was successfully added to your cart.

HIRING FOR ATTITUDE

HIRING FOR ATTITUDE

"COBA ceritakan pada saya tentang kelebihan dan kelemahan Anda”. Pertanyaan standar semacam ini begitu sering terdengar dalam sesi wawancara. Beberapa kandidat berhasil menjawab pertanyaan ini dengan lancar, diplomatis, dan penuh rasa percaya diri. Namun, tidak sedikit pula kandidat yang tergagap-gagap bahkan diam seribu bahasa menghadapinya. 

Ada pula kandidat yang lebih mudah bertutur tentang kelemahan dibandingkan kelebihannya. Terkadang respons semacam ini dibumbui dengan kata-kata “yah orang lainlah yang bisa menilai kelebihan saya, bukan saya”. Sebuah respons yang bisa mencerminkan budaya sungkan atau bisa jadi sebenarnya adalah ketidaktahuan akan pengenalan diri. 

Namun, pertanyaan sesungguhnya adalah sejauh mana kita memahami apa keunggulan yang dapat membawa kita menang dalam kompetisi? Dunia kerja, organisasi, dan proses bisnis harus menyeleksi orang terbaik sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Apalagi dalam era persaingan yang semakin ketat, ketika pintu Masayarakat Eknomi ASEAN sudah terbuka lebar, ketika kontribusi unik setiap individu dalam proses bisnis menjadi semakin penting. Apakah saya siap berkompetisi? Kemampuan apa yang saya bisa jual? Keterampilan-keterampilan apa yang saya perlu kuasai? Sikap-sikap seperti apa yang bisa mendukung keberhasilan saya? Perilaku apa yang saya perlu modifikasi untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan? Kualitas macam apa yang dicari oleh perusahaan-perusahaan incaran saya? 

Kita perlu tahu modal apa yang kita punya dan bagaimana memberdayakannya secara maksimal. Dalam dunia pendidikan kita selalu mengalami ujian berupa pengetahuan kognitif saja. Indeks prestasi yang kita dapatkan lebih banyak menggambarkan apa yang kita tahu ketimbang apakah kita menerapkan pengetahuan tersebut dan membuat perubahan. Mengapa kadang ada sindirian bahwa mereka yang memiliki nilai baik di sekolah kadang malah kalah sukses dibandingkan dengan rekannya yang selama sekolah biasa-biasa saja?

“Attitude”

Zappos dalam program penerimaan karyawan barunya selalu menanyakan kepada para karyawan yang sudah mengikuti masa orientasi selama kurang lebih 1 bulan, apakah mereka yakin bahwa mereka secara pribadi memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan nilai organisasi. Bagi Zappos, sikap dan nilai individu jauh lebih penting daripada pengetahuan kognitif mereka. Zapos bahkan memberikan kompensasi yang cukup besar bagi mereka yang akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri bilamana mereka merasa bahwa sikap dan nilai pribadi mereka berbeda dengan tuntutan organisasi. Alasan Zappos melakukan ini semata-mata karena memiliki karyawan dengan sikap yang tidak sejalan dengan tuntutan organisasi malah akan memberikan kerugian yang lebih besar di masa mendatang.  

Kerugian yang sebenarnya tidak hanya diderita oleh organisasi, tetapi juga oleh individu karena tentunya ia tidak dapat menunjukkan performanya secara optimal dan menunjukkan prestasi pribadinya yang pasti bisa semakin menaikkan nilai jualnya di mata organisasi. Psikolog Carol Dweck dari Stanford University menemukan bahwa merupakan prediksi kesuksesan yang juga jauh lebih besar dibandingkan IQ. Menurutnya, ada 2 perbedaan yang sangat signifikan dari mereka yang memiliki fixed mindset di mana individu-individu ini merasa bahwa mereka sudah demikian apa adanya dan merasa frustrasi dengan tantangan perubahan, dibandingkan dengan mereka yang memiliki growth mindset. Individu dengan growth mindset bisa jadi jauh lebih sukses bahkan meskipun mereka memiliki IQ yang lebih rendah karena mereka percaya bahwa setiap tantangan merupakan kesempatan bagi mereka untuk belajar. Bagaimanapun kita memang melihat bahwa dunia kerja begitu berbeda dengan apa yang kita pahami di bangku kuliah.

Membangun “growth mindset”

Mereka yang memiliki growth mindset bukanlah mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear,” kata pemimpin besar Nelson Mandela. 

Mereka yang memiliki growth mindset akan memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka. Mereka tidak takut, untuk bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat dibandingkan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan. Berapa kali pun mereka jatuh, mereka tetap percaya bahwa pada akhirnya mereka akan berhasil. Mereka juga sadar bahwa kesuksesan di masa lalu biarlah tetap ada di masa lalu karena bisa saja sudah usang ketika mereka bangun pada hari ini. Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts - Winston Churchill. 

Dimuat dalam KOMPAS, 26 Maret 2016

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com