AKHIR tahun biasanya merupakan masa bagi kita untuk melakukan refleksi, peninjauan kembali tentang apa yang sudah terjadi, sudah dilakukan maupun yang belum terlaksana. Banyak hal baik seperti kemajuan-kemajuan pembangunan di Jakarta maupun di daerah-daerah lain yang kita lihat secara nyata.
Namun, kita juga mengalami beragam hal yang lumayan menyayat hati. Beragam istilah pembodohan, penistaan, dan hina-menghina, yang beredar tanpa adanya filter juga dapat sangat menguras energi dan emosi kita. Ke manakah kita bisa mengisi energi ini kembali? Pada akhir liburan seperti ini, semua tempat liburan tampaknya macet dan penuh sesak.
Beruntunglah orang yang mempunyai kebiasaan meditasi karena ini mungkin saat-saat yang baik untuk menenangkan pikiran. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup kita ini? Apakah kita terlalu sibuk? Padahal, di sisi lain, keadaan ekonomi juga sedang tidak terlalu padat sehingga kesibukan kitapun seharusnya tidak terlalu “hectic”?
Namun, ternyata ada sumber kesibukan lain yang 20 tahun lalu tidak ada, seperti pergaulan kita dengan media elektronik. Di media sosial, kita melihat semakin banyak orang yang berpendapat, berteori, bahkan berpolitik secara menumpahkan emosi pula. Di satu pihak, banyak orang yang tiba-tiba merasa ahli walaupun di lain pihak ada yang berpendapat bahwa mereka semakin lama semakin kelihatan bodohnya.
Bahkan, doa pun banyak yang dipanjatkan melalui media sosial sehingga urusan kita dengan Sang Pencipta terpublikasi ke publik. Kita tidak tahu pasti, apakah hal ini memang berupa kebutuhan, pembodohan atau bahkan pendangkalan? Yang jelas, penggunaan dan ketergantungan orang pada ponsel pintar ini semakin lama semakin menggila. Bila pada tahun 2012, penelitian tentang berapa kali orang rata-rata mengecek media elektroniknya per hari mendapatkan angka 37 kali, sekarang di perkirakan individu rata-rata mengecek surel dan media sosialnya sebanyak 85 kali, yang meliputi berkomunikasi dan mendengarkan musik.
Jadi, kita perlu mengakui bahwa penggunaan media elektronik sudah mendominasi kehidupan berpikir kita, bukan? Kalau waktu jaga 16 jam dan kita mengecek ponsel sebanyak 85 kali, artinya kita memegang ponsel dan mengeceknya setiap 11 menit. Artinya, 5 jam dalam sehari, atau 30 persen dari waktu jaga kita dihabiskan dengan benda kecil elektronik itu.
Mungkin waktu yang paling aman, lepas dari ponsel hanyalah ketika kita mandi dibawah pancuran air. Apakah fenomena ini berdampak pada kerja otak kita? Apakah kerja otak kita menjadi cepat? Apakah kapasitas memori kita berantakan?
“Our Cluttered Minds”
Socrates dalam buku The Phaedrus pernah menyatakan kekhawatirannya ketika mulai ditemukannya huruf dan angka, dan berlanjut pada penemuan teknologi cetak seperti buku. “Bagaimana mungkin orang mempercayai bahwa tulisan itu mewakili apa yang ada di pikiran kita?” ungkapnya.
Lalu apa yang terjadi sekarang? Kita sudah tidak sempat membaca textbook, jurnal atau literatur, tetapi menggantikannya dengan cara pemutakhiran pengetahuan melalui berita-berita singkat berkarakter 140. Pemahaman yang didapat dari informasi-informasi singkat ini kemudian membuat kita bisa langsung berkomentar, berdebat, emosional, sampai mengembangkan masalah atau pendapat dengan pengetahuan kita yang terbatas.
Dalam bukunya The Shallows: “What the Internet Is Doing to Our Brains,” Nicholas Carr menyatakan, “Once I was a scuba diver in a sea of words. Now I zip along the surface like a guy on a Jet Ski.” Scarr menggambarkan bahwa pemikiran kita yang sudah disuguhi informasi yang tidak terbatas ini, tidak lagi terbiasa untuk menyelam dan mendalami suatu masalah dari ujung ke ujung. Kita pun terbiasa membaca informasi yang lebih banyak, dan berpindah dari satu topik ke lain topik. Ini semua dimungkinkan oleh internet, bahkan kita juga dimanjakan dengan kecepatan kerja komputer. Akhirnya hal ini membuat kita bermental instan dan tidak sabaran.
Apa akibatnya? Menurut Carr, kalau kita sekedar mencari informasi melalui internet, kita ibarat melihat hutan tanpa bisa menggambarkan hutannya secara mendetil, tanpa juga mampu melihat pohonnya, tetapi langsung menemukan dahan dan daun-daun saja. Begitu pula kalau kita melihat masalah seperti masalah politik, agama, dan kenegaraan melalui media sosial yang sebenarnya perlu didalami dari ujung ke ujung.
Informasi yang lengkap sebenarnya tersedia, tetapi hampir semua orang hanya melihat cuplikan terkini secara berulang-ulang dan itu-itu lagi. Pembiasaan berpikir seperti inilah yang membentuk otak kita yang plastis ini. Sementara kita menjadi budak teknologi, sirkuit otak kita dibentuk oleh program-program gadget.
Internet sudah mengubah kerja otak kita, bukan menjadi lebih buruk, tetapi menjadi manja, tidak sabar, dan hanya suka bekerja di permukaan. Kita bukan menjadi lebih bodoh; kita lebih pintar, tetapi semakin buta dalam membaca semesta, semakin tidak percaya dan bersahabat dengan kepanikan.
Hidupkan imajinasi
Satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa otak manusia tidak mungkin dikalahkan oleh komputer manapun. Selain itu, pengembangan pribadi manusia, tidak sepenuhnya dibantu kerja otak. Kita masih mempunyai kekuatan fisik dan emosi, yang tidak perlu dibantu kerja komputer.
Akhir tahun ini bisa kita anggap sebagai alarm, untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa bekerja dan terhibur hanya dengan memelototi perangkat pintar. Dengan membaca buku, kita tidak disuguhi film-film pendek untuk memanjakan kerja otak dan imajinasi. Namun, otak dan perasaan kitalah yang berimajinasi sendiri. Kita juga bisa mengharuskan diri bercerita lebih banyak. Tidak mengisi percakapan kita dengan kalimat kalimat pendek atau emoticon semata. Dengan terbiasa menyusun cerita, otak kita semakin terlatih untuk membuat struktur imajiner yang lebih baik dan mendalam.
Bila kita ingin tahu tentang sesuatu, biasakan bermental riset, mencari kebenaran sampai ke akar-akarnya. Jangan mengalah pada pendangkalan. Kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa patung The Thinker karya Rodin (1902) tak mungkin kalah inspiratif daripada “The Tweeter”.
Dimuat dalam KOMPAS, 31 Desember 2016