was successfully added to your cart.

TUNA ETIKA

Oleh 21 Desember 2015 Articles
TUNA ETIKA

Diskusi mengenai etika memang selalu menarik. Apalagi dalam dunia bisnis maupun persaingan politik di mana kepantasan etika rasanya semakin lama semakin dilupakan orang. Menyebutkan kejelekkan kompetitor secara terang-terangan di dalam iklan seperti sudah biasa. Demikian pula dalam dunia medis maupun profesi lainnya, ketika ada seorang psikolog yang dengan santai menceritakan analisanya kepada wartawan mengenai status mental calon tersangka yang diperiksanya, kita jadi bertanya-tanya, apakah kondisi kesehatan pasien boleh menjadi konsumsi publik seperti itu.

Dalam organisasi, tidak jarang kita dapati calon karyawan yang membuka rahasia perusahaan lama dalam proses wawancara demi menarik hati atasan barunya. Banyak orang yang berargumentasi bahwa hal yang ia lakukan ini bukanlah tindakan kriminal. “Saya toh tidak melanggar hukum,” demikian argumentasinya. Praktik sabet-menyabet bisnis ini serasa disahkan pula oleh kegiatan business intelligence. 

Sebenarnya apa yang menjadi dampak dari pukul-pukulan yang semakin kasar ini? Saya pribadi merasa bahwa semakin lama kita jadi semakin kehilangan harkat kita sebagai manusia lagi, sebagaimana yang dikatakan Buya Maarif melalui pengamatannya terhadap praktik money politics di negara kita: ”Praktik politik tunamoral yang gamblang dipertontonkan seperti saat ini hanya akan melahirkan kebiadaban dan kerakusan yang semakin menjadi-menjadi.” Pertanyaannya, bisakah kita melakukan sesuatu terhadap kemerosotan etika, yang menurun secara perlahan tetapi pasti ini?

Banyak keputusan-keputusan para eksekutif negara yang berdampak besar ke rakyat dan kepada masa depan negara, tetapi tidak dilandasi atas kepantasan etika yang tepat. Baik itu yang menyangkut aturan hukum, aset negara maupun kesejahteraan umum. Betapa keputusan manajemen perusahaan raksasa, seperti Lapindo yang menyebabkan ribuan orang menderita kehilangan pekerjaan dan rumah tempat tinggalnya, serta dampak yang besar terhadap lingkungan. Kita melihat banyak ketidakpantasan yang jelas-jelas ekstrim, tetapi tidak pernah ada tindakan tegas yang diambil untuk melawannya, seolah-olah ada keraguan terhadap benar salahnya hal-hal yang pantas dan tidak pantas. Inilah yang bisa kita sebut sebagai kemerosotan etika. 

Siap untuk tidak populer

Kita sering melihat orang-orang yang tajam melakukan kritik-kritik terhadap pemerintah di berbagai jalur media sosial. Fenomena seperti ini juga sering kita lihat di kalangan para mahasiswa yang semenjak peristiwa 98 tampaknya semakin aktif dan berani menyuarakan pendapatnya demi kepentingan rakyat. Tidak sedikit dari para aktivis mahasiswa tersebut yang kemudian terjun ke dunia politik setelah mereka lulus dan memegang berbagai jabatan penting baik di partai maupun di pemerintahan. Nyatanya, berapa banyak dari mereka yang dulunya bersuara lantang kembali terdengar suaranya menyuarakan kebenaran ketika mereka justru memiliki kekuasaan? Jarang sekali kita melihat ada pejabat yang berani menghentikan di tengah jalan sebuah proyek yang dicurigai tidak dilaksanakan dengan aturan yang benar.

Pada tahun 2013, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menghentikan proyek flyover Kampung Melayu-Tanah Abang. Ahok bersikeras untuk mengaudit dahulu manajemennya, sebelum proyek dapat berjalan terus meskipun untuk itu ia ditegur oleh seorang menteri. Jarang sekali kita temui pejabat atau eksekutif yang ingin melihat, meneliti, dan mencari kebenaran sampai menindaklanjuti keputusan yang tidak populer. Bila masyarakat terdiri dari orang-orang yang membuang muka terhadap kesalahan, bukankah kemerosotan moral ini akan lebih lancar terjunnya? Albert Einstein pernah mengatakan, “The world is a dangerous place to live; not because of the people who are evil, but because of the people who don't do anything about it”.

Kualitas keputusan 

Kualitas kepemimpinan individu sebenarnya tidak selamanya dilihat dari hasil kerja, ataupun laba semata. Upaya mencapai target dengan menghalalkan segala cara bisa menjadi batu sandungan kepemimpinan seseorang. Boleh jadi hal ini disebabkan karena terdesaknya waktu, sikap pragmatis, tekanan-tekanan politis, atau lebih parah lagi memang dilatarbelakangi niat korupsi.

Dalam kondisi seperti ini, ketimbang melakukan upaya upaya memperbaiki etika dengan mendatangkan pakar, merancang pelatihan maupun memperbaiki program program compliance, lebih baik memantapkan kekerasan hati masing-masing individu untuk menjaga mutu keputusan yang dibuat, dan selalu mempertimbangkan apakah keputusan tersebut juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan dampaknya di masa depan selain menuju pada sasaran bersama.

Sulitkah melakukan ini? Rasanya tidak. Sepanjang, pemutus, selain menguasai masalah, juga berhati bersih, mendengarkan nuraninya dan selalu tetap mempertimbangkan kebajikan di dalam keputusannya, keputusan pasti akan cenderung berkualitas. Presiden pun memberi pernyataan yang jelas sekali, mengenai perilaku etis tidak etis ini, "Wibawa, kepatutan, kepantasan, etika dan moralitas yang merupakan wibawa negara, perlu dijaga.”

Dimuat dalam KOMPAS, 19 Desember 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com