Gemerlap piala Oscar baru saja kita saksikan sebagai puncak reputasi yang didambakan setiap artis di dunia sebagai hasil kerja keras mereka. Bagi Hollywood ini juga merupakan puncak acara terpenting bagi kelangsungan bisnis dan prestise perfilman, sehingga baik nominasi dan penjurian dilakukan secara serius dan apik. Namun kita sering pula mendengar selentingan-selentingan miring mengenai bagaimana para juri yang dipersuasi oleh pemain maupun produser film dalam membuat penilaian. Hal inilah yang kemudian diantisipasi oleh para petinggi perfilman dengan membuat batasan-batasan untuk menjamin objektivitas penilaian mereka. Semisal, melarang insan – insan perfilman yang terlibat untuk tampil di undangan – undangan seperti jamuan makan maupun promosi film yang akan dikompetisikan.
Situasi dunia ‘entertainment’ yang sebenarnya berklimaks 3 menit di panggung Oscar ini ternyata sangat menegangkan. Upaya pendekatan, yang juga disebut sebagai ‘lobby’, ternyata sering terjadi . Betapa tidak, mengingat besarnya keuntungan yang bisa diraup begitu ada nama yang disebut sebagai pemenang Oscar, jaminan Box Office sudah di tangan. Lobby adalah percakapan yang berupaya untuk memengaruhi tindakan para pengambil keputusan yang seringkali dianggap tidak mungkin ‘bersih’. Itulah sebabnya lobby kerap berkonotasi negatif. Beberapa kejadian akhir-akhir ini, ketika seorang pejabat bertemu dengan pihak lain: apakah lawan politik, atau pejabat di kelompok tertentu , bahkan musuh politik, bisa dipersoalkan dan bahkan dipidanakan. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah suatu pertemuan bisa dianggap kejahatan? Apakah salah untuk membangun hubungan di luar situasi formal untuk melancarkan negosiasi – negosiasi yang terjadi? Mengingat manusia adalah mahluk yang sosial dan emosional selain juga rasional, seringkali emosi justru lebih berperan dalam pengambilan keputusan, meskipun analisis risiko dan banyak hal lainnya dalam pengambilan keputusan telah dilakukan secara objektif dan rasional. Bukankah setiap keputusan baik di organisasi, di parlemen, antar negara atau malah dalam skala kecil, seperti dalam keluarga sekalipun, tidak pernah lepas dari unsur lobbying? Bukankah kita juga melihat betapa bapak presiden mondar- mandir berbicara dengan hampir semua pihak sebelum ia mengambil keputusan penting? Bukankah itu gunanya negara – negara di dunia menempatkan duta besar di negara – negara sahabat? Betapa keras upaya yang dilakukan oleh para duta besar dan menteri luar negeri negara-negara yang warganya terancam hukuman mati di negara lain. Kita lihat terutama dalam dunia politik, kegiatan ‘lobby’ memang ada dan bahkan merupakan salah satu kompetensi terpenting yang harus dimiliki oleh seorang negarawan. Keterampilan lobby ini begitu pentingnya bagi negarawan, karena lobby yang tepat bisa mengharumkan nama bangsa. Sebaliknya cara lobby yang salah bisa membuat image negatif negara tersebut di mata dunia. Perdana menteri yang mengungkit-ungkit bantuan yang pernah diberikan ke negara lain ketika permintaannya tidak dipenuhi, bukannya menuai simpati, melainkan membuat menteri luar negerinya harus melakukan lobby lebih keras guna memperbaiki hubungan dua negara.
Kepentingan
Dianggapnya lobby ini sebagai kegiatan ilegal dilatarbelakangi kenyataan bahwa individu yang melakukan kegiatan ini seringkali didorong oleh kepentingan segelintir orang atau demi meraup keuntungan yang lebih besar dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Itulah sebabnya lobby sering didekatkan dengan korupsi dan ‘special interest’. Misalnya banyak pengusaha rokok yang juga berupaya mempengaruhi parlemen agar gerakan anti rokok dicanangkan lebih bertahap agar tidak berdampak terlalu besar pada penjualan dan mata pencaharian karyawan mereka. Etika dan moralitas dalam kegiatan ‘lobby’ sangat sensitif. Begitu kepentingan suatu golongan yang sedang memperjuangkan tujuannya dianggap egois dan miring, publik akan melihat kegiatan ini sebagai kegiatan yang negatif. Sudah seharusnya kita mengkaji ulang apa tujuan besar yang mau dicapai dalam proses me-lobby ini.
Buya Syafii Maarif beberapa waktu lalu mempertanyakan, apakah politikus sadar bahwa mereka seharusnya berperan sebagai negarawan, yang harus mempertanyakan apa yang sedang dikejar, dibela, dan diperjuangkan. Kita juga perlu mengecek kemurnian niat dan ketulusan perjuangan kita. Yang pasti, perjuangan itu tidak pernah boleh demi kantong sendiri. Lobby harus dilakukan terutama untuk keputusan-keputusan sulit seperti upaya menghentikan reklamasi, ketika ada kepentingan pemerintah akan lahan, sementara para environmentalis melihat dampaknya pada lingkungan. Bila kita 100 % yakin bahwa yang kita perjuangkan adalah ‘for a better dan greater cause’, maka sebetulnya tidak ada dosanya melakukan persuasi sembari meminta dukungan ke kiri dan ke kanan untuk meminimalkan resistensi yang akan terjadi. Lobby memang harus dipelajari dan dikuasai, serta tidak perlu lagi kita lihat sebagai ‘dark art’.
Dimuat di KOMPAS, 28 Februari 2015