Teman saya, CEO, sekaligus pemilik perusahaan yang sukses, tetap tidak happy dengan kebiasaan, respon, dan komitmen karyawannya. Menurutnya, karyawan lebih bersikap seperti robot, tidak berinisiatif. “sudah diberi pengertian, tetap bebal dan seolah tidak mengerti maksud saya”. Hal tersebut yang menyebabkan ia merasa kesepian dan sering terlihat cemberut, lantaran merasa perlu menarik pedati perusahaan yang berat, tanpa dukungan positif dari para bawahannya. Tambahan lagi, ia memang tidak “sehati’ dengan bawahannya.
Pada saat bawahan berfoto foto merayakan event kecil, sebagai atasan ia menganggap bahwa bawahan terlalu banyak bercanda. Teguran kecil mengenai perbedaan persepsi ini segera melunturkan “rasa” bawahan. Biasanya para karyawan akan beringsut kembali ke meja dengan rasa kecut, segan, dan sedikit bersalah, dan bekerja lagi.
Bagaimana rasa yang mewarnai pekerjaan tersebut? Mungkinkah karyawan produktif dan bahkan berinisiatif melakukan perbaikan, dan berinovasi dalam suasana hati begini? Olok-olok getir teman teman di kantornya, ”Bukankah di gambaran kultur perusahaan kita tidak ada tulisan have fun?” Sekarang pertanyaannya, bila orang bekerja tanpa rasa fun, akan dikemanakan emosinya selama bekerja? Apakah ia harus bekerja dengan diwarnai rasa takut? Atau akankah ia benar-benar tidak membawa emosinya di pekerjaan?
Di saat saat ekonomi sulit, ketika bisnis mengalami banyak perubahan dan perusahaan semakin sadar akan pentingnya knowledge workers, banyak perusahaan yang sangat yakin bahwa emosi karyawan sangat perlu ditumbuhkembangkan. Ada perusahaan yang mengganti mesin absensi dengan mesin emosi. Tujuannya untuk melihat level of happiness karyawan secara keseluruhan dan mendeteksi karyawan yang tidak merasa happy, agar kemudian dapat dilakukan langkah konkret untuk mengatasinya.
Perusahaan seperti ini menganggap emosi sebagai bagian sentral dari kinerja perusahaan. Banyak perusahaan yang terbukti sudah berhasil menguasai kinerjanya dan bertahan dalam iklim bisnis yang volatile ini. Bahkan, perusahaan seperti PepsiCo, Southwest Airlines, dan Zappos terang-terangan mencantumkan unsur caring di dalam gambaran budaya perusahaannya. Cisco, perusahaan network terbesar saat ini, berusaha bersaing dengan perusahaan-perusahaan start ups, juga berusaha untuk melakukan survey perasaan ini.
Kultur kognitif dan emosional
Banyak orang yang tahu, bahkan ahli dalam mengulik budaya perusahaan. Biasanya, orang lebih mengaitkan budaya ini dengan budaya kognitif. Yang dianggap sebagai budaya adalah nilai-nilai intelektual, norma, dan artefak. Ini semua kognitif. Namun bila kita menelaah ekspresi dalam berbicara, atau menyervis pelanggan, kita tidak bisa lepas dari emosi.
Bila kita sedang menyeragamkan dan menyosialisasikan nilai-nilai korporasi, biasanya pun kita akan melakukannya melalui poster-poster, ceramah-ceramah, ataupun lagu-lagu. Kita sering lupa bahwa ada unsur afeksi yang tak boleh terabaikan. Ekspresi afeksi, sering kali tidak dilakukan melalui kalimat-kalimat yang canggih, di poster-poster, tetapi justru tampak pada tanda-tanda nonverbal, seperti body language dan ekspresi wajah. Saat ini, para milenial adalah contoh kongkret bagaimana unsur afeksi mempengaruhi kinerja. Mereka tidak bisa “jalan” tanpa rasa. Masa kini juga sudah menjadi masa revolusi afektif. Kita tidak mungkin tidak memperhitungkan hal tersebut karena jika demikian yang kita dapatkan pasti hanyalah sebagian kecil kinerja karyawan.
Apalagi kalau kita bekerja di bidang jasa, pelayanan, bahkan kesehatan, di mana orang sakit perlu ditangani dengan rasa kasih yang lebih, di mana keterampilan mendengar bisa meredakan gemuruh amarah dan keluh kesah, dan ketika sesungging senyum pun mampu memberikan warna yang menentramkan. Riset para psikolog dalam 10 tahun terakhir sudah membuktikan bahwa afeksi berpengaruh pada kepuasan kerja, kerja tim, dan stres. Bahkan, laba rugi perusahaan pun pada akhirnya dapat terpengaruh. Itulah alasan mengapa Amazon membeli Zappos yang terkenal sebagai perusahaan yang mengembangkan kutur emosionalnya, dan kemudian di tahun lalu menjadi pencetak keuntungan terbesar.
Menyelami manusia ke alam subsadar
Emosi dan rasa memang bisa ditekan, bahkan disembunyikan. Namun, terbentuknya emosi massal ini justru bermula dari kumpulan micromoments yang bertumpuk dan bersaling silang. Edgar Schein, professor di MIT’s Sloan School mengatakan bahwa kultur itu berlapis tiga. Dimulai dari hal-hal yang mudah diamati seperti dress code, arsitektur, bahasa, dan produk. Lalu berlanjut pada nilai-nilai yang diyakini dan diekspresikan bersama. Namun, di level terdalam jusutru bergerak pula asumsi-asumsi dasar yang berlaku dan pola-pola perilaku yang tidak disadari.
Hal-hal tak teramati tersebut dapat berpengaruh besar pada nuansa emosi dalam organisasi. Para pemimpin dapat mempromosikan kultur emosi yang baik ataupun buruk lewat tutur kata dan perbuatan tanpa dia sendiri menyadarinya. Ekspresi wajah maupun bahasa tubuh dapat mengomunikasikan emosi yang sesungguhnya, entah itu ketakutan, optimisme ataupun kehangatan. Nuansa emosi positif juga bisa tercipta oleh inisiatif-insiatif kecil, tindakan-tindakan sederhana yang membangun hubungan penuh makna antarmanusia di dalam organisasi. Sapaan hangat, pintu yang selalu terbuka, pujian tulus atas prestasi bawahan, atau sekedar menanyakan kabar keluarga akan sangat berharga. Contohnya, ketika Pak Presiden tidak mau membedakan makan tamu agung dengan makan jamuan para sopir ojek, kita bisa membayangkan betapa para hadirin merasakan kegembiraan.
Sebaliknya, emosi negatif juga bisa tercipta dengan cara yang sama sederhananya. Mengapa ada orang yang dikucilkan dari kelompok? Mengapa orang tega melakukannya? Mengapa rasa hormat harus terpaku pada jabatan bukan pribadi seseorang? Mengapa makan bersama yang memang menghangatkan suasana, tetapi direksi atau keluarga owner tega-teganya memisahkan tempat makan, walaupun katakanlah makanannya sama? Ada 135 jenis emosi yang bisa dikenali manusia. Sudahkan kita menggali dan memanfaatkannya demi kemudahan komunikasi dan berlipatgandanya semangat serta keuntungan perusahaan? Atau, sebaliknya, kita mengabaikan pentingnya elemen rasa dan tindakan positif meski sederhana karena kita berpikir bahwa persetujuan intelektual terhadap nilai-nilai perusahaan sudah lebih dari cukup?
Dimuat dalam KOMPAS, 16 Januari 2016