KETIKA kita masih sibuk mengelompokkan anak-anak muda golongan hipster sebagai golongan yang berperilaku beda dan biasanya tidak mudah ditembus untuk bekerjasama, tiba tiba kita menemukan fenomena lain. Yang berbeda sekarang ini ternyata tidak hanya golongan milenial saja.
Masyarakat juga saat ini semakin cermat menggunakan ponsel pintarnya. Tiba-tiba beragam kegiatan sosial bermunculan. Arisan dan reuni, yang tentunya didominasi golongan usia 30-an ke atas tiba-tiba menjamur. Banyak teman yang kemudian bertemu sahabat lama setelah terpisah tanpa berkabar selama sekian puluh tahun, sekarang bisa saling memutakhirkan data-data sosial mereka. Tiba-tiba masyarakat menemukan cara yang jauh lebih praktis untuk saling berhubungan.
Fenomena ini, juga ternyata bukan dominasi para milenial saja. Meskipun memang sekitar 65% masyarakat yang intensif berhubungan dan saling update ini adalah para milenial, tetapi sisanya, terdiri dari seluruh kelompok umur. Tengok masyarakat Facebook dan Instagram. Bukankah kita semua bisa melihat bahwa populasinya bukan sekedar anak muda yang ingin berkawan atau saling menyapa?
Era serba “connect”
Tanpa disadari kita sudah memasuki era di mana orang sudah tak bisa berpisah dari ponsel pintarnya. Bahkan sebuah survei mengatakan bahwa 91% dari pengguna aktif smartphone ini meletakkan ponselnya dalam jangkauan tangan ketika mereka sedang tidur. Penggunaan ponsel yang tadinya hanya mentransfer suara, sekarang sudah mentransfer teks dan gambar, bahkan juga beragam film-film pendek. Ponsel nampaknya bukan lagi merupakan sebuah alat komunikasi semata, tetapi sudah menjadi ajang berbagi kreasi, kurasi, dan koneksi dalam komunitas.
Gejala pemakaian ponsel ini artinya tidak bisa lagi kita anggap sebagai penggunaan alat komunikasi saja tetapi lebih merujuk kepada sikap dan mindset yang memang terseret dalam koneksi virtual tadi. Begitu kuatnya gejala ini, sampai-sampai kita tidak bisa menghentikan orang untuk tidak mengecek telepon selulernya ketika mereka sedang berkendaraan, seberapapun data-data mengenai bahaya menggunakan telepon seluler di jalan terus ditayangkan. Ini bukan kebiasaan kelompok unur tertentu lagi. Ini sudah menjadi suatu sikap yang umum dan bahkan sudah mengubah tata krama bersilaturahmi.
Kalau 10 tahun yang lalu masih banyak dari kita yang duduk berkumpul bersama di ruang tengah untuk menonton TV dan bercengkrama, saat sekarang momen seperti itu bisa menjadi barang langka karena menonton dari telepon selular masing masing begitu mudah untuk dilakukan, bahkan setiap orang bisa begitu mudah memilih tontonan yang menjadi minatnya hanya dengan satu sentuhan. You Tube yang tadinya adalah sebuah pilihan aplikasi, sekarang sudah menjadi media komunikasi yang ikut mewarnai kultur masyarakat di mana film-film pendek berdurasi tak lebih dari 5 menit sudah begitu menjamur dan dikonsumsi segala lapisan masyarakat. Ia sudah menjadi habitat dunia entertainment.
Budaya koneksi inilah yang sekarang menjadi sebuah trend. Konsumsi informasi masuk dalam benak individu dengan cara baru. Hal-hal yang diserappun sudah harus beda. Kita tanpa sadar menjadi lebih tertarik pada hal-hal yang audiovisual daripada teks yang hambar. Kitapun lebih menyukai ekspresi yang dinamis. Foto, video, tulisan dengan font yang menarik, meme yang menggoda, lebih dipilih untuk mempengaruhi ‘mindset’ kita. Kita kemudian juga jadi terbiasa untuk tidak mempertanyakan, apakah apa yang tersebar, dan yang diberitakan melalui media sosial itu relevan, obyektif, asli atau tidak.
Gen C adalah crowd yang virtual, yang tidak bisa tidak berkekuatan sosial yang besar. Pengambilan keputusan, gerakan, bahkan keyakinan keyakinan penting bisa digeser melalui media sosial. Obama terpilih dalam pemilu tahun 2012 melalui kekuatannya membangun hubungan dengan para pemilihnya melalui social media seperti Facebook.
Dalam sebuah survey yang dilakukan, 30% pemilih mengaku bahwa pilihan mereka dipengaruhi oleh keluarga atau temannya melalui situs-situs social network dan 20% pemilih juga mengaku bahwa mereka menggunakan media sosial untuk mempengaruhi kenalan mereka dalam menentukan pilihannya.
Berkolaborasi dengan Gen C
Begitu kuatnya sentimen emosi yang bisa diciptakan melalui beragam foto-foto yang menarik, film-film pendek yang membuat kita terharu, bahkan kampanye-kampanye, yang bisa membentuk opini publik bahkan menggerakkan massa. Masihkah kita tidak mau memperhitungkannya? Masihkah kita menganggap bahwa generasi koneksi ini binatang aneh?
Tak ada jalan lain, apapun jabatan kita, atasan, produsen, pemilik restoran, professional, pejabat, atau presiden sekalipun, kita sudah harus memperhitungkan gaya hidup ini. Bila tidak, kita pasti akan mengalami kesulitan untuk bisa memasuki jejaring komunitas yang sehati dan sejiwa ini.
Kita pastinya juga perlu familiar dengan bahasa mereka. Kita perlu belajar untuk banyak bermain foto, bermain ekspresi, dan meng-update info. Kita tak bisa mengeluh bahwa kita tidak punya waktu untuk bersosialisasi dengan cara ini. Kita semua perlu multitasking dan terampil menggunakan aplikasi-aplikasi yang ada. Kita juga perlu tahu, bagaimana mengomunikasikan konten sehingga info kita diserap dan bahkan di sebarkan oleh berbagai komunitas yang ada.
Tidak mudah memang, tapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Alasan umur yang mungkin sudah terlalu tua, ataupun pendidikan yang mungkin tidak mumpuni, tidak akan mengubah fakta bahwa mereka yang connect lah yang akan bisa terus berselancar dengan perubahan jaman. Tak kenal maka tak sayang. Sudah waktunya kita semua, mulai dari jajaran paling bawah sampai ke tingkat pemerintah sekalipun juga menguasai ketrampilan untuk menggunakan media komunikasi yang berlaku di generasi ini. Jangan ketinggalan kereta.
Dimuat dalam KOMPAS, 3 Desember 2016