was successfully added to your cart.

CHANGE? WHY NOT?

CHANGE? WHY NOT?

PERNAHKAH kita memikirkan berapa persen dari nasihat dokter, seperti berolah raga teratur, atau menurunkan berat badan, serta menghindari gorengan, yang benar-benar kita ikuti? Ternyata anjuran dokter yang terkait dengan mengubah kebiasaan, hanya diikuti oleh 5% dari seluruh populasi pasien. Hal ini membuktikan bahwa perkara mengubah perilaku orang, dalam hal ini mengobati diri, bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Saat sekarang, ketika menghadapi kondisi VUCA, di mana banyak perusahaan justru ingin berubah. Ancaman sudah di depan mata, namun engagement karyawan menurun. Para milenial yang sudah direkrut dianggap belum bisa dirangkul untuk bekerja sama. Padahal, di berbagai pemberitaan, kita tahu bahwa para anak muda inilah yang membawa pikiran segar dan inovatif. Perusahaan pun terus berupaya untuk mengikuti perubahan. Bahkan, ada yang membuat divisi tersendiri untuk menghasilkan strategi-strategi perubahan.

Dari penelitian kecil yang kami lakukan terhadap sebuah organisasi yang mapan, kami mendapatkan bahwa profil umum para karyawan maupun top management memang bukanlah profil dari seorang game changer. Kekuatan perusahaan banyak terfokus pada hal-hal teknis, yang bahkan mengalahkan kekuatan yang berorientasi pada manusia. Fakta ini mungkin patut diperhitungkan apabila kita sedang mencanangkan suatu perubahan, khususnya di organisasi besar.

Dalam sebuah workshop People Management yang diadakan Experd, para peserta diajak untuk membuat desain pengembangan para bawahannya. Dalam hal ini mengembangkan berarti mengubah beberapa kapasitas yang ada pada individu. Salah seorang peserta kemudian mengungkapkan, bahwa dari latihan itu, ia menyadari bahwa yang perlu berubah terlebih dahulu adalah dirinya sendiri. Kita memang setuju, bahwa perubahan yang kita harapkan bisa terjadi sangat tergantung pada mental dan mindset setiap individunya.

Mengapa individu tidak berubah?

Dalam ilmu psikologi perkembangan, dikatakan bahwa perubahan besar terjadi pada saat akil balik. Pada saat itu terjadi penyempurnaan otak secara drastis, sehingga kapasitas daya pikir menjadi sempurna. Dari segi emosional juga terjadi proses pendewasaan, dimana hubungan interpersonal menjadi semakin kokoh. Setelah masa pancaroba ini, individu sudah mulai memantapkan cara pikir.

Ketika memasuki universitas, ia pun sudah mulai memantapkan ilmu pengetahuan yang akan dibawanya kelak untuk berprofesi. Bila kemudian ada keharusan untuk berubah, bisa kita bayangkan betapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk mengubah daya pikir, dan emosi individu.

Hal inilah yang sering membuat individu surut dari perubahan yang sudah ia canangkan, dan kembali ke rel kebiasaan semula. Individu yang terbiasa membuang sampah dijalan, tiba-tiba perlu belajar untuk tidak mengotori jalanan dengan sampah di mobilnya. Mudahkah itu? Bagi sebagian orang jawabanya adalah “ya”. Tetapi untuk orang pada umumnya, perubahan ini memerlukan proses belajar yang tidak sedikit upayanya.

“Brave up process” secara individual

Perubahan, apapun bentuknya dan seberapapun kadarnya memerlukan kekuatan emosi karena tidak jarang ia dibarengi dengan kekhawatiran, rasa malu, dan kekecewaan karena cemooh. Mindset, know how, serta infrastruktur penunjang perlu kita siapkan terlebih dahulu. Karena berubah bukanlah sekedar niat. Tools nya perlu ada dulu. Di perusahaan-perusahaan yang besar, biasanya hal-hal ini sudah disiapkan.

Yang sering kurang diperhitungkan justru adalah individunya. Bisa saja individu semula bersemangat untuk berubah, namun berangsur-angsur hilang semangat karena dampak perubahan belum terlihat signifikan. Padahal, Motivation doesn’t just happen — you have to actively build and sustain it.

Banyak juga individu yang tadinya berapi-api mengikuti perubahan, tiba-tiba kehilangan semangat, karena tidak mempunyai keyakinan 100 persen akan tujuan perusahaan. Poros perubahan haruslah jelas, milestones pun perlu jelas, dan dampak perubahan yang sudah kelihatan pada tahapan tertentu pun perlu diperlihatkan. Perusahaan yang tiba-tiba ingin beralih ke proses “all digital” pun tidak bisa melakukannya dalam sekejap. Manusianya perlu membeli konsepnya, mengerti manfaatnya, lalu belajar menyesuaikan diri, dan kemudian melihat perkembangannya, tanpa menghilangkan konsep poros perubahan dari pemikirannya.  

Biasakan berubah terus

Kita perlu juga menanamkan dalam benak kita bahwa perubahan ini perlu dilakukan terus menerus. Kita perlu punya kesiapan, bahwa posisi kita tidak akan tetap untuk jangka waktu yang panjang. Karenanya, kita perlu membiasakan diri untuk membuang jauh-jauh sikap defensif, rasa rendah diri, dan takut, serta menggantinya dengan kesigapan dalam menyambut tuntutan perubahan. Begitu kita merasakan kemapanan, kita harus peka, sehingga tidak jatuh terlena.

Yang harus kita lakukan adalah menguatkan otot, dan membuatnya lebih fleksibel, agar selalu siap melompat dan melawan arus begitu dibutuhkan. Dalam organisasi perlu dibudayakan proses belajar dengan cepat. Hal ini bisa dilakukan apabila kita terbiasa untuk saling memprovokasi. Kita tidak perlu berfikir keras untuk meramal masa depan yang tak jelas. Lebih baik kita mempersenjatai kita dengan pengetahuan dan ketrampilan baru. Kolaborasi antara tua dan muda, antar disiplin perlu diresmikan, dan di-support. Lingkungan kerja perlu disederhanakan, dan dibuat lebih praktis, agar keribetan prosedur, dan birokrasi tak menghambat perubahan. Dengan sendirinya, orang bertalenta akan lebih happy bekerja dan menjadi lebih kreatif.

Dimuat dalam KOMPAS, 21 Oktober 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com