HAMPIR semua rakyat Indonesia kagum ketika Sri Mulyani bersedia meninggalkan jabatan bergengsi tingkat international dengan gaji berpuluh kali lipat untuk datang kembali mengemban tugas negara sebagai menteri. Pastinya ia menyadari risiko dan besarnya tanggung jawab yang harus dipikul, mulai dari utang negara, pembiayaan, hingga tidak tercapainya pendapatan pajak. Kita bisa kagum, tetapi mungkin bertanya-tanya apa yang membuat beliau mau meninggalkan kenyamanan dalam pekerjaannya saat ini untuk terjun dalam situasi yang jauh lebih menantang ini?
Contoh lain,Ahok, Gubernur DKI sekarang, yang tanpa lelah melakukan perbaikan yang tidak selamanya populer. Bahkan, mendapat protes dari beberapa kelompok tertentu. Bisakah kita membayangkan kekhawatiran keluarganya dan mungkin bisa saja ada anggota keluarganya yang bertanya apa sih yang dia cari dari jabatan ini? Apakah mungkin beliau gila “power”? Apakah kita melihat adanya indikasi ke arah situ ? Atau, justru semata-mata tindakan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan masyarakat.
Kebanyakan orang memang berpolitik, berusaha keras, baik halal maupun tidak halal untuk mendapatkan jabatan tertentu. Oleh karena itu, banyak yang menyelenggarakan pesta syukuran ketika terpilih menduduki suatu jabatan, sebelum melakukan sesuatu dan bisa jadi tidak sadar akan tanggung jawabnya. Namun, di sisi lain, ada segelintir orang yang memilih posisi atau jabatan yang memang penting strategis dan bisa dikatakan bergengsi meskipun ia memiliki pilihan lain yang bisa jadi tidak kalah bergengsi dan memiliki risiko yang lebih kecil.
Mengapa ada orang yang memilih jalur karier dan jalan hidup yang lebih sulit dan keras? Apakah yang dilakukan bermakna untuk mutu kehidupan yang lebih baik? Apakah fokus dalam hidupnya memang ke kontribusi dan meninggalkan legasi yang signifikan? Apakah tindakannya terasa artinya bagi kita dan orang di sekitar kita?
Menentukan yang terpenting dalam hidup
Banyak gejala yang membangkitkan pertanyaan yang tiada henti. Mengapa orang mengejar jabatan sampai rela menyuap? Mengapa orang menjadi demikian serakah akan harta, jauh melebihi apa yang mampu ia habiskan? Di sisi lain, mengapa orang memilih bekerja di tempat yang berisiko, dengan upah yang mungkin tidak sepadan?
Seorang pemilik perusahaan travel, pernah menghitung berapa upah yang dibayarkan perusahaannya sendiri kepada dirinya yang bekerja hampir 20 jam sehari. Ia hanya mendapat upah 35 sen dollar AS per jam. Upah yang sangat minim ini dipilihnya untuk merealisasikan mimpinya yang lebih besar daripada sekadar mencari uang. Sekarang, perusahaannya sudah mencapai nilai 100 juta dollar AS di pasar modal dan menawarkan paket-paket wisata cinta lingkungan.
Mengenai pemilihan jalan hidup dan karier ini, Frederick Nietzsche, filsuf Jerman, mengungkapkan, ”He who has a why can endure any how.” Individu yang dewasa, seyogyanya sudah mempertanyakan pada dirinya sendiri, mengapa ia mengambil pilihan nilai, makna tertentu dalam hidupnya. Ia sudah menemukan jawaban demi apa ia berjuang menelusuri pilihannya, menghadapi konflik, dan menembus kesulitan.
Menurut Nietsche, dengan berpegang pada alasan yang kuat, individu bisa lebih kuat mencapai sasarannya yang membuatnya lebih mudah menikmati hidup karena ia tahu apa yang ia cari. Ia bisa menjadi lebih tangguh, tahan banting dan lebih berani mengambil risiko. Sebaliknya, orang yang tidak pernah mempertanyakan alasan pilihan hidupnya, bisa dikatakan menjalankan hidup demi survival. Ia bersaing, berebut, berjuang, berbisnis, berpolitik ikut-ikutan dan bertahan, tanpa alasan yang jelas. Ia tidak banyak melibatkan akal budinya sebagai manusia untuk berefleksi, menyadari alur karier dan hidupnya, mencari alasan pilihannya, dan menentukan sasarannya.
Membuat hidup lebih hidup
Masing-masing dari kita, apapun profesi dan status sosialnya, perlu membuat diri lebih “bahagia” dan menikmati kehidupan. Di sinilah kita perlu mengenal apa yang bisa membuat kita lebih bersemangat yang membuat potensi kemampuan kita bisa teraktualisasi.
Orang yang tidak realistis, hanya bermimpi tentang sesuatu yang tidak mungkin diraih dengan kekuatannya, akan frustrasi dan akhirnya bingung. Dalam hidup ini, kita pun tidak lepas dari kewajiban mengukur diri dan melihat sejauh mana makna hidup yang dikejar sudah tercapai.
Penemuan makna hidup biasanya tidak bersifat material. Apa pun profesi dan aktivitas kita, kita bisa menarik makna yang positif dari setiap kegiatan, terlepas dari cukup tidaknya upah yang didapat. Kita pun bisa mendapatkan pengayaan dari cara kita melakukan pekerjaan kita. Seorang pramusaji restoran yang bisa menikmati dan menyempurnakan cara membawa piring, cara membuka botol, dan cara menerangkan menu dengan tepat sehingga pelanggan puas, bisa pulang dengan lelah tetapi tersenyum bahagia. “Purpose is not about what we do and how fast we do it, but why we do it, and how we do it.”
Dimuat dalam KOMPAS 6 Agustus 2016