si pimpinan ini memang cukup memberikan shock therapy ke karyawannya. Sayangnya, suasana menjadi tegang, tidak kondusif, sehingga dalam situasi ketakutan begini, alih-alih kreatif dan menunjukkan extra mile behaviour, karyawan malah menjadi tidak bisa berpikir jernih. Suasana seperti ini bertentangan dengan paham positive psychology yang percaya bahwa suasana positif akan menumbuhkan psy cap individu di dalam organisasi. Bagaimana caranya?
Jadi, kita baiknya berusaha agar para pemimpin mengasah pemahaman dirinya dan kepekaan terhadap kapasitas psikologis anggota timnya. Dari sini akan tumbuh transparansi hubungan yang otentik dan hangat. Pada saat inilah kita bisa mengajak para anggota tim, atau rakyat menyambut tantangan eksternal dan tetap bisa bertahan pada perimbangan moral dan etis. Kita bisa melakukan goal setting yang inspiratif dan selalu menjaga motivasi karyawan. Kita bisa bersama-sama melakukan corrective action dan melakukan modifikasi terhadap proses dan produk yang sudah ada. Tim yang sehat mental bisa menyambut tantangan dan perubahan apa saja dalam situasi ekonomi yang menurun sekalipun, sustainability dan perkembangan perusahaan tetap terjaga.
Dimuat dalam harian Kompas, 28 Juli 2018