was successfully added to your cart.

BERUBAH, MULAI DARI SIAPA?

Oleh 09 Maret 2015 Articles
BERUBAH, MULAI DARI SIAPA?

Semua orang menginginkan perubahan. Semua orang kagum melihat pejuang-pejuang perubahan berdiri di depan, berani mati untuk berubah. Banyak petisi yang didistribusikan meminta dukungan akan perubahan, perubahan yang diharapkan akan membawa pada kehidupan yang lebih baik. Namun kemudian kita juga bertanya tanya, apakah perubahan ini sudah dimulai mengingat gejolak penolakan dan resistensi juga terlihat makin kencang. Dari beragam gerakan anti korupsi, anti rekayasa sampai juga anti birokrasi di organisasi -organisasi, tidak kunjung terlihat  perbedaan nyata yang jelas. Lucunya, semangat berubah tetap ada. Namun disadari bahwa hal yang paling langka adalah bergerak, apakah dari orang-orang di sekitar kita, ataupun di lingkungan terdekat kita, bahkan diri kita sendiri. 

Pada sebuah lembaga yang terkenal alot berubah, salah satu top manajemen menginginkan adanya penelitian untuk mengetahui mengapa beberapa individu enggan untuk berada di lingkungan mereka bekerja saat ini. Ketika ditanya balik apakah pihak manajemen sendiri juga mawas diri akan kondisinya dan siap berubah, jawaban beliau sungguh normatif dengan  mengatakan bahwa program perubahan sedang digalakkan intensif.  Sungguh terasa bahwa perubahan itu tampaknya tidak menyangkut dirinya secara individual. Mengapa? Persepsi diri ini memang tidak mudah.  Seperti kata pepatah kuman di seberang lautan terlihat jelas namun gajah di pelupuk mata lolos dari pandangan, orang sering melihat perubahan di ‘luar’ dirinya.  Betapapun para ahli berkali-kali menekankan bahwa kita sesungguhnya bisa melihat ke diri sendiri lebih jauh : “We are self-talking, self-evaluating, and self-sustaining”.  Brian Welle, seorang manajer Google mengingatkan kolega-koleganya bagaimana proses bekerjanya ‘unconscious bias’ terutama pada saat merekrut calon karyawan. Saat itu tidak ada satupun dari mereka yang  merasa bahwa hal tersebut berkenaan dengan dirinya. Baru setelah sebuah tes sederhana membuktikan bahwa ‘bias’ itu memang eksis  secara nyata di antara mereka sendiri, mereka terbuka dan mengakuinya, dan menerima untuk lebih berhati hati dan mengubah pendekatannya. 

Psikolog Muzafer Sherif dan  Carl Hovland mengatakan bahwa penerimaan kenyataan ini sangat ‘powerful’. Sepanjang orang masih mempertanyakan :”apakah ada yang salah pada diri kita” tidak mungkin akan ada tenaga untuk berubah. Karena , energi akan habis untuk menutup mata dan membela egonya.  Belum lagi individu biasanya memang sudah disibukkan dengan aktivitas2 :’business as usual” nya, yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Individu perlu masuk ke situasi the latitude of acceptance alias “OK zone” di mana pemahaman diri atau mawas diri individu sudah mencapai titik optimal. 

Memposisikan diri dalam proses perubahan

Dalam sebuah organisasi, perubahan pastinya membutuhkan komitmen penuh mulai dari top management sampai pada mereka yang berada di garis terbawah struktur organisasi sekalipun. Dalam hal service misalnya, organisasi yang ingin menjadikan servis sebagai salah satu budaya organisasi harusnya tidak hanya menyasar frontliners  untuk memberikan servis yang prima bagi pelanggannya. Mereka yang berada di kantor pusat pun terlebih - lebih harus mewujudkan komitmen servis kepada pelanggan internal mereka sendiri agar jiwa servis yang utuh benar-benar dapat teraba dan terasa di seluruh organisasi.  Perubahan sebaiknya digambar dalam satu kontinum  seperti sebuah perjalanan. Pada saat inilah kita bisa secara obyektif menempatkan diri, mengukur sejauh mana posisi kita saat itu, terhadap tujuan yang ingin diraih dan merancang bersama langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meraih tujuan tersebut agar semua individu paham dengan perjalanan perubahan yang harus ditempuh. Itulah sebabnya psikolog tadi menyebutnya sebagai “ok zone’. Orang harus merasa OK untuk berubah dulu, baru bergerak. 

The Power of Baby Steps 

Setiap orang yang menginisiasi perubahan, tidak bisa hanya meneriakkan ajakan berubah saja. Perlu adanya langkah – langkah konkrit yang berbeda bila kita ingin mencapai hasil yang berbeda atas nama perubahan. Bila tidak demikian sulit rasanya mencapai kesuksesan karena manusia pada dasarnya akan merekam reaksi-reaksi sukses yang pernah dilakukannya untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah dikerjakan. Perubahan kebiasaan, apalagi ‘mindset’, perlu strategi yang cermat untuk mendapatkan keterlibatan massal. Langkah -langkah perubahan kecil perlu diamati, disadari  dan diapresiasi. Bila tidak semuanya akan kembali lagi menuju titik nol. Kita perlu menanamkan dalam keyakinan , bahwa perubahan bukan konversi. Perubahan tidak mungkin dicapai dengan satu pukulan. Anti korupsi Ahok, perlu hal yang ekstrim seperti e-budgeting.  Tetapi kebiasaan-kebiasaan yang menunjuang keputusan ini perlu dirancang dan dibuatkan perjalanannya. Kita perlu menembus hati karyawan Pemda DKI dulu, meminta kesediaannya mendukung gerakan ini. Kita harus sampai pada tahap di mana setiap orang menganggap bahwa anti korupsi adalah ‘belief’ pribadi nya. Keyakinan ini perlu dikaji, dibahas, diapresiasi dan didorong kearah yang lebih sempurna. Let’s face it…change is hard. It really is.Sometimes, it’s downright painful.

Dimuat di KOMPAS 7 Maret 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com