Setiap pemimpin perusahaan mungkin pernah mengeluh penuh kekecewaan, ”Ini masalahnya di manusia-nya”. Pada saat itu biasanya semua orang akan menengok ke divisi PSDM yang lagi-lagi menjadi tertuduh, karena dianggap tidak menyiapkan manusia yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Lagi-lagi “the right man, in the right place“, ditambah “at the right timing” kemudian menjadi bahan diskusi yang menarik diperbincangkan. Namun, sesungguhnya masalah pengembangan talenta sudah mulai disorot sejak era 1950-an.
Ada dua macam pendekatan yang lazim dilakukan oleh perusahaan. Pertama, dengan merekrut orang-orang yang rasanya bisa dipercaya dan dibiarkan untuk berkembang bersama pekerjaannya. Pada kenyataannya, kita mengenal istilah “orang-orang lama” yang sudah dengan setianya berkontribusi dan berkembang bersama perusahaan. Pendekatan yang kedua adalah upaya membuat birokrasi dan menjadikan organisasi sebagai bangunan beranak tangga banyak sehingga setiap individu dalam organisasi berusaha meraih anak tangga berikutnya, bila ia ingin maju dan menggapai aspirasi kariernya. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, beberapa perusahaan memilih untuk melembagakan proses pendidikan, sehingga muncul istilah-istilah: perusahaan-perusahaan akademis, di mana belajar kemudian menjadi kegiatan utamanya.
Demikian populernya pendidikan dalam perusahaan-perusahaan ini, sampai kadang orang lupa bahwa manajemen aset ini bukanlah tujuan utamanya, melainkan sebuah cara agar perusahaan selalu mempunyai ketersediaan aset yang sesuai ketika organisasi memerlukannya. Tambahan lagi, sampai sekarang seolah tidak ada formula yang tepat dalam mengelola manusia ini. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang tergolong akademis tadi, pada akhirnya kewalahan menangani banyaknya calon manajer yang sudah melewati berbagai jenjang pendidikan tinggi. Padahal, mana mungkin perusahaan berjalan dengan kondisi too many chiefs, and not enough indians? Apalagi, jika ternyata para manajer yang paling berkualitas pun mulai meninggalkan perusahaan almamaternya, karena merasakan bahwa di puncak organisasi mereka terlalu berdesakan, bergesekan dan bersaing satu sama lain.
Kenyataan lainnya, sesuai dengan tuntutan zaman, sebuah perusahaan, terlepas dari upaya pendidikan internal yang telah dikembangkannya, tetap membutuhkan tenaga tenaga spesial dari luar. Para headhunters di luar organisasi kemudian menaikkan harga karena kandidat-kandidat unggul yang diperdagangkan pun semakin langka. Para pendatang baru dari luar ini kemudian dirasakan oleh “orang-orang dalam” sebagai penghambat promosi mereka. Mereka menambah situasi persaingan menjadi semakin ketat.
Jadi, kita bisa merasakan bahwa manajemen talenta ini bisa pada suatu saat menghasilkan surplus talenta, tetapi di saat berikutnya akan menghadapi kondisi paceklik lagi. Yang jelas, memang talent management is not an end in itself. Manajemen talenta bukan sekedar perihal mengembangkan karyawan, maupun membuat rencana suksesi belaka. Juga bukan cuma perihal menjaga angka turnover dan menjalankan upaya manajemen taktis. Mungkin kita justru perlu belajar dari ilmu manajemen lain, untuk mengelola talenta dengan lebih baik, sesuai dengan kebutuhan bisnis aktual.
“Supply” dan “demand” di saat yang tepat
Konsentrasi perusahaan ke manusia memang sering dikalahkan oleh fokus pada bisnis. Sejak 1950-an, manajemen supply chain sudah berkembang demikian pesat. Perusahaan tidak me-maintain gudang gudang raksasa lagi. Perusahaan retail Zara yang merajai bisnis fashion, justru bermain supply dan demand dengan cantik, secara global. Cara manufaktur just in time sudah diantisipasi setiap stakeholder perusahaan.
Nah, apakah kita tidak memulai juga memikirkan cara baru mengelola talenta? Pernahkan kita melalukan forecast kebutuhan manusia dengan teliti? Pernahkah kita memikirkan cara yang paling murah dan cepat untuk menjadikan karyawan agar berkualitas lebih baik? Pernahkah kita berfokus pada timing ketika kita memikirkan suksesi, promosi dan mutasi? Pernahkan kita mengantisipasi bottlenecks dalam SDM?
Pernahkah kita meningkatkan akselerasi dengan berusaha mencari cara mengembangkan manusia dengan lebih cepat dan menghindari salah suplai? Adakah kita mampu mengantisipasi situasi bisnis yang berubah-ubah, dengan melihat tren yang berlaku, menjalin komunikasi intensif dengan para user, lalu memilih strategi yang tepat sehingga kita tidak over atau undersupply? Adakah mampu menimbang dengan tepat dan cepat antara pilihan mengembangkan aset internal atau membawa aset baru dari luar ke dalam?
Bergumul dengan “uncertainty”
Seperti halnya perusahaan-perusahaan produksi yang sudah tidak bisa mengandalkan rekanan dengan abadi, dalam mengelola manusia kita pun perlu mencoret keabadian dari kamus pengembangan SDM kita. Bahkan, kita perlu beradaptasi dengan mentalitas muda anak-anak milenial yang lebih dinamis daripada tenaga kerja di dekade-dekade yang lalu. Dari segi kebutuhan, kita semua tahu bahwa kebutuhan pasar dan teknologi yang berubah cepat menuntut demand yang sering berbeda daripada apa yang direncanakan. Alih-alih membuat rencana jangka panjang, tantangan global saat ini mendorong kita untuk membuat rencana jangka pendek. Namun demikian, dari segi suplai, pun kita tetap harus berhati-hati dengan investasi yang kita tanamkan pada SDM kita karena bisa saja di kemudian hari bukan kita yang akan memetik hasilnya.
Yang jelas, kita tidak bisa mengganggap bahwa SDM itu salah satu unsur kecil saja di samping unsur-unsur lain dalam bisnis. SDM adalah komoditi, aset yang paling utama, dan tambahan lagi, ia bergerak, mempunyai fire, faith, dan focus yang sulit diperhitungkan. Kita perlu menyadarkan seluruh jajaran, termasuk karyawan bahwa talent management is an investment, not an entitlement. Kita perlu menyadarkan para karyawan bahwa manajemen merasakan dan waspada terhadap adanya uncertainty. Kita perlu mengajak sebanyak banyaknya karyawan melakukan manajemen risiko terhadap aset manusia. Demikian pula, investasi pendidikan yang mahal perlu disadari, kalau perlu dihemat melalui sharing, coaching on the job yang intensif, belajar bersama sehingga investasi tidak perlu cash. Visi dan minat "employee-employer" pun tidak boleh jomplang. Baik karyawan maupun perusahaan perlu membayangkan masa depan yang sama.
Dimuat dalam KOMPAS, 30 Januari 2016