was successfully added to your cart.

CUACA

Oleh 16 Februari 2015 Articles
CUACA

Cuaca yang benar benar mematahkan hati baru saja terjadi lagi di Jakarta. Seseorang harus bertahan  terjebak dalam mobil di atas jalan tol selama 12  jam tanpa bisa berbuat apa apa. Seorang ibu berusia 70 tahun, harus berjalan beberapa jam mengerobok banjir menyusuri rel kereta untuk mencapai rumahnya yang juga kebanjiran. Bila hal ini terjadi pada diri kita, apa reaksi kita dengan situasi ini?  Banjir di Jakarta sudah ada sejak abad ke 5 .   Pada jaman Belanda pun sudah diupayakan berbagai hal untuk menanggulanginya. Kenyataan bahwa permukaan tanah di Jakarta memang sangat rendah, di mana kali Ciliwung bermuara, sementara air pasang juga tidak dapat dikendalikan adalah kenyataan yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Kecepatan surutnya air yang sudah mulai terlihat menandakan , bahwa besar kemungkinan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah DKI mulai  ada hasilnya mengatasi gejala alam tahunan ini. Hal yang menonjol dan sulit diatasi adalah frustrasi penduduk Jakarta, dan reaksi salah menyalahkan di antara kita sehingga kesalahan tidak berfokus pada hal yang jelas-jelas bersifat eksternal dan tidak terprediksi ini.  Kita bisa menyalahkan BMKG yang tidak membuat prediksi yang tepat. Bisa juga menyalahkan sampah, atau penjaga pintu air yang salah  membuka tutup pintu banjir kiriman dari pegunungan, menyalahkan pemasok listrik yang tiba-tiba macet, ataupun berbagai pihak yang membuat banjir kanal mampat. Yang jelas, banjir yang sudah jelas-jelas datang setiap tahun tak pernah ditantang dan disambut dengan kesiapan, baik teknis maupun mental. Siapa sih yang tidak tahu : “Life is uncertain, the future unknown”? Mengapa ada orang yang tinggal di daerah banjir sudah mempunyai ancang ancang, dengan menyediakan pompa air, gardu listrik jauh di atas permukaan tanah, dengan rakit buatan yang bisa dipergunakan kapanpun diperlukan. Sementara itu ada mereka yang tidak berdaya, tidak mempunyai persediaan air bersih dan seolah hanya bisa bereaksi terhadap ketidak pastian ini? Ada yang hanya bereaksi, tetapi ada yang beraksi secara kreatif. Ada yang ‘survive’ ada yang gagal sebelum berusaha. Ada yang puas telah sukses, ada yang meneruskan perjuangan untuk mengantisipasi keadaan berikutnya. Jadi ada beberapa individu yang bisa mengatasi keadaan eksternal, bahkan berani menerjang kesulitan yang dihadapinya. Banyak perusahaan juga mengalami badai yang hebat seperti ini.  Pada tahun 1972 – 2002 Southwest Airlines mengalami krisis bahan bakar, perubahan aturan penerbangan, masalah tenanga kerja dan resesi. Ancaman kebangkrutan berada di depan mata. Bukankah ini sama dengan kebanjiran yang melumpuhkan aktivitas kita? Apa yang terjadi pada Southwest ? Mereka menerjang terus kesulitan,  dan melalui pelayanan karyawan yang  ‘all out’ mereka bisa bangkit kembali dan merajai dunia penerbangan ‘lowcost’ . 

Menjaga stamina mental 

Dari beberapa kasus yang sukses, kita melihat bahwa ketidak pastian bisa  justeru menjadi makanan yang empuk. Seorang pimpinan perusahaan mengatakan , kita tidak bisa membiarkan diri kita diombang ambingkan oleh ancaman dan kesempatan. Kita tidak bisa membuat diri kita kaget dengan kejutan kejutan. Bukankah seorang olahragawan juga selalu mengalami hal-hal tidak terduga yang datang dari lawan atau bahkan sesama tim sendiri? Apa yang menyebabkan ia tetap bertahan? Kita bisa saja menikmati keadaan tenang, damai dan menyenangkan seolah berjalan di taman yang indah , penuh bunga dan berhawa sejuk. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah bersiap terhadap hujan yang datang tiba-tiba? Bukankah hidup ini lebih mengarah pada perjalanan yang keras, seolah sedang mendaki puncak Himalaya, atau perjalanan ke kutub selatan? Jim Collins, penulis buku, Great by Choice,  menemukan bahwa perusahaan perusahaan yang bertahan di dalam keadaan ‘chaos’ adalah perusahaan yang mempunyai kontrol diri di dalam situasi tidak terkontrol. Contoh : tidak santai berlebihan pada saat saat  yang ‘comfortable’ tetapi juga tidak tegang berlebihan pada saat cobaan datang. Ini adalah disiplin tingkat tinggi yang dikuasai para tentara, pendaki gunung dan juga para olahragawan. Individu yang bisa tangguh berada dalam keadaan tak terkontrol , biasanya mempunyai rasa peraya diri karena mereka terbiasa mendera diri untuk selalu menjadi bertambah baik. Mereka tidak pernah puas dengan keadaan sekarang. Mereka siap menghadapi situasi yang tidak terduga. Kemajuan yang dibuat selalu terjadi dengan konsisten. “We are ultimately responsible for improving performance. We never blame circumstance; we never blame the environment.”. Sudah waktunya kita mengubah pola pikir kita. Komputer saja selalu di ‘upgrade” operating systemnya. Bukankah kita yang dikaruniai otak yang lebih canggih dari komputer manapun di dunia ini, seharusnya juga mampu memperbaharui pola pikir kita? 

Hapus ‘victim story’ kita

Kita adalah mahluk tertinggi di dunia ini yang mampu menjadi subyek tanpa harus menjadi  obyek. Kita bukan korban banjir, tetapi kitalah pengelola banjir. Kita bukan korban politik, tapi  kita mampu berenang dalam kancah politik yang kacau. Kita tidak pernah boleh berfikir bahwa kita adalah orang yang paling ‘sial ‘ di dunia. Dengan mindset seperti itu mustahil kita mampu melihat kesempatan untuk keluar dari situasi yang berat. Bukankah lebih baik memilih sikap pembelajar, di mana setiap kegagalan kita anggap sebagai ajang belajar? Bill Gates senang merekrut individu-individu yang sukses  mengangkat nasibnya dari keterpurukan. Manusia-manusia ini sudah dibekali daya lenting yang akan membawa perusahaan maju secara tak kenal lelah dengan enerjinya. Ke-pede-annya justru di dapat dari kemampuan menyadari kelemahan, kesalahan versus kekuatan dirinya. Setiap orang sebetulnya bisa bekerja keras untuk mengembangkan daya lentingnya. Kita hanya perlu cermat memilih tindakan kita untuk selalu berada dalam kondisi lebih baik lagi dan berorientasi pada tindakan mencari solusi. Pertanyaan-pertanyaan negatif seperti : mengapa hal ini terjadi pada diri saya? Mengapa saya? Sangatlah  depresif. Kita perlu bertanya kepada diri sendiri maupun lingkungan : bagaimana cara ‘move on”? Bagaimana saya mengembangkan kesempatan ini?  Bukankah kitapun sudah mengenal peribahasa sejak SD : sedia payung sebelum hujan? Mengapa nenek 70 tahun itu sanggup menyusuri jalan kereta api kemarin? Ia selalu  berbekal payung dan sandal jepit.  Sesimpel itu. Tetapi sangat positif. 

DImuat di KOMPAS, 14 Februari 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com