Seorang teman bercerita betapa pimpinannya peduli pada pengelolaan manusia di organisasinya. Ia kerap diminta untuk menghadiri seminar maupun pelatihan mengenai pengelolaan manusia. Ia juga fasih ketika berbagi cerita mengenai kasus–kasus human capital yang ada di berbagai organisasi.
Namun, pertanyaan sebenarnya adalah sejauh mana berbagai pelajaran pengelolaan SDM yang kita dapat melalui berbagai seminar dapat benar-benar kita terapkan di dalam organisasi? Apakah program–program SDM yang konvensional semisal compensation and benefit yang mumpuni di perusahaan bisa serta-merta diterapkan dalam organisasi kita dan berbuah sukses? Bagaimana dengan kaum milenial yang sekarang sudah tidak mementingkan gaji lagi? Apakah cerita mengenai bagaimana Google membangun kantor impian yang menyediakan makanan dan laundry gratis bila diterapkan di kantor kita? Apakah hal itu akan membuat produktivitas meningkat dan performa organisasi melejit?
Tidak ada satu pun resep yang sungguh tokcer untuk meningkatkan performa organisasi yang berkaitan dengan manusia-manusia di dalamnya. Google menerapkan proses analisis data yang sangat kuat setiap kali mereka ingin mengambil sebuah kebijakan. Apakah itu pemberian bonus, penambahan waktu cuti hamil, bahkan sampai kepada seberapa panjang meja di kantin seharusnya dibuat untuk mendorong interaksi antarkaryawan pada jam makan siang. Departemen HR menjadi sebuah departemen yang sangat sibuk untuk mengolah big data atas individu-individu yang berada di dalam organisasi sehingga mereka yakin betul bahwa berbagai kebijakan yang diambil dan investasi yang diberikan akan benar-benar memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Pada masa-masa awal, ketika Google percaya bahwa menemukan manusia yang tepat itu sangat penting bagi organisasi, Google membuat kebijakan di mana setiap orang harus bisa mewawancarai seorang kandidat. Hal ini berbuah kepada proses rekrutmen yang cukup panjang dan melelahkan, yang mana malah bisa membuat kandidat yang potensial kemudian meninggalkan proses tersebut di tengah jalan. Karena itulah Google kemudian melakukan penelitian tentang berapa kali seharusnya seorang kandidat melewati proses wawancara untuk mendapatkan hasil yang valid.
Todd Carlisle, pemimpin perekrutan di Google kemudian menganalisis lusinan data keputusan perekrutan yang ada di Google serta nilai yang diberikan oleh para pewawancara setelah mereka melakukan proses wawancara. Akhirnya, ia menemukan bahwa skor rata-rata yang sesuai dengan nilai akhir individu sebenarnya bisa didapatkan setelah terjadi empat kali proses wawancara. Bahkan, skor individu umumnya malah cenderung menurun setelah wawancara yang ke empat. Dengan dasar pengolahan data berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan inilah keputusan kemudian diambil. Proses wawacara dipersingkat sehingga proses perekrutan menjadi lebih cepat. Proses yang berlangsung dalam pengelolaan SDM dilaksanakan secara serius, dan bahkan diriset dengan serius, sebagaimana mereka mengembangkan produk-produk Google yang selalu bertambah. Mengapa?
Perusahaan bukan produsen lagi, tetapi laboratorium
Tidak dapat dipungkiri lagi, kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi salah satu faktor pendorong perubahan saat ini. Belasan tahun lalu Facebook belum ada. Sepuluh tahun sebelumnya bahkan belum ada orang yang membayangkan bagaimana internet bisa membuat manusia secara real time mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia tanpa harus bergeser dari tempatnya. Pengelolaan manusia pun tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan teknologi ini. Departemen HR dan IT menjalin hubungan yang memperkuat satu sama lain, untuk membuat semua proses dalam organisasi bergerak selaras sehingga tidak akan ada proses yang tertinggal.
Dalam dunia yang begitu volatile, unpredictable, complex dan ambigu ini, jawaban hari ini belum tentu masih valid untuk diterapkan esok hari, mengingat tantangan yang ada pun sudah berubah dengan cepat. Semua bagian dalam organisasi terpaksa berubah, apakah bidang pemasaran, penjualan, akunting, keuangan, maupun produksi. Organisasi haruslah melihat dirinya bagaikan sebuah laboratorium hidup yang terus menerus menguji ide, melakukan eksperimen secara konsisten. Bagian-bagian ini juga perlu saling menyeimbangkan irama geraknya sehingga organisasi secara keseluruhan dapat berubah dan bergerak maju.
Hubungan antara karyawan dan organisasi pun sudah mengalami pergeseran. Tengok bagaimana kaum milenial sudah berubah minat dan tidak lagi melihat korporasi besar dengan selera yang menggebu-gebu. Cara yang bisa ditempuh organisasi untuk bisa bertahan dalam perubahan ini adalah untuk terus-menerus mengulang dan mengkaji siklus proses, bereksperimen secepat dan sesering mungkin.
Apa rencana kita dalam 5 tahun ke depan?
Yang jelas, kita yang berada di organisasi, harus bertanggung jawab menghadapi percepatan perubahan secara tim. Kalau dulu kita masih bisa memikirkan pencapaian target bagian sendiri, batas antara divisi harus ditembus. Kita perlu menyatukan pikiran untuk melakukan brainstorming, kalau perlu setiap hari. Kita perlu mengeluarkan ide terus menerus, tidak pernah merasa puas, dan merasa sudah selesai. Ide perlu dites, dites ulang, disanggah, dibuktikan kebenarannya, dan diujicobakan. Lalu, ide yang dianggap berpeluang besar untuk sukses harus segera diimplementasikan.
Namun demikian, mengambil keputusan-keputusan strategis terkait dengan masalah manusia memang tidaklah mudah. Banyaknya variabel yang mempengaruhi perilaku manusia mensyaratkan kita untuk mengambil kebijakan berdasarkan data yang obyektif dan terukur. Asumsi tak teruji, bias-bias personal dan subyektifitas harus dapat diatasi dengan melakukan pengkajian data secara sistematis dan analitis. Manusia memang bukan robot, tetapi semakin lama semakin kita bisa mendapatkan data obyektif mengenai perilakunya.
Dimuat dalam KOMPAS, 16 April 2016