BARU-baru saja, sebuah perusahaan jasa keuangan yang cukup besar dan mapan ingin bekerjasama dengan Experd. Jumlah karyawan yang puluhan ribu mereka merasa bagaikan dinosaurus yang tidak bisa bergerak mengikuti arus digitalisasi. Karyawan-karyawannya yang memang loyal dan sudah berbakti puluhan tahun pada dasarnya tidak bisa keluar dari lembah kekunoan. Perusahaan ini kemudian tak bisa bergerak dan sulit sekali berubah. Ini adalah salah satu fakta yang seringkali kita temui.
Pada kesempatan lain, perusahaan telekomunikasi berbasis kabel yang kemudian sudah memajukan dirinya dari memberi layanan transfer suara ke data, sekarang perlu bertransformasi menjadi mitra bagi pelanggan dalam kehidupan digital. Situasi baru ini menuntut perubahan signifikan dalam kapabilitas dan budaya perusahaan. Digitalisasi ternyata bukan sekedar automasi, cara untuk mengurangi ongkos ataupun meningkatkan produktivitas, tetapi juga berarti berubahnya pengalaman, interaksi, dalam semua channel maupun kegiatan transaksi.
Kemajuan teknologi seperti mobilitas, cloud, media sosial dan kekuatan analisa sudah mentransformasi tempat kerja tradisional menjadi tempat kerja yang mobile. Teknologi digital bukan saja memberi kemudahan untuk pengguna, tetapi sudah menyatu dengan aktivitas dan perilaku kita. Situasi ini dengan sendirinya mengubah cara kerja, komunikasi, dan berkolaborasi, demikian pula merubah cara membeli dan mengkonsumsi informasi.
Yang jelas, transformasi terjadi pada bagaimana kita menganalisa informasi dan menyusunnya menjadi pengetahuan. Kita diharuskan menjadi aktor sosial dan menyatakan opini tentang bagaimana mengembangkan produk, mengimplementasikannya menjadi bisnis, berinovasi, memecahkan masalah, meningkatkan produktivitas, membuat keputusan dan memajukan perusahaan. Dengan demikian, kita tetap mempunyai daya saing di pasar.
Kompetensi baru
Banyak sekali perusahaan, yang karena sulitnya mentransformasi perusahaan, terutama sumber daya manusianya, kemudian membuat divisi tersendiri, atau merekrut tenaga-tenaga yang segar dan memberikan proyek terpisah dari praktik-praktik yang lama. Namun, pertanyaannya, apa yang akan dilakukan terhadap SDM yang sebelumnya sudah ada?
Kita justru perlu berupaya melakukan up-skilling karyawan untuk memasuki era digital ini, dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan memonitor pekerjaan secara digital. Pemimpinlah yang perlu melek digital terlebih dahulu, karena ia harus membawa perusahaan berisikan orang-orang yang tidak berhenti meraih kesempatan di tengah lautan informasi. Para profesional yang senantiasa menjalankan proses unlearn, learn dan relearn, tanpa lelah. Perusahaan harus ditransformasi agar berisi orang-orang yang tak kenal lelah mencari ide baru, mencari solusi, mengimprovisasi dan berinovasi.
Semua orang perlu cermat menggunakan media sosial karena interaksi dan umpan balik secara mayoritas bisa didapat melaluinya. Setiap individu perlu sadar bahwa ia terlihat, dikenal secara sosial dan menjadi duta perusahaan. Analisa Big Data juga sangat diperlukan. Mempunyai data besar tak akan ada gunanya, kecuali bila kita bisa melakukan analisa mendalam dan berarti.
Jadi, diperlukannya kompetensi baru itu memang riil. Kita tidak bisa terlena dan merasa nyaman dengan keahlian-keahlian kita terdahulu. Kompetensi yang dibutuhkan secara mendesak ini sebenarnya tidaklah baru, tetapi, selama ini kita tidak menganggapnya sebagai prioritas utama. Hal yang paling utama adalah sikap ilmiah yang harus mendarah daging dalam diri setiap karyawan. Artinya, setiap orang harus mau belajar dari umpan balik dan apa yang dikatakan orang lain. Mungkin kompetensi ini memang sudah lama ada, tetapi pembiasaan dan sikap mental untuk menggarap masukan dan informasi sebagai sebuah data penting adalah sesuatu yang baru. Karenanya kita bisa mengatakan bahwa kompetensi ini merupakan campuran dari kemampuan tradisonal dan digital. Apakah mungkin dilakukan?
Sebuah perusahaan telekomunikasi berpusat di Norwegia yang juga beroperasi di India, secara serius merancang perusahaan yang digitally ready dalam proses pekerjaan dan interaksi manusianya. Fokus utama perusahaan ini ada pada inovasi dan teknologi. Lantas apa yang dilakukannya? Melakukan inovasi, bukan sekali-sekali, tetapi setiap saat. Selain itu, pada saat rekrutmen, perusahaan berusaha memastikan bahwa setiap kandidat benar-benar memiliki kapasitas mental digital. Tak hanya itu, mereka juga mengupayakan praktik kerja digital. Misalnya, dalam pengaturan makan siang, pemberitahuan menu, maupun kehadiran individu di kantinnya. Semua kemudahan ini diimbangi dengan pembentukan mindset dan penguasaan ketrampilan digital. Transisi teknologi ini perlu dirancang dan dipaksakan implementasinya.
Bagaimana dengan pemimpinnya?
Tentunya karakteristik pemimpin yang umum tetap berlaku, hanya saja, perkembangan teknologi secara sosial dan digital ini menyebabkan visi pemimpin perlu berubah. Pemimpin perlu mempertanyakan dirinya sendiri: apakah ia sendiri melek digital? Ia perlu mengembangkan dirinya bukan saja untuk menjadi digital immigrant yang hanya tahu tetapi tidak menceburkan diri ke dunia digital, tetapi untuk menjadi seorang digital native dimana Ia benar benar fasih berfikir digital. Setiap orang bisa menjadi digitally sophisticated, tanpa melihat usia, dan ini adalah sebuah pilihan. Hanya dengan cara ini kita bisa masuk dalam era penuh disrupsi ini, khususnya apabila kita bergerak dalam bisnis media, buku, retail dan musik. Passion si pemimpin perlu mendalam, baik di level konseptual maupun taktis. Ia tidak perlu merasa menjadi ‘orang lain’ dan enggan bernafas digital. Jika mau, ia pasti bisa menguasai kemampuan-kemampuan baru ini.
Dimuat dalam harian Kompas, 23 Desember 2017.