KITA mengerti bahwa transformasi digital sudah menjadi suatu keharusan. Ini bukan saja terjadi dalam bisnis untuk mendatangkan profit, tetapi juga pada gaya interaksi antar individu di dalam suatu organisasi. Bagaimana kita memastikan bahwa setiap individu dalam sebuah lembaga bisa mengakses dan mengirim informasi.
Evolusi informasi juga terjadi dalam lembaga atau perusahaan. Hal yang tadinya sangat sulit dikomunikasikan, sekarang bisa disebar dalam hitungan detik melalui intranet maupun internet. Semua karyawan bisa mengakses informasi mengenai target, pekerjaannya, bahkan pekerjaan orang lain secara online melalui sistem knowledge management yang mumpuni. Informasi sebagai salah satu faktor kunci dalam engagement sudah bukan barang mahal lagi.
“The new rules of engagement”
Namun, di lain pihak, seorang ahli manajemen mengatakan, “A lot of engagement now happens outside of the traditional office.” Kantor bisa tersebar di mana-mana, karyawan tidak selalu berada secara fisik di kantor, tetapi tetap produktif. Bahkan, ada organisasi yang hanya memiliki virtual office ataupun co working space. Posisi para talenta kita sekarang sudah bergeser. Karyawan sudah menjadi digital natives. Engagement bisa terbentuk melalui diskusi-diskusi interaktif di Whatsapp group maupun social media lainnya.
Tengok betapa dunia retail perbankan terancam oleh transaksi online yang demikian canggih dan dinamis. Ekosistem transaksi keuangan yang berubah ini, perlu juga diimbangi oleh perubahan ekosistem karyawan. Karyawan perlu berpartisipasi menanggapi gejala-gejala disruptif yang terjadi. Hal ini hanya dimungkinkan bila karyawan merasa engaged dengan masalah-masalah perusahaan.
Data menunjukkan bahwa untuk menjaga engagement, ada tuntutan bagi pemimpin untuk mempertimbangkan tren digital ini. Pemimpin perlu peka terhadap pergeseran paradigma operasi organisasi dan bagaimana budaya organisasi baru ini terbentuk. Para milenial sangat kritis terhadap kolaborasi yang mereka harapkan terjadi secara instan dan suportif.
Cara belajarpun sudah beda, yaitu kita sekarang perlu memperhitungkan ragam pembelajaran baru yang dimudahkan oleh kemajuan teknologi. Terasa sekali bahwa kita membutuhkan agility ekstra untuk membuat keputusan-keputusan lebih cepat dan praktis dan tetap menjaga nilai dan spirit perusahaan di antara karyawan-karyawan penghuni cloud ini.
Bagaimana bentuk perekatan budaya di jaman sekarang ini?
Dengan perubahan cara kita berinteraksi satu sama lain, kita perlu meninjau kembali apa yang kita maksud dengan engagement. Survei - survei engagement yang sering dilakukan orang sudah tidak bisa dipakai sebagai patokan lagi. Makna engagement dalam survei yang beredar perlu dirumuskan ulang. Para ahli sekarang mendefinisikannya sebagai : an opportunity to turn employees into brand advocates through a dialog that keeps them informed and reinforces the company’s dedication to their long-term success.
Jadi engagement di saat sekarang, yang tetap mengandalkan kolaborasi internal, koneksi antar karyawan, serta antara manajemen puncak dengan pegawainya, juga perlu memperhitungkan sejauh mana karyawan aktif dalam social channels-nya. Inisiatif untuk memanfaatkan media sosial dalam menjalin penyebaran informasi dan komunikasi personal maupun bisnis perlu datang dari pucuk pimpinan manajemen. Tidak ada pilihan.
Pucuk pimpinan perlu mengganti mode komunikasinya dengan media sosial dan juga perlu mendekati bawahannya tidak dengan cara formal saja tetapi juga secara personal. Mengikuti apa yang terjadi pada kehidupan pribadi karyawan, kelahiran anak, ulangtahun, dan kegembiraan-kegembiraan lain yang dialami masing-masing individu.
Teknologi bukan solusi satu-satunya
Sering kita menemui karyawan yang tampak baik-baik saja, tetapi kemudian mengeluh tentang atasannya, kebijakan perusahaannya di sosial media. Terkadang hal ini termonitor oleh perusahaan, terkadang tidak.
Lepas dari apakah hal yang dikeluhkannya itu valid atau tidak, dengan cepat isu ini bisa disebarkan oleh jejaringnya tanpa kontrol dari perusahaannya. Ini adalah contoh gejala kurangnya engagement yang bisa-bisa berdampak terhadap image perusahaan. Jadi, bagaimana mengembangkan engagement dalam situasi ini?
Landasan keeratan hubungan atasan bawahan adalah pada rasa percaya. High trust levels confirm and legitimize hard work to establish a strong, functional relationship with team members. Bagaimana memulainya? Bukankah rasa percaya ini tumbuh sedikit demi sedikit dan tak bisa dipaksakan?
Perusahaan dalam hal ini bertanggung jawab untuk menumbuhkan sense of purpose pada setiap karyawan sehingga tiap karyawan berambisi dan merasa memiliki peranan yang jelas dalam mencapai tujuan perusahaan. Setiap karyawan juga perlu ditumbuhkan accountability nya, sehingga ia tahu dan dengan suka rela mau bekerja keras untuk kepentingan lembaga atau perusahaan.
Karyawan tidak boleh merasa atau menyaksikan bahwa ada kelompok atau golongan tertentu yang tertinggal. Semua harus dilibatkan, tidak peduli tingkat jabatan ataupun golongan tertentu.
Hasil engagement yang paling nyata saat sekarang adalah pada employee advocacy, yaitu para karyawan dengan bangga memuat kegiatan kerjanya, suasana kantornya, dan anggota timnya melalui media sosial. Pekerjaan dan tempatnya bekerja menjadi bagian dari identitas yang dia sebarkan di media sosialnya.
Coaching dan mentoring perlu diarahkan tidak hanya kepada kompetensi karyawan semata, namun sampai pada menumbuhkan sense of purpose dan engagement karyawan. Selain itu kita juga perlu mengasah kemampuan komunikasi asertif para karyawan. Biarkan mereka berbicara, dan dengarkan mereka. Berikan mereka “panggung” sejak dini, agar mereka terbiasa memimpin, merasa bahwa mereka memiliki impact kepada perusahaan dan memiliki suara dalam pengambilan keputusan penting.
Bedakan kapan waktunya kita berkomunikasi secara elektronik dengan kapan kita betul-betul berfokus pada mata seseorang dan tidak terdistraksi oleh komunikasi di dunia maya. Yakinkanlah setiap karyawan bahwa mereka juga bertanggungjawab pada perkembangannya sendiri, dimana inovasi dan agility adalah bagian tak terpisahkan dari ambisinya untuk berkembang.
Dimuat dalam harian Kompas, 10 Februari 2018