ADA rasa sedih dan cemas yang rasanya tidak hanya berkecamuk di diri saya sendiri sebagai warga negara Indonesia. Terlepas dari kita ini adalah yang membela prinsip dan keyakinan tertentu, atau yang merasa didesak, beragam emosi kita rasakan belakangan ini dengan situasi politik yang rasanya semakin memanas.
Hal sama juga terasa pada warga negara adidaya, yang baru saja menyelesaikan pemilihan presiden mereka. Komentar di media sosial yang entah disengaja, spontan, atau terpeleset lidah, semakin menjadi blunder. Rasa gelisah ini mungkin berpangkal pada kecemasan akan adanya agresi, perpecahan, dan pelecehan yang terasa sangat traumatik.
Kita jadi bertanya-tanya, bisakah sentimen negatif ini diperbaiki? Bisakah rasa toleran kembali mewarnai suasana silaturahmi di kampung-kampung yang melahirkan sikap gotongroyong yang produktif? Dari komentar beberapa orang di media, terlihat bahwa sentimen sulit dibelokkan, terutama oleh pihak eksternal yang berseberangan. Rasionalitas yang paling masuk akal sekalipun sering tidak bisa menembus hati. Mengapa hal ini bisa terjadi?
“Sitting with our emotions is one of the most challenging things to do“. Perasaan tidak enak tidak akan bisa pulih, bila tidak kita kelola secara mendalam. Kita perlu mawas diri dan bertanya: apakah andil kita dalam tumbuhnya situasi ini? Mungkinkah kita selama ini terlalu berkacamata kuda dan hanya mementingkan diri sendiri? Mungkinkah kita tidak banyak membuka diri terhadap orang yang berpandangan dan berkeyakinan lain? Mungkinkah kita bersikap masa bodoh bahkan setuju dengan labelling yang beredar, bagi kelompok lain? Sudahkah kita merefleksikan dan mendalami paham dan keyakinan kita, sampai ke inti terdalamnya?
“I believe in the fundamental truth of all great religions of the world. And I believe that if only we could, all of us, read the scriptures of the different faiths from the stand-point of the followers of those faiths, we should find that they were at the bottom, all one and were all helpful to one another.” Itu kata Gandhi.
Upayakan membuka hati
Mungkin kita bisa menyamakan keadaan ini dengan situasi patah hati saat kita harus menyatukan kembali hati yang sudah remuk. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita mendengar dan memahami terlebih dahulu sebelum berkomentar? Sudahkah kita melihat dan mengenal individu secara utuh tanpa perlu mempersoalkan keyakinan politiknya? Sudahkah kita memperhitungkan kemungkinan bahwa kita terjebak dengan pemikiran-pemikiran sendiri yang kita anggap paling benar dan tidak bersedia dibeberkan di atas meja untuk diargumentasikan?
Belum lagi keadaan krisis dan kesulitan ekonomi, sering membuat kita melihat kesenjangan keberuntungan dengan rasa yang kurang positif. Mereka yang mampu meneruskan pekerjaannya secara profesional, bisa jadi akan menganalisis situasi dengan cara yang berbeda dengan golongan pekerja yang kurang beruntung.
Kecurigaan elitism membuat suasana semakin negatif dan dengan sendirinya membuat pemikiran semakin tertutup. Hal inilah yang perlu disadari oleh masing masing kita. Tidak ada yang lebih sempurna dari yang lain. Tidak ada yang lebih berjasa membangun negeri ini daripada yang lain. Bayangkan bila tidak ada yang mau menjadi pengangkut sampah sama sekali di negara ini. Tidak boleh ada sikap arogan pada anggota parlemen, penegak hukum, ataupun orang orang yang merasa pintar.
“Magic”-nya silaturahim
Di sebuah restoran, saya mencuri dengar pembicaraan seorang tokoh dengan para relasinya. Tampaknya pembicaraan berlangsung seru, tetapi sayangnya hampir seluruh pembicaraan tersebut didominasi oleh sang tokoh tanpa ada dialog. Inilah pangkal tolak kesempitan ruang berfikir. Para hadirin yang bisa terdiri dari anak buahnya ataupun relasi, hanya diam dan mendengar.Mereka tidak mendapat keuntungan dari dinamika sebuah dialog yang bisa memberikan perspektif yang berbeda.
Walaupun gejala ini bisa dikatakan sangat lumrah, di sinilah pangkal tolak kesempitan berpikir. Rasionalitas kita dibiarkan untuk tidak terasah. Padahal, kita harus mengasah otak dan dapat bertukar fikiran sebanyak mungkin. Agar ketika kita menerima pukulan, kekecewaan, dipecundangi, atau tertipu,kita tetap dapat melakukan self talk dengan diri sendiri, juga berdiskusi dengan orang lain. Inilah cikal bakal intoleransi dari pemikiran kita.
Kita adalah modal kebinekaan, yang asal-muasal kebinekaan itu harus datang dari pribadi masing-masing individu. Kita perlu tahu bahwa kebinekaan kita tidak dipunyai oleh banyak negara, dan ini adalah modal kita. Kita perlu mencari cara menyatukan hati dan maju dalam kebinekaan, bukan mundur atau belok.
Aktiflah berpolitik
Banyak orang merasa bahwa politik itu kotor dan ekstrem sehingga mereka menjadi apatis, dan hanya mau tahu kulit-kulitnya saja. Bahkan, terkadang, orang menjadi anggota partai hanya karena warna logonya, agama yang dianut, atau bersimpati pada pemimpinnya tanpa memahami apa idealisme partai, atau misi yang didukung. Alhasil, makin lama partai, atau kelompok sosial lainnya hanya terdiri atas individu-individu yang berpikiran sempit.
Kita, sebagai warga negara harus bersikap proaktif, tidak hanya reaktif, memahami pandangan yang berbeda-beda. Dari sinilah nantinya kita akan menemukan common ground sehingga kemudian bisa memikirkan kebaikan bersama, sambil tetap menghormati kepentingan dan ideologi masing-masing individu.
Dimuat dalam KOMPAS, 19 November 2016