was successfully added to your cart.

DINAMIKA KOMPETENSI

DINAMIKA KOMPETENSI

Organisasi berubah, lingkungan pun berubah. Pasar yang tadinya membeli barang atau jasa tanpa banyak pertimbangan, sekarang menjadi lebih pintar berbelanja karena informasi tentang produk bukan lagi monopoli penjual. Ini bukan terjadi di sektor tertentu saja. Di semua bidang, ada teman atau lawan yang bisa bergerak lebih cepat dari kita. Keadaan ini ada yang disadari dan ada pula yang dibiarkan oleh organisasi sampai berlarut-larut sehingga tanpa sadar organisasi terkena proses penuaan yang dipercepat. Disinilah sebenarnya organisasi harus secara  progresif dan berkala meninjau kembali kekuatan SDM-nya. Perlu selalu dipertanyakan, apakah kompetensi karyawan tetap up-to-date dengan perubahan yang ada? Kita perlu mengecek, apakah karyawan yang sepuluh tahun lalu begitu cemerlang berperan dalam kesuksesan organisasi masih tetap bersinar untuk menghadapi kemajuan dan kompetisi di masa mendatang? Tidak jarang kita temui individu yang tiba-tiba kehilangan keahliannya manakala ia dituntut untuk berperan lebih banyak, mengemban tanggung jawab lebih besar. Padahal ketika merekrut, kita yakin bahwa kelaknya ia akan menjadi pemimpin yang mumpuni. Wawancara seputar kinerja masa lalu sering dianggap bisa memprediksi kesuksesan di masa mendatang. Namun rupanya ada banyak faktor yang perlu kita sadari "beyond" kompetensi ini. Banyak juga bukti yang menunjukkan bahwa individu yang dulu pernah sukses tiba-tiba kempes kinerjanya ketika masih mencapai usia produktif yang jauh dari masa pensiun. Artinya faktor penyebab kesuksesan masa lalu tidak serta merta dapat diulang begitu saja untuk menghadapi masa depan dengan perubahan yang tidak bisa diramalkan ini.

Banyak organisasi merasa bahwa set kompetensi yang mereka miliki sudah mumpuni karena mengacu pada kompetensi yang dicetuskan oleh David McClelland 40 tahun yang lalu serta mencakup kompetensi yang up to date seperti EQ, judgement, integritas, global mindset, daya lenting, dan kemampuan belajar. Ternyata perusahaan sebelah pun membuat kompetensi yang kurang lebih sama. Artinya, tanpa kita sadari, kita pun melupakan peranan budaya perusahaan terhadap kesuksesan individu. Strategi perusahaan harus berubah untuk mengikuti perubahan lingkungan, keadaan pasar dan pelanggan. Para eksekutif diharapkan bukan sekedar fleksibel, namun juga mampu mengantisipasi perubahan ini bahkan go beyond dengan menciptakan perubahan itu. 

Mahluk pembelajar

Semua orang tahu bahwa knowledge is power. Mereka yang berwawasan lebih luas, lebih maju, dan lebih mendalam akan menjadi pembentuk masa depan. Namun kesadaran bahwa kita hidup di era “knowledge economy” tidak bisa hanya sekedar kita anggap sebagai hal yang "nice to know" saja. Tidak jarang sekarang, orang yang sudah banyak makan asam garam, dengan mudah dilangkahi oleh anak millenial yang hanya bermodal ponsel untuk mencari tahu dan mem-broadcast pengetahuannya. Dan ini bukanlah kenyataan yang fancy dan trendy. Kalau dulu kita masih mempertimbangkan lahan untuk berproduksi agraria, lalu mempertimbangkan teknologi di era otomasi, sekarang teknologi informasi yang tidak berlahan dan tidak perlu dipikirkan rumusnya sudah menguasai hidup kita. Filsuf Socrates sejak jaman dahulu sudah mengatakan, "To know, is to know that you know nothing. That is the meaning of true knowledge". Organisasi tidak bisa lagi hidup dan membayar tinggi karyawan yang "sudah tahu" dan tidak mau belajar lagi. Yang perlu dihitung adalah daya serap, daya olah, daya adaptasi, dan kreativitas para karyawannya. Itu pun perlu diwarnai kekuatan pribadi, kepemimpinan dan kemampuan bersosialisasi yang kuat. Dalam merekrut, mungkin deskripsi jabatan individu ini belum bisa dibuat apalagi di tegaskan, karena pekerjaan harus diciptakan terlebih dahulu. Itulah sebabnya di Google setiap karyawan diizinkan menggunakan 10% dari waktunya untuk mengulik sendiri pengetahuan dan passion-nya untuk menemukan cara, teknologi dan ide-ide baru. Untuk menciptakan pemimpin, Bank ANZ melakukan rotasi ekstrim di mana setiap calon pemimpin harus merasakan peran-peran kritis dalam bisnis, dan juga menyerap sebanyak-banyaknya aspek-aspek geografis, kultural, produk, pengalaman menghadapi klien serta internal audit untuk lebih memahami seluruh proses bisnis. Hasilnya, ANZ mendapatkan pemimpin-pemimpin muda yang bisa beradaptasi dengan baik ketika ditempatkan di berbagai negara

Menemukan "nilai"

Hal yang tidak pernah lekang dimakan jaman adalah nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah kita bisa melihat bahwa kaum Gen Y dan bahkan para milenial justru sangat kritikal dalam meng-engage dirinya dengan suatu organisasi. Individu muda, hanya akan bergabung pada organisasi yang mereka percaya bisa menjadi rumah aspirasinya. Dengan penetrasi teknologi di tempat kerja dan hubungan interpersonal banyak dimediasi  oleh teknologi, tetap saja soft skills yang menjadi primadona kompetensi, di mana keputusan-keputusan strategik dilakukan melalui kemampuan membangun chemistry dan intuisi hasil hubungan interpersonal. Masyarakat tetap perlu orang yang jujur, bisa diandalkan, bisa hidup dalam tekanan dan stres. Kita juga perlu memilih orang-orang yang memiliki nilai lebih "dalam", ketimbang sekedar pengejar uang semata. Kita mencari profesional yang menyukai kemajuan, tantangan dan mampu memberi value adding melalui pekerjaannya. Beginilah situasinya, dan tanpa kita sadari, dengan begini kita sudah mengadaptasi nilai nilai generasi Milenial. 

Dimuat dalam KOMPAS, 25 Juli 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com