was successfully added to your cart.

AI DI DEPAN MATA

AI DI DEPAN MATA

PARA pengguna iPhone mungkin sudah terbiasa menggunakan fitur Siri yang bisa mendengarkan perintah, menunjukkan jalan, mencari arti kata, dan banyak lagi lainnya yang membuat kita serasa memiliki asisten pribadi. Di balik kecanggihan itu ada teknologi yang sangat advanced yang meniru pancaindera, mengirimkannya ke “otak palsu”, dan kemudian berespons secara menakjubkan.

Bila bicara kita tak jelas, maka ia mengatakan: “I do not get what you are saying.” Bila kita mengulang permintaan tertentu beberapa kali, ia akan menegur dengan mengatakan bahwa dia sudah menjawab sebelumnya. Inilah mesin otak, yang sering kita kenal sebagai (artificial Intelligence/AI).

Siri dikembangkan ketika Apple mengakuisisi perusahaan artificial intelligence bernama Vocal IQ, yang mengkhususkan perhatian pada penangkapan dan analisa suara. Ada pemakai ponsel yang dengan cepat dapat terampil menggunakan fitur ini, ada juga yang masa bodoh dan tidak melihat manfaatnya. Bagaimanapun sikap kita, mesin ini akan dipercanggih terus sehingga bisa semakin memudahkan penggunanya. Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia pun, di samping menggantikan para frontliner di helpdesk dengan mesin, juga sedang mengembangkan aplikasi pengenal wajah, yang nantinya akan dipergunakan sebagai akses keamanan identitas para pengguna jasanya. Majalah Forbes mengemukakan bahwa banyak yang dulu hanya terjadi di film Star Trek, segera akan menjadi realita dalam waktu yang sangat singkat. Tidak lama lagi kita akan dengan mudah berdiskusi dengan komputer untuk mencari solusi, bahkan mungkin diperintah komputer, yang lebih pandai daripada otak manusia.

Artificial intelligence ini sudah ada di dalam benak setiap orang. Memasuki abad ke 22 ini, kita pun sangat yakin bahwa aktivitasnya akan menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan kita. Semakin lama, semakin nyata apa yang akan terjadi dengan berkembangnya pembuatan otak palsu ini. Tetapi sebagian besar dari kita masih tetap menyikapinya sebagai sebuah science fiction semata.

Pada level individual, terasa sekali bahwa bahwa pengembangan artificial intelligence ini telah memudahkan banyak aspek dalam kehidupan kita bila kita bisa memanfaatkannya. Namun, kemudian banyak sekali timbul pertanyaan, “bagaimana dengan para professional, yang sudah belajar dan ternyata kemampuan berfikir mereka bisa disamakan dengan mesin, bahkan mungkin dilampaui.”

Dalam waktu dekat, automasi akan mengambil alih banyak sekali peran manusia dalam masyarakat. Inilah yang dikhawatirkan banyak sekali pihak, bahkan diperkirakan 35 persen dari kebutuhan tenaga kerja akan berkurang dalam kurun waktu 5 tahun ini. Beberapa artikel di media bahkan menyerukan agar pemerintah juga mengambil langkah strategis untuk  memikirkan bagaimana tenaga kerja ini akan dialokasikan.

Beberapa pekerjaan memang pasti akan terhapus. Penjaga jalan tol yang digantikan oleh mesin harus mulai bersiap untuk memberikan kontribusinya dalam bidang lain. Namun, beberapa pekerjaan baru juga akan terbentuk. Sebelum maraknya sosial media, siapa yang mengira ada pekerjaan seperti food dan beauty blogger, social media specialist, apps developer dan lainnya. Siapa yang pernah membayangkan kehidupan seperti para digital nomad yang bisa bekerja dengan baju pantai di Bali sambil meneguk kelapa muda namun tetap berproduksi secara aktif? Revolusi automasi ini pasti terjadi. Pertanyaannya, seberapa siapkah kita untuk menghadapinya?

Mengarungi Logical Tech evolution

Memusuhi dan menganggap bahwa otak palsu adalah ancaman sebenarnya merupakan tindakan sia-sia. Bukankah semua kemutahiran teknologi itu dibuat untuk memudahkan dan menguntungkan manusia? Kitalah yang menentukan apakah kemajuan ini bisa membawa hasil positif untuk umat manusia. Semakin kita menganggap otak palsu ini sebagai benda asing, semakin kita membentuk mekanisme pertahanan diri yang tidak ada gunanya. Automasi jelas akan mengambil alih beberapa tugas manusia. Tetapi, dampaknya adalah bahwa manusia akan mempunyai lebih banyak waktu untuk mengerjakan hal-hal lain dan terutama menciptakan hal-hal baru.

Justru inilah saatnya kita menciptakan lapangan kerja dan produk baru yang sebelumnya tidak terpikir oleh kita. Ingat pengalaman pertama kita dengan internet? Kita bisa merasakan betapa internet memudahkan hidup kita semua. Hal ini pula yang akan terjadi pada AI, semesta akan bergerak menyesuaikan pertemanan kita dengan AI ini. Ini adalah saatnya untuk berhenti dari sekedar mengagumi kecanggihan teknologi, dan segera terjun menerobos, menunggangi teknologi tersebut dengan cara mengubah mindset dan cara kerja kita. AI harus menjadi pelengkap atau perpanjangan tangan dari kerja kita. AI bukan menggantikan otak kita.  

Pintar saja tidak cukup

Kenyataan ungkapan data sangat penting dalam kehidupan memang benar. Tetapi, kita tidak pernah lupa, bahwa humanitas tidak akan terkalahkan oleh mesin apapun. Jack Ma, pemimpin Alibaba, seorang yang begitu maju dalam mengembangkan teknologi dan bisnis, malahan mengatakan bahwa yang dibutuhkan manusia di masa depan justru adalah LQ, love quotient. Hanya dengan kemampuan menunjukkan perasaan dan melibatkan perasaan dalam hubungan dengan orang lain, kita bisa memperoleh rasa percaya yang mendalam.

Kita masih harus mengembangkan wisdom, penguasaan mood dalam hubungan kita dengan manusia lainnya. Seberapa pun pintarnya sebuah mesin, ia tidak memiliki kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah-masalah terbesar manusia seperti kemiskinan dan epidemi penyakit. Mesin hanyalah menjadi alat tunggangan manusia untuk melakukan proses dengan lebih cepat, namun mesin tidak memiliki motivasi yang dapat menciptakan kemajuan. Manusialah dengan hati, jiwa, dan belief-nya akan tetap memiliki kreativitas dan kemampuan untuk mengontrol teknologi agar berguna dan mempermudah hidupnya.

Dimuat dalam KOMPAS, 28 Oktober 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com