SERING kali kita bingung mengapa Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang memiliki sumber daya alam yang sedemikian kaya dan sumber daya manusia yang potensial, terkadang masih terlihat kurang percaya diri saat harus tampil dan berkompetisi dengan pihak luar.
Kita ribut ketika Presiden kita, Joko Widodo, bisa tampil berbicara di depan negara maju dengan lantang dan percaya diri. Seolah-olah kita tidak percaya dengan ke-pede-an presiden kita sendiri. Sering kita menyalahkan lamanya bangsa ini dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun sehingga perasaan inferior terus diturunkan dari generasi ke generasi.
Kita juga perlu mengkaji ulang bilamana ada yang menggunakan istilah penjajahan ekonomi ataupun penjajahan intelektual, yang kemudian disebut-sebut dengan istilah pembodohan. Mengapa bisa sampai kita tetap dijajah pada masa sekarang? Apakah itu bukan mindset dalam diri masing-masing yang perlu diwaspadai.
Seharusnya kita lebih memahami konsep kemitraan dalam sebuah hubungan bisnis yang sebenarnya juga bisa diterapkan dalam situasi yang lebih besar. Apakah kemitraan sekadar sebuah hubungan dagang jual beli atau seharusnya mengarah pada hubungan timbal balik yang membuat kedua belah pihak semakin berkembang dalam prosesnya.
Misalnya, dalam skala kecil di perusahaan yang bermitra dengan perusahaan asing untuk berdagang bersama. Pemilik perusahaan dagang di sini, membolak-balik perjanjian, dengan ras waswas dan banyak “what if’s” yang kian bertambah.
Calon mitra sampai-sampai frustrasi dan menanyakan kepada konsultan hukumnya “Apakah bapak ini pernah bermitra sebelumnya?” Ternyata, bapak ini sudah sering berjual beli dalam artian menjadi distributor tunggal, tetapi tidak pernah membuat perjanjian yang lengkap untuk berbagi. Selama ini, hubungan beli yang berlangsung bertahun-tahun, melatarbelakangi hubungan dagang tersebut sehingga tidak pernah perlu ada acara hitung-hitungan pembagian laba. Bukankah hubungan ini bukan hubungan take and give yang kita maksud.
Di sisi lain sebuah perusahaan perikanan yang karena kesuksesannya mendapatkan penawaran investasi. Bahkan, mengingat manajemennya cukup rapi, investor menawarkan suntikan modal yang cukup besar. Perusahaan Indonesia itu kemudian dengan cerdik mengajukan bantuan ahli untuk mentransfer teknologi pengawetan ikan berstandar dunia.
Selain itu, perusahaan meminta jaminan bahwa produksi ikan akan diserap oleh perusahaan asing tersebut. Kita lihat bahwa saat sekarang kemitraan perlu digalakkan dengan kecerdikan inisiatif yang jauh ke depan dan mendapatkan solusi menang-menang yang cermat.
Kita jadi berpikir. Selama ini, apakah kesejajaran antara kita dan pihak lain yang ingin bersahabat dan bermitra terlah dikaji dengan cermat? Dari zaman VOC sampai sekarang, bahkan dengan Freeport, mengapa kita selalu gigit jari dan akhirnya selalu merasa dirugikan? Apakah betul komentar-komentar di berbagai media sosial sekarang bahwa bangsa Indonesia memang tidak bisa berdagang atau apakah kita memang belum siap untuk bermitra?
Saat sekarang, negara sedang banyak melakukan pendekatan dengan berbagai negara, baik Asia maupun Timur Tengah dan Barat. Bagaimana memilih mitra sehingga pada akhirnya mendapatkan keuntungan yang optimal?
“Win-win situation”
Setiap saat bermitra dan merasakan ketidakseimbangan dari keuntungan yang didapat, kita perlu mengakui bahwa pengikatan kemitraan mungkin memang tidak seimbang. Sebaliknya, orang yang berwawasan luas tidak hanya melihat keuntungan dari materi, tetapi juga hal-hal lain yang tidak teraga.
Seseorang mau bekerja di suatu perusahaan dengan gaji yang kecil, tetapi memperhitungkan bahwa ia diperbolehkan menguasai keterampilan tertentu demi pengembangan dirinya. Ini juga bentuk kemitraan yang sejajar.
Pada masa sekarang, tidak semua kemitraan dilakukan dengan pertukaran hal-hal yang terhitung, seperti sumber daya alam. Orang bisa bermitra untuk berinovasi bersama. Tiap kemitraan bisa berbeda dan unik serta keuntungan yang didapat pun berbeda-beda. Perusahaan yang sudah tua dan sarat pengalaman, bisa bermitra dengan perusahaan kecil, yang dikelola anak muda, sekadar untuk memperbaiki dan meremajakan kultur perusahaan. Siapa yang untung? Pasti keduanya. Perusahaan tua bisa hidup kembali dan bersemangat kembali sementara yang muda bisa belajar banyak.
“Do your homework”
Sebelum melakukan perundingan, setiap pihak yang hendak bermitra sebaiknya mempelajari apa poin kekuatan mereka sendiri, apa yang mereka punyai, dan apa kekuatannya yang bisa menarik bagi calon mitra. Indonesia, misalnya, sebagai negara yang sumber daya alamnya demikian kaya dan limpahan tenaga kerja yang masih dinilai murah, bagi negara-negara asing tentunya sangat menarik.
Apakah dengan bermitra kita akan mendapatkan masa depan yang lebih baik? Apa bentuknya? Apa added value yang kita dapatkan, baik material maupun non material? Apa bekal masing-masing pihak? Dan apa yang ditawarkan? Apa tanggung jawab masing-masing pihak?
Kedatangan Raja Salman begitu hebohnya adalah buah dari sebuah perjalanan panjang pemerintah saat ini yang berhasil mengegolkan sebuah penawaran yang win-win bagi kedua belah pihak. Ketika Arab Saudi sedang membutuhkan wadah investasi baru mengingat harga minyak yang terus menurun, sementara Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar, sekaligus juga potensi tenaga kerja dan sumber daya alam, bukankah kita sama-sama bisa menemukan jalan keluar?
Apakah kita menuju ke tempat yang sama?
Orang tahu bahwa dari bermitra, kita pasti akan mendapatkan keuntungan. Bahkan keuntungannya bukan sekadar hasil penjumlahan mitra yang pertama dan kedua. “1+1 harus lebih dari 2”. Apalagi kalau kita sudah sampai membicarakan masa depan untuk kedua pihak. Hubungan baik akan membawa emosi positif, selain transfer pengetahuan dan pengalaman.
Bila kemitraan sudah terbentuk, pasti ada rasa percaya dan respek yang akan mewarnai iklim kerja sama. Selain itu, setiap pihak bertanggung jawab untuk menjaga governance dan ethics di antara mereka agar kemitraan dapat berlangsung untuk waktu yang lama.
Menemukan mitra yang tepat seperti mencari kutu. Namun, bila kita senantiasa memutakhirkan pengetahuan tentang diri, situasi, dan mitra serta menjaga agar komunikasi jelas, tepat dan seadanya, serta menjalankan praktek good governance, pasti kita sedikit demi sedikit menguasai cara bermitra. Ingat: “Win-lose” arrangements lead to “los-lose” ventures.
Dimuat dalam KOMPAS, 4 Maret 2017