was successfully added to your cart.

EKSPEDISI

Oleh 09 Februari 2015 Articles
EKSPEDISI

Andaikata bisa diedarkan  mesin pengukur ‘mood’  di seputar kita, maka hari-hari ini kita pasti banyak mendapati rapor yang di penuhi angka merah. Banyak penyebab mood merosot belakangan ini. Bagi sebagian orang larangan untuk terbang dengan kelas bisnis di pesawat sudah menurunkan mood. Bahkan kenaikan gaji dapat menyebabkan orang merasa khawatir dengan cara remunerasi yang menantang. Harga saham yang merosot, perdagangan yang mengalami beberapa tantangan baru, buah impor yang diragukan, ikan laut yang diformalin membuat orang semakin galau. Banyak perusahaan berada dalam keadaan ‘wait and see” , dan  keputusan berkembang  tidak diambil dulu. Situasi politik yang seolah-olah hampir ‘meledak’ membuat orang bahkan tidak mau membuka mata melihat situasi yang sebenarnya. Harapan untuk keadaan yang lebih baik seolah memudar dan  membuat orang bertanya-tanya, apakah perubahan yang diharapkan ini ternyata impian belaka? Bahkan para optimis pun tiba-tiba menyatakan kekhawatirannya. Sebenarnya, bukankah kita ingat bahwa setiap perubahan pasti mengalami turbulensi? Kita tahu bahwa pergantian pemimpin di mana pun juga akan membawa dampak perubahan. Pemimpin bisa mempunyai visi yang kita setujui dan menggambarkan harapan yang lebih cerah dalam kehidupan kita. Namun seringkali pada kenyataannya, perubahan yang kita harapkan tidak segera datang,  bahkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak terduga dan bahkan dapat menimbulkan frustrasi. Seseorang menulis di akun sosial medianya, ”Ingin rasanya tidur lebih panjang dan ketika terjaga, pemerintah sudah lebih baik.” atau “ Malas rasanya menyaksikan perseteruan politik yang tidak berujung. Aku ingin menutup diri dan tidak membaca perkembangannya lagi”. Sadarkah kita bahwa jalan yang kita lalui memang terjal dan berliku? Apalagi bila perubahan yang dibuat cukup drastis perbedaannya. Kita sedang dalam perjalanan perubahan macam-macam:  Dari era cetak ke digital;  Dari uang kertas ke uang elektronik;  Dari serba korupsi  ke anti korupsi. Apakah hal ini mudah terlaksana? Apakah kita akan menutup mata dan tidak mau tahu, bila ada halangan? 

Kita ini dalam perjalanan

Banyak perubahan yang kita inginkan. Kita setuju pegawai pemda bekerja semestinya. Kita ingin polisi tidak pungli lagi. Kita ingin jalanan tidak macet lagi. Kita ingin karyawan perusahaan kita lebih progresif dan kreatif. Bukankah ini merupakan jalur yang tidak linear dari A ke B yang lurus tanpa pengaruh faktor-faktor lain? Tidak ada perubahan yang bisa terjadi seinstan membalik telapak tangan.  Harrison Owen berkata, “Change is a journey and the journey is always about change”  Kita tidak bisa merasa selesai pada saat ‘blue print’ perubahan sudah dibuat. Blue print tidak bisa mencakup semua hal hal yang tidak terduga, karena hanyalah merupakan peta perjalanan yang mati dan tidak selalu mutakhir. Individu dan organisasi hanya bisa menelusuri perubahan, jika masing-masing sudah bersiap mental untuk menghadapi semua ‘unpredictables’. Seseorang menulis di media sosial ”Saya heran dengan kita-kita ini.  Kita senang dengan perubahan, tetapi kita menyerahkan seluruh agenda perubahan pada pemerintah.” Di sinilah letak  salahnya. Kitalah yang perlu bergerak dan berbaris menuju keadaan baru itu. Di jalan kita bisa menemui ranjau dan halangan yang belum kita ketahui, tetapi kita tidak bisa menyalahkan keadaan. Kitalah yang harus mencari cara untuk bertahan, melawan tantangan, dan menembus rintangan. 

Memandang  perubahan sebagai ekspedisi 

Bila kita mau melakukan perubahan tanpa mau menerima kesulitan-kesulitan yang akan timbul, maka besar kemungkinan kita akan mengalami frustrasi. Sebaliknya, kita memang perlu mempunyai keberanian ekstra dan membayangkan kesulitan  yang secara realistis pasti terjadi. Sebuah eksprimen membuktikan, ketika seseorang bisa menganalogikan proses perubahaannya dengan ekspedisi mendaki gunung tertinggi  seperti Puncak Everest, ia akan lebih siap menghadapi semua hal hal yang tidak terduga. Mulai dari pakaian yang bisa mengakomodir cuaca dan pergerakan, beragam perlengkapan mendaki sampai perbedaan pendapat di dalam anggota tim yang mungkin timbul sepanjang perjalanan. Efektivitas dan kegunaannya  perlu betul-betul kita pertimbangkan baik. Kita perlu mengenal medan, membaca keadaan, dan bersiap untuk segala kemungkinan. Kita perlu tahu area-area berbahaya, bisa membaca tanda-tanda ranjau maupun cuaca. Kita perlu berjaga dari cuaca yang kerap berubah, bahkan mungkin badai berlangsung untuk jangka waktu lama. Bukankah dalam organisasi, hal-hal yang merupakan kejutan ini justru sering kita khawatirkan? Sudah siapkah kita secara fisik dan mental untuk melawan badai? 

“Change is hardest in the middle” kata Rossabeth Moss Kanter.”Everything looks like a failure in the middle. Everyone loves inspiring beginnings and happy endings; it is just the middles that involve hard work.” Justru di tengah perjalanan, ketika kita sangka pelangi akan segera muncul, kita akan mempertanyakan niat baik, godaan, dan cobaan,  bukan saja dari si pemimpin, namun juga dari diri kita masing masing. Di tengah-tengah ekspedisi, kita perlu menguatkan hati dan bukannya berpikir untuk mundur. Ini adalah respons yang terlalu sederhana untuk sebuah perjuangan. Orang yang bertahan adalah orang yang selalu memelihara dua atau tiga pandangan yang bertentangan dan berhasil berjalan maju dengan tetap berfungsi . Jadi mengapa ada orang yang kuat dan berhasil dalam ekspedisi yang berat? Ia pastinya peka terhadap segala situasi yang terjadi di sekelilingnya. ” Listen to your environment” saran Kanter. Kaji ulang rencana dan visi awal kita. Apakah  kita optimal mengkaryakan individu dalam tim kita? Apakah kita sudah mengefisienkan dan mengoptimalkan semua sumber daya? Kita pun perlu menyemangati diri, dengan sesekali menengok ke belakang, menghibur diri melalui ‘quick wins’ yang sudah dicapai, serta merancang tonggak-tonggak kemenangan kecil dan pendek di depan.  Memang tidak semua orang akan berhasil dalam ekspedisi yang berat. Tetapi sekali kita berniat untuk berubah, maka Kanter’s Law ini perlu kita lengkapi dengan ‘Nike Law’ yaitu “Just Do It”.   Marilah kita semua berkaca,  apakah kita selama ini  mencampuradukkan passion dengan fanatisme?  Fanatisme bisa membuat kita maju terus, tetapi juga bisa membuat konflik yang ekstrim dan situasi menjadi patah arang.   

Dimuat di KOMPAS, 7 Februari 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com